Pertemuan Kedua

1468 Kata
Zero ingin mengacak rambut saking frustasinya, tapi tidak bisa. Entah apa yang diinginkan oleh laki paruh baya di depannya ini? Zero jadi was-was kalau sampai membuat janji diluar jam kerja. Apa Zero akan mengalami perjodohan dadakan seperti teman-temannya? Seharusnya Yu tidak perlu ke luar negeri, kalau begini dia pasti dikasihani oleh orang-orang disekeliling hanya karena dia sendiri yang belum menikah. "Bagaimana, Pak Zero?" "Malam ini ya, Pak?" Zero memastikan sekali lagi. "Iya." Mau menolak rasanya kenapa sulit sekali. Apalagi Zero harus bisa menarik hati sosok laki-laki di depannya ini agar mau bekerja sama dengan perusahaannya. Beginilah dunia bisnis. Harus bisa memenangkan hati karena perusahaan yang bergerak dibidang teknologi tidak hanya satu. Bahkan semakin bertambah karena perkembangan zaman yang begitu cepat. "Hanya makan malam biasa," ujar Pak Frans. Zero meyakinkan diri. Semoga memang hanya makan malam biasa saja. "Baiklah, Pak. " Zero tersenyum dengan cukup lebar seakan-akan hari-hari bagus tengah menunggu dirinya. "Sebelumnya, terima kasih atas undangannya." Pak Frans juga tersenyum. Sebelum mereka berpisah, keduanya saling berjabat tangan. Selepas kepergian Pak Frans, Zero bersandar di sofa. Dia membuka kacamata yang cukup lama bertengger di hidung mancungnya. Lelah tentu saja. Bahkan helaan nafas terdengar cukup jelas saking lelahnya. Zero memutuskan untuk memejamkan mata sebentar. Hanya sebentar karena ia tidak berada di ruangan sendiri melainkan di ruangan pertemuan. Ketukan pintu membuat Zero membuka mata. "Sudah pergi?" tanyanya kepada sekretaris yang bernama Eka. Zero menyuruh Eka mengantar Pak Frans dan beberapa orang sampai ke depan pintu mobilnya. "Sudah, Pak." Eka menyusun beberapa lembaran dokumen di atas meja. "Oh ya, apa perlu saya menyiapkan pakaian formal untuk malam ini, Pak?" "Tidak perlu," tolak Zero. Selagi ia bisa melakukan sendiri maka ia akan lakukan sendiri. Tapi Zero tidak menutupi fakta bahwa Eka sangat-sangat membantu dirinya. Bahkan untuk membangunkan dia di rumah jika ada sesuatu yang mendesak dan penting. Eka melihat wajah sang atasan. Ia ingin tertawa karena sang atasan seperti punya banyak beban. "Tidak perlu khawatir, Pak." "Jangan berharap Pak Frans akan mau menandatangani kontrak." Zero menguap. Ia sudah membayangkan apa yang akan terjadi. Eka tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak tertawa. Atasannya terlalu berpikir buruk. Sebenarnya undangan seperti ini tidak hanya sekali, tapi sudah berkali-kali. Begitu banyak orang yang ingin mengenalkan anak mereka kepada Zero. Eka menjadi saksi bagaimana Zero berusaha menghindar, menolak dengan baik bahkan dianggap sebagai orang yang sombong. Kadang Eka bingung sendiri, sebenarnya sang atasan mau punya istri seperti apa? Padahal orang yang dikenalkan dengan dirinya bukan orang-orang biasa. Bahkan Eka saja sampai pangling dengan kecantikan perempuan-perempuan yang dikenalkan kepada Zero. Hal ini berbanding lurus dengan sosok Zero. Lihat saja, soal intelektual jangan ditanya lagi. Meskipun sibuk bekerja, dia masih sempat-sempatnya menyelesaikan pendidikan pascasarjana. Kemudian soal attitude, Eka memberikan jempol. Dia tidak pernah marah yang berapi-api, tapi kalau ada kesalahan dari karyawan maka diajak diskusi dan diberi peringatan. Soal ketegasan jangan ditanya, banyak karyawan yang mengakui ketegasan Zero. Oh ya Eka sampai lupa, Zero sering membawa karyawan untuk sekedar makan bersama. Kadang bonus juga diberikan diluar bonus perusahaan. Jadi jangan heran kalau banyak karyawan yang ingin bekerja bersama Zero. Bagaimana fisiknya? Eka bisa menjamin bahwa sang atasan sangat sehat. Sering berolahraga sehingga tubuhnya terbentuk dengan baik. Banyak perempuan yang akan langsung jatuh hati melihat bagaimana bentuk tubuhnya. Oke, Eka akan jabarkan. Zero memiliki kulit yang tidak terlalu putih. Rambutnya selalu ditata dengan bagian depan yang tersisir ke atas atau ke belakang sehingga dahinya terlihat dengan sempurna. Tapi hal ini juga yang menambah kadang kegantengan dan kemaskulinannya. Apalagi kalau sudah pakai kacamata, sudah seperti pemeran utama dalam drama saja. Bulu matanya tidak terlalu lentik, tapi tebal begitupun dengan alis. Zero memiliki hidung mancung. Kadang kalau sedang malas, kumis tipisnya terlihat. Tapi bukannya pesona nya turun malah bertambah-tambah. Satu hal yang sangat disayangkan, Zero masih belum bisa berhenti merokok. Eka harap kedepannya sang atasan bisa berhenti merokok karena tidak baik untuk kesehatan. "Tenang saja, Pak. Semua akan baik-baik saja." Eka memberikan energi positif kepada sang atasan. "Maaf sebelumnya, Pak. Saya boleh tanya?" Eka berkata dengan hati-hati. Walau dia sudah lama bekerja diperusahaan ini, tapi tentu saja selalu ada batasan antara atasan dan bawahan. Sebenarnya Zero memperlakukan dirinya dengan sangat-sangat layak. Hal ini juga yang membuat Eka selalu senang bekerja. Kalau soal pekerjaan banyak, wajar saja. Namanya juga perusahaan yang sedang berkembang. "Hm." Zero sudah memberi lampu hijau. "Bapak belum mau menikah atau tidak mau menikah?" tanya Eka. Sudah lama ia penasaran, apalagi teman-teman sang atasan sudah menikah dan punya anak. Zero langsung mengerutkan kening. "Maksudnya?" Eka menggaruk leher yang tidak gatal. "Begini, Pak. Saya rasa perempuan yang dikenalkan ke Bapak rata-rata sangat luar biasa. Kenapa tidak dicoba dulu?" "Saya nyarinya yang biasa saja," jawab Zero. "Yang biasa gimana, Pak?" Zero mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu punya tipe seperti apa. Yang penting sih agama dan akhlaknya. Mana kadang iman Zero naik turun dan butuh orang yang benar-benar bisa saling mengingatkan dan menguatkan. Zero melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata sudah pukul tiga sore. Pantas saja ia menguap sejak tadi. Zero bersiap untuk keluar dari ruang pertemuan. Lebih baik istirahat sebentar di ruangannya sendiri. Sebelum keluar, Zero meminta tolong kepada Eka untuk dibelikan kopi di coffee shop depan. Dia butuh kopi agar kantuknya bisa sedikit berkurang. *** Sesuai dengan undangan Pak Frans, mobil Zero sudah sampai di sebuah restoran yang sangat terkenal. Padahal tidak jam kerja, tapi Zero tetap memakai jas. Kali ini Eka ikut menemani dirinya. Bisa saja nanti Zero butuh bantuan Eka jika keadaan tidak berpihak pada dirinya. Zero keluar dari mobil sambil mengancingkan kancing jas. Dia sangat rapi seperti menghadapi pertemuan penting saja. Semoga tidak terjadi kesalahpahaman karena Zero menganggap undangan kali ini termasuk ke dalam pekerjaan. Zero menunggu Eka di depan pintu masuk. Dia sengaja melakukan itu karena tidak mau masuk sendiri. Eka tersenyum tipis saat melihat sang atasan yang masih belum masuk. Sudah jelas, sang atasan sebenarnya tidak mau untuk datang. Tapi apa boleh buat jika keadaan tidak bisa membuat dirinya dapat memilih. "Silahkan, Pak." Eka mempersilahkan Zero untuk masuk lebih dulu. Pak Frans memilih ruang VIP. Jelas saja karena dia bukan orang sembarang. Zero memaksa sudut bibirnya terangkat ke atas agar tidak memberi kesan buruk saat masuk ke dalam ruang VIP tersebut. Saat pintu terbuka, semua pasang mata langsung mengarah kepadanya. Zero hanya kenal dua orang yaitu Pak Frans dan istrinya. Sisanya, Zero tidak pernah melihatnya sama sekali. Pak Frans menyambut kedatangan Zero dengan antusias. Dia menyuruh Zero untuk duduk. "Oh Eka juga datang ternyata," ucap Pak Frans karena melihat sosok Eka dibelakang Zero. "Iya, Pak." Eka tersenyum dan mengulurkan tangan kepada Pak Frans. Sudah jelas sekali jika pertemuan kali ini bukanlah undangan biasa. Apalagi ada seorang perempuan yang duduk di tengah-tengah Pak Frans dan istrinya. Zero bukan kepedean, tapi beberapa kali ia mengalami keadaan seperti ini. Walaupun tidak nyaman, Zero sangat menghargai Pak Frans. Dia mengikuti kemauan Pak Frans kali ini saja. "Oh ya, ini anak saya." Pak Frans memperkenalkan anaknya. Memang cantik, Zero mengakui itu. Tapi entah kenapa ia tidak tertarik sama sekali. Apa Zero masih normal? Tentu saja. Perkenalan singkat terjadi. Pak Frans begitu semangat menceritakan anaknya. Wajar saja karena orang tua akan selalu bangga terhadap anak-anaknya. Respon Zero juga positif. Acara makan baru selesai pada pukul sepuluh malam. Zero dan Eka memilih untuk pamit dengan alasan masih ada pekerjaan yang ingin dibahas. Zero dan anak Pak Frans sempat bertukar kontak. Tapi apa Zero akan mengirim pesan? Mungkin tidak. Zero tidak ingin memberi harapan. Semoga saja anak Pak Frans juga seperti dirinya. Zero mengantar Eka terlebih dahulu ke rumahnya. Sebenarnya Eka menolak, tapi Zero tetap kekeh ingin mengantar. Sehabis mengantar Eka ke rumahnya, Zero tidak langsung pulang. Ia memilih untuk menikmati hiruk pikuk perkotaan di malam hari. Sekalian mencari makanan enak untuk perut yang masih kelaparan. Zero memang baru saja dari acara makan malam, tapi ia tidak makan dalam porsi seharusnya. Makanannya sedikit tidak cocok dengan lidahnya. Bukan tidak enak, hanya tidak cocok dengan lidahnya saja. Zero memilih menghentikan mobil di depan minimarket. Ia ingin berjalan kaki sembari menikmati suasana malam. Entah kemana kakinya mengarah, yang jelas Zero cukup menikmati hal-hal seperti ini. Sebuah gerai besar terlihat, pembelinya juga sangat banyak. Zero cukup tertarik untuk mencoba makanan yang dijual disana. Ia masuk ke dalam antrian saking banyak yang membeli. Menunggu beberapa menit sampai gilirannya datang. Zero langsung memesan beberapa makanan. Sepertinya makanan cukup lama dibuat. Zero memilih untuk merokok terlebih dahulu. Ia mencari tempat yang aman. Zero cukup tahu diri untuk tidak merokok ditempat umum. Dia bersandar di dinding sambil merokok. Cukup sepi karena berada di samping gerai. Apalagi cahaya lampu tidak ada. Sedang asik merokok, fokus Zero malah mengarah pada seorang perempuan yang sepertinya tengah dimarahi. Deg! Zero menyentuh dadanya. Kenapa ritme jantungnya sedikit lebih cepat? Matanya tidak beralih sedikitpun dari perempuan itu. Zero bisa melihat wajahnya karena cahaya yang berasal dari pintu yang terbuka. Apa yang salah dari dirinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN