BAB 8

1012 Kata
Masih di dalam satu mobil yang sama, Lia dan Sacha tidak juga ada pembicaraan. Lia sibuk dengan gawainya, mencoba melupakan kejadian di kampus tadi saat Sacha membentaknya. Sedangkan lelaki yang sedang duduk diam di samping Lia, ia tengah sibuk dengan kemudinya. “Kita mau ke mana sih Om?” tanya Lia, gadis itu tidak tahan dengan keadaan yang membuatnya bingung. Sedari tadi Sacha membawanya tanpa berhenti. Lia takut jika Sacha akan melakukan hal yang buruk untunya. “Ikuti saja,” jawab Sacha singkat, lalu lelaki itu kembali fokus pada kemudinya dengan wajah yang datar. Lia yang berada di samping lelaki itu hanya bisa berdecak kesal. Tidak ada dari sifat Sacha yang membuatnya kagum. Semuanya selalu saja membuat Lia kesal. Gadis itu heran dengan orang di sekitar yang sangat mengagumi Sacha. Memangnya apa yang harus dikagumi dari lelaki itu? Tampang datar dan sikap yang dingin tidak ada menarik-menariknya. Begitulah menurut pendapat Lia. Mobil yang dikendarai Sacha telah smapai di salah satu hotel mewah bintang lima. Semua pegawai yang ada di sana menyambutnya dengan hormat. “Kita ngapain ke hotel Om? Ohhhh, atau jangan-jangan Om mau menodai saya ya!” Lia memberikan tatapan menuruh keadah Sacha membuat lelaki itu hanya melirik sekilas. “Jika tidak tahu apa-apa, lebih baik mulut cempreng kamu itu diam!” lagi-lagi Sacha berucap tegas membuat Lia seketika bungkam. “Ayo!” Sacha keluar dari mobilnya lalu disusul oleh Lia dari belakang. Lia merasa dirinya seperti putri kerajaan di cerita dongeng. Semuanya berbaris menunggu Sacha dengan hormat. Semua orang memperlakukan Lia pun sama, saat keduanya melintas semuanya menunduk hormat. “Seberpengaruh itu kah lelaki dingin ini untuk mereka?” tanya Lia di dalam hati. Dia selalu memamerkan senyuman indahnya untuk semua orang yang sudah menghormatinya. Bruk! Kening Lia terbentur sesuatu yang keras tetapi beraroma wangi. Gadis itu mendongak dan mendapati punggung Sacha terpampang nyata di depan matanya. Lia menggerutu kesal di dalam hati sembari mengusap keningnya. “Bisa nggak sih Om kalo mau berhenti itu kasih peringatan dulu. Jangan asal main berhenti aja. Untung ini punggung Om yang kena jidat saya, coba kalau tembok beton, sudah berdarah-darah kening saya,” cerocos Lia. “Diam!” perintah Sacha, lagi-lagi berekspresi dingin. “Dih, dia yang salah, dia yang bikin ulah, dia yang udah buat jidat gue sakit, tapi gue yang di suruh diem,” gerutunya di dalam hati. Selama bersama Sacha, Lia hanya bisa mengomel di dalam hati. Jika dia mengomel secara langsung pasti Sacha langsung memarahinya tanpa henti. Lia dan Sacha mulai memasuki hotel bintang lima tersebut. sungguh, pemandangan didalamnya membuat Lia sangat terkejut. Dekorasi yang indah. “Apakah ada yang mau menikah di sini dalam waktu dekat?” tanya Lia, yang sudah berjalan di samping Sacha. “Ada,” jawab Sacha sekenanya. “Siapa?” Lia semakin bersemangat mengikuti langkah Sacha karena Lia ingin tahu gadis mana yang beruntung mendapatkan lelaki yang menyewa gedung ini. “Kita.” Sacha kembali menjawab singkat. Namun, meskipun begitu sukses membuat langkah Lia terhenti. Bibir gadis itu masih mengaga lebar, bahkan seketika dia lupa bagaimana caranya menurutup bibirnya sendiri. “Ini gue nggak salah denger kan ya?” tanyanya lagi di dalam hati. Ke dua matanya meneliti setiap sudut yang ada. Semua karyawan menatapnya dengan senyuman yang ramah. Mungkin menurut mereka Lia bahagia dengan pernikahan itu. Akan tetapi, nyatanya tidak! Lia sangat terpaksa menikah dengan Sacha. Meskipun lelaki itu adalah kategori suami idaman, tetapi menurut Lia tidak. Sacha adalah monster berkedok wajah tampan bagi Lia. “Kamu masih ingin di sana atau ikut saja naik ke atas.”  Suara itu membuat lamunan Lia terbuyarkan. Buru-buru gadis itu berlari menghampiri Sacha yang sudah berada di depan pintu lift. Di dalam sana hanya ada keheningan. Sampai pintu lift itu berbunyi ting lalu terbuka. Lagi-lagi ruangan kosong yang sudah di dekor sedemikian rupa membuat Lia terkejut. Ini seperti ada di negeri dongeng! Jeritnya di dalam hati. Konsep pernikahan yang dia impikan sejak kecil. Lia bahagia, namun juga bercampur dengan kebingungan. “Ini Om sendiri yang memilih konsepnya?” tanya Lia, di sela-sela keheningan yang terjadi. “Bukan,” jawab Sacha. “Lalu siapa?” Lia semakin gencar mencari tahu. Siapapun yang menyarankan konsep tersebut, Lia akan banyak-bayak mengucapkan terima kasih. “Kenzo,” jawab Saca yang lagi-lagi singkat padat dan jelas. “Ohhhh, Om Kenzo. Dari mana dia tahu kalau ini adalah konsep pernikahan idalam Lia sejak kecil.” “Tidak tahu.” Lalu Sacha kembali berjalan meninggalkan Lia. Langkahnya yang lebar membuat Lia sedikit kesulitan untuk menyamai langkahnya. Lia sedikit berlari agar bisa berada di samping Sacha. “Om, emangnya kita jadi nikah minggu ini?” pertanyaan bodoh yang akan Lia sesali. “Memangnya kamu kira saya ini bercanda menikahi kamu?” sorot mata Sacha mulai menajam membuat Lia kehabisan nyali untuk menanggapinya. “Ya-ya siapa tahu Om berubah pikiran.” Gadis itu berucap terbata karena tidak kuat mendapattatapan tajam dari sang calon suami. “Saya tidak pernah main-main, Lia. Memang benar pernikahan ini sangatlah terburu-buru, tapi apapun akan saya lakukan untuk kebahagiaan Mama dan Papa saya,” jawabnya. “Ohh, jadi dia menikah hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. lalu, kapan dia akan membahagiakan hatinya sendiri?” Lia kembali berucap di dalam hati. “Kamu mengumpati saya di dalam hati ya?” tuding Sacha. “Om jangan sembarangan menuduh ya. Mentang-mentang saya ini suka mengomel, lalu Om seenaknya menuduh saya yang tidak-tidak.” “Kamu diam, dengan mimik wajah seperti itu. Jadi, wajar saja jika saya curiga dengan tampang nyinyir kamu itu.” Lia mengepalkan tangannya kuat-kuat, emosinya hampir saja meledak dan hampir saja menghancurkan dekorasi pernikahan impiannya. “Sabar Lia, nanti kalo lo udah nikah sama ini Om-Om lo boleh kok cekik dia pas lagi tidur,” batinnya. Lia dan Sacha kembali berkeliling melihat dekorasi pernikahan mereka yang sangat mewah. Hotel itu milik Sacha dan lelaki itu meminta semua karyawannya mengosongkan semua pengunjung yang datang. Alhasil, satu gedung hotel yang sangat mewah itu hanya akan dihadiri ole para tamu undagan nantinya. Sacha tidak peduli akan rugi besar nantinya, ia akan melakukan apapun demi orang tuanya karena yang mengusulkan semua itu adalah mamanya, Zora. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN