Lia mengurung dirinya di dalam kamar setelah mendengar percakapan antara Sacha dan ke dua orang tuanya. Hatinya sungguh sakit mendengar itu semua. Sebangkrut itu kah keluarganya sampai menumbalkan anak sendiri dengan orang lain? Lia hanya bisa menangis di dalam sana memeluk guling kesayangannya.
Semenjak kehadiran Sacha, hidupnya tidak pernah damai. Awalnya dunianya baik-baik saja kini harus menyiksanya. Sungguh tidak adil! Begitulah kata hatinya berkata.
Tidak berselang lama, suara ketukan pintu terdengar membuat Lia mendongak tetapi enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Gadis itu membiarkan begitu saja tapa menyahut panggilan dari luar. Hatinya masih sangat kecewa.
“Sayang, Lia, buka pintunya Nak, Mama mau ngomong sesuatu sama kamu.” Watika masih tidak menyerah, wanita it uterus mengetuk pintu kamar putrinya menunggu respon.
Kawindra pun datang memegang bahu istrinya, “ Apa Lia belum juga mau keluar, Mah?” tanyanya dan Watika pun menggeleng.
“Sayang, Mama dan Papa bisa menjelaskan semuanya nak. Buka dulu pintunya, kita perlu membicarakan ini,” ucap Kawindra.
Sementara Lia yang masih berada di dalam kamar tidak menghiraukan ucapan ke dua orang tuanya. Hatinya belum siap jika bertemu mereka sekarang.
Watika dan Kawindra menyerah, ke duanya akhirnya membiarkan Lia menghabiskan waktu sendiri di dalam kamar. Keduanya tahu semua keputusan yang diambil tidak mudah untuk Lia terima. Terlebih lagi usia putri mereka masih terbilang masih sangat muda untuk menikah.
***
Seesokan harinya, Lia baru saja keluar dari kamar. Jika tidak karena ingin pergi ke kampus, gadis itu enggan untuk keluar dari kamarnya. Dia melewati begitu saja ruang meja yang biasa setiap pagi dia singgahi.
“Sayang, nggak sarapan dulu?” suara Watika menghentikan langkah Lia, gadis itu pun berhenti dan memutar tubuhnya.
“Nggak selera,” jawabnya lalu ia kembali melanjutkan langkahnya.
“Tidak ada salahnya sarapan terlebih dahulu, Lia. Nanti saat mata kuliah kamu lapar.” Kali ini Kawindra yang angkat bicara.
“Peduli apa Mama dan Papa sama Lia? Kalian berdua sudah sangat tega dengan putri sendiri. Lia masih muda Mah, Pah. Tidak seharusnya kalian menyetujui rencana lelaki gila itu!” emosi Lia kembali meledak, namun Kawindra dan Watika hanya bisa diam.
“Sekarang terserah Mama dan Papa. Lia hidup memang untuk diatur kalian berdua. Sejak dulu Lia tidak pernah menjalani hidup dengan pilihan sendiri. Semuanya hanya keinginan Mama dan Papa. Sekarang pun masih sama, harus menikah dengan laki-laki pilihan Mama dan Papa bahkan Lia tidak tahu bagaimana dia nantinya.” Lalu Lia melenggang pergi meninggalkan rumah.
Watika dan Kawindra masih diam di tempat mereka masing-masing. Ucapan Lia menuruk hati sepasang suami istri tersebut. Mereka tidak menyangka ternyata niat yang selama ini menurut mereka baik ternyata menyiksa putrinya. Namun, mereka akan tetap menikahkan putrinya dengan Sacha karena hanya dialah satu-satunya orang yang bisa menolong perusahaan keluarga dari kebangkrutan.
***
Gianna mengertkan keningnya sat melihat Lia datang dalam keadaan wajah masam. Gianna adalah sahabat Lia yang selalu ada di setiap waktu. Meskipun sifatnya terkadang menyebalkan.
“Li, lo lagi nggak kesambet sama setan jalanan kan ya?” tanya Gianna setelah Lia duduk di sampingnya.
Lia menatap sang sahabat dengan wajah datar, “Menurut lo?”
Gianna nampak berpikir keras, “Setahu gua sih ya, setan aja takut sama lo nggak mungkin juga dia mau ngasih sawan ke elo. Kenapa sih? Cerita dong sama gue sahabat lo yang paling bahenol ini.”
Lia berdecak kesal. Bisa-bisanya Gianna di saat yang seperti ini masih menyebutkan postur tubuhnya yang berisi. Ya, Gianna memang berisi, tapi bukan tergolong gendut.
“Gua mau nikah.”
“WHT!” jerit Gianna sampai membuat seisi kantin menatap kearahnya bingung. Lia langsung menempelkan jari telunjuknya tepat di depan bibirnya untuk meminta Gianna diam.
“Diem elah! Mulut lo persis petasan banting!” ucap Lia kesal.
Saat itu juga Gianna membekap mulutnya sendiri yang terkadang suka lepas kontrol. Terkejut? Itu sudha tentu pasti. Setahu Gianna, Lia tidak mempunyai kekasih. Lalu, mau menikah dengan siapa sahabatnya itu? Tidak mungkin kan menikah sama batang pisang.
“Lo mau nikah sama siapa? Doi aja lo nggak punya.”
“Lo tau Sacha Theodore Raymond, ‘kan?” tanya Lia.
Gianna kembali berpikir keras, memeriksa otaknya mencari-cari nama yang Lia sebutkan.
“Sacha ya? Keluarga Raymond?” tanyanya lagi dan Lia mengangguk.
“Pengusaha muda sukses bukan? Yang selalu memenangkan tender besar di dalam maupun luar negeri?” lagi-lagi Lia mengangguk.
“Wahhh, nggak mungkin sih.” Gianna menggelengkan kepalanya tidak percaya.
“Kenapa lo nggak percaya?” tanya Lia.
“Gua rasa dia udah buta deh. Banyak loh gadis0gadis di luaran sana yang lebih cantik dari lo yang lebih sesksi dan lebih bahenol dari lo. Kenapa harus lo? Nggak rela lo nikah sama dia!”
Lia memukul kepala Gianna sampai membuat sang sahabat menjerit kesakitan.
“Pala gua onyon! Lo kita samsak apa!” gerutu Gianna kesal.
“Lagian, gua cerita begini mau ceri solusi, lo malah cari masalah sama gue! Emangnya taunya lo, gue mau gitu nikah sama dia? Ogah! Laki-laki apaan nggak punya ekspresi. Males banget kali ngobrol sama dia,” cerocos Lia panjang lebar.
“Lo serius nggak mau nikah sama dia? Ya udah gua aja yang gantiin,” candanya.
Lia berdecak kesal, Gianna memang tidak pernah serius bila diajak bicara.
“Masalahnya gua nikah sama dia itu karena perusahaan bokap gue lagi bangkrut.”
Gianna kembali membungkam mulunya sendiri karena terkejut, “Serius?” tanyanya tidak percaya.
Lia mengangguk lemah, “Begitu lah kenyataanya. Gue kecewa sih sama Mama Papa. Kenapa harus anaknya yang menjadi korban? Memangnya tidak ada cara lain untuk itu semua?”
Gianna menepuk pundak Lia beberapa kali untuk menguatkan sang sahabat. Gianna sekarang paham betul bagaimana perasaan Lia. Pasti hancur dan tidak percaya. Masa mudanya sebentar lagi akan lenyap.
“Berarti waktu kita untuk ngobrol seperti ini jadi berkurang dong?” Gianna berucap dengan wajah sedih.
“Setelah menikah, gua nggak mau dikurung. Enak aja! Dia nikahin gua secara paksa terus mau dikurung tiap hari di rumah gitu? Mana bisa seperti itu! Tidak akan pernah terjadi! gua mau ngumpul ya tinggal keluar. Dia kan bukan suami idaman gue jadi ya bodo amat lah.”
“Dosa onyon lo kaya gitu! Lo mau masuk neraka?”
“Lebih dosa lagi dial ah, nikahin anak orang yang usianya masih muda. Gua nggak mau ya melayani nafsunya secara suka rela.”
“Emangnya lo mau di unboxing, Li?”
“KAGA!” jerit Lia, dan kembali membuat semua orang yang ada di kantin itu menatapnya.
“Udah lah, makinan ngawur lo kalo ngomong. Kita ke kelas yuk,” ujar Lia. Lalu diangguki oleh Gianna.
Keduanya pun akhirnya meninggalkan kantin. Lia mencoba untuk melupakan masalahnya di rumah dengan bercanda dengan teman-temanya siapa lagi kalau bukan Gianna dan juga Marthin. Mereka berdua sukses membuat Lia kembali tertawa. Meskipun tidak selepas biasanya. Marthin belum mengetahui semuanya. Lia belum menceritakan hal itu.
***
“Sudah berapa kali saya bilang sama kamu, jauhi laki-laki itu!”
Suara Sacha memenuhi mobil membuat Lia muak akan hal itu. Selepas jam kuliah selesai, Lia langsung dijemput oleh Sacha dan tiba-tiba saja lelaki itu amarahnya meledak-ledak.
“Kenapa sekarang jadi Om sih yang ngatur hidup saya! Suka-suka saya lah mau deket sama siapa aja. Emangnya Om siapa saya?”
“Saya calon suami kamu!” sahut Sacha cepat.
Lia terkekeh mengejek, “Calon suami? Ingat Om, pernikahan itu sama sekali bukan Lia yang mau!”
“Saya tidak mau tahu, jauhi lelaki itu. Apa kata orang nantinya jika tahu calon istri saya tertawa dan bergelayut manja di tubuh laki-laki lain. Kamu mau membuat harga diri saya turun?”
“Lia nggak pernah peduli dengan harga diri Om. Om saja tidak pernah menghargai Lia, lalu Om mau memaksa Lia untuk menghargai situ? Tidak akan pernah bisa!”
“Kamu jangan keras kepala!” bentak Sacha, seketika membuat Lia terdiam kaku di tempatnya.
“Sudahlah, amari kita pulang.” Lalu Sacha menjalankan mobilnya. Selama perjalanan pulang, hanya terjadi keheningan di sana. Lia masih terkejut karena Sacha sudah berani membentaknya.