BAB 9

1226 Kata
Lia terlihat anggun mengenakan baju pengantin berwarna putih dipadukan dengan rok batik. Akibat dari rok yang sangat sempit membuatnya susah untuk melangkah. “Njir, lo cakep banget gila!” Gianna menatap Lia dari atas sampai bawah seolah dia tidak percaya jika yang berada di depannya itu adalah sang sahabat. “Biasa aja keles. Gue emang udah cakep dari lahir. Dasarnya aja mata lo ketutupan sama belek,” celetuk Lia. Solah gadis itu lupa jika dirinya akan menjadi ratu dalam waktu satu hari. Ucapan Lia tidak ada yang berubah, tetap sama seperti dulu. “Calon suami lo mana?” tanya Gianna. “Lagi berak kali,” jawab Lia sekenannya. Akad nikah akan berlangsung di hotel bintang lima yang kemarin sempat Lia kunjungi bersama dengan Sacha. Lia masih tidak menyangka jika sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang istri dari peria dingin menyebalkan seperti Sacha yang konon katanya menjadi idaman para gadis-gadis di seluruh Indonesia. Namun, bersuamikan Sacha adalah nasip buruk untuknya. Bagaimana tidak, Lia harus dipaksa tinggal satu atap bersama dengan laki-laki yang tidak punya perasaan. “Sayang, kamu jangan gugup ya,” ujar Watika yang udah duduk di samping suaminya. “Mana ada gugup. Orang ini Cuma kaya karnaval biasa,” jawab Lia di dalam hati. Ya, sama sekali Lia tidak merasakan jantungnya berdebar seperti yang dikatakan seorang pengantin wanita pada umumnya. Lia berharap Sacha akan terus menerus salah menyebut namanya, dengan begitu pernikahannya akan batal. Bisik-bisk terdengar dari para tamu undangan menyebutkan nama Sacha dan mengagumi ketampanan lelaki itu. Lia menatap kearah meja akad dan ternyata di sana sudah terdapat calon suaminya mengenakan jas berwarna putih beserta peci. Terlihat sangat berbeda memang, Lia mengakui itu. Akan tetapi, sifat menyebalkan Sacha tidak akan pernah hilang dalam sekejap. “Kenapa gue malah dag dig dug,” batin Lia saat melihat Sacha dan sang penghulu mulai berjabat tangan. Watika semakin menggengam erat tangan sang putri saat Sacha dengan lantangnya mengucapkan kalimat sakral berjanji di hadapan Allah, keluarga, penghulu, dan semua para saksi yang menghadiri acara tersebut. saat kata ‘sah’ diucapkan secara serantak, di saat itu juga lah tangis Watika pecah ssembari memeluk putrinya dia berkata. “Selamat sayang, sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Mama dan Papa tidak akan pernah melarang kamu untuk main ke rumah. kamu tetap akan menjadi putri kebanggaan kita. Kamu akan tetap menjadi putri kecil kita. Berbaktilah kepada suamimu, hormati dia seperti kamu menghormati Papa dan sayangi kedua orang tua mertuamu seperti kamu menyayangi orang tua kamu sendiri.” Wejangan yang diberikan watika sukses membuat air mata Lia berngucur deras membasahi ke dua pipinya. Gadis itu memeluk sang mama erat. Jika ditanya apakah Lia masih marah dengan oang tuanya? jujur, Lia masih marah. Akan tetapi, rasa kecewa itu kalah dengan rasa sayangnya kepada orang tua yang selama ini merawat dan membesarkannya. “Lia akan selalu ingat pesan Mama,” ucapnya. Lalu Lia mengurai pelukannya. Watika dan Gianna mengantarkan Lia tepat di samping sang suami. Lia sedikit menepis julukan itu, tetapi dia tidak bisa mengelak jika sekarang ini Sacha sudah menjadi suaminya. “Om mau minta uang jajan?” tanya Lia, saat Sacha mengulurkan tangannya. “Salim,” ujar Sacha dengan suara yang datar. “Ohhh, bilang dong dari tadi.” Lia langsung mecium punggung tangan suaminya dan di saat itu juga para kamera membidik mengambil gambar moment yang paling membahagiakan, menurut mereka. “Selamat ya, kalian berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Untuk kamu Nak Lia, layani suami kamu sebaik mungkin karena sekarang surga kamu berada di tangan nak Sacha, tetapi bukan berarti kamu sudah tidak berbakti kepada Mama dan Papamu. Berhubungan baik dengan orang tua setelah menikah itu hal yang wajib dan untuk nak Sacha, kamu tidak boleh melarah nak Lia untuk bertemu dengan orang tuanya. Sampai di sini kalian berdua paham?” tanya sang penghulu. Lia dan Sacha mengangguk secara bersamaan, “Paham Pak.” Keduanya pun berucap bersamaan. “Alhamdulillah jika kalian berdua paham. Sekarnag tanda tangani surat-surat ini.” Lia dan Sacha dihadapkan dengan beberapa kertas untuk ditanda tangani. Setelah semuanya selesai kini semua keluarga berkumpul untuk memberikan sselamat kepada ke dua mempelai pengantin. “Putri Papa sudah resmi menjadi milik orang,” ujar Kawindra sembari memeluk sang putri. “Maafkan Papa yang sudah mengorbankan masa depan kamu. Tapi, yang kamu perlu harus tahu, Papa sangat menyayangi kamu. Kamu masih akan tetap menjadi putri kecil Papa, nak. Semoga kamu bahagia dengan Sacha, dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab.” “Bertanggung jawab dari mananya sih Pah? Dia itu menyebalkan sudah persis seperti orang yang tidak pernah belajar tata karma,” batin Lia kesal. “Akhirnya kamu jadi putri Mama, sayang.” Zora memeluk tubuh mungil Lia dengan erat sampai gadis itu tidak bisa bernapas dengan baik. “Mah, jangan terlalu erat. Kasihan Lia,” peringat sang suami membuat Zora langsung melepaskan pelukannya. “Maafkan Mama sayang, Mama sangat bahagia sekali.” “Tidak apa Mah,” ucap Lia. Semua keluarga besar berkumpul mengobrol bersama setelah acara akad selesai. Namun, tidak untuk sang pengantin baru. Ke duanya harus duduk di pelaminan menyambut para tamu yang datang. “Marthin kemana? Kok dia nggak dateng ya?” batin Lia, sembari meneliti seluruh penjuru yang ada mencari sosok lelaki itu. “Sedang mencari siapa?” Suara Sacha yang datar sukses membuat Lia terkejut. Gadis itu menoleh ke samping memberikan tatapan tajam untuk suaminya. “Bisa nggak sih Om itu kalo ngomong jagan ngagetin orang?” tanya Lia, sedikit mengomel kesal. “Saya ini suami kamu bukan suami dari Tante kamu,” ujar Sacha, lagi-lagi dengan suara yang datar. “Lalu, Lia harus manggil apa dong? Kan emang bener Om ini pantesnya jaadi suaminya tante Lia bukan suaminya Lia.” “Sekali lagi kamu membantah, bisa saya pastikan untuk beberapa hari ke depan kamu tidak bisa berkutik dari atas kasur.” Lia menelan ludahnya susah payah seperti ada yang mencekik lehernya. Ancaman Sacha membuat Lia takut ingin tidur bersama dengan suaminya sendiri. Sacha memang benar-benar sangat kejam. Begitu lah kata hati Lia berkata. “Lalu, Lia harus memanggil apa?” tanya Lia, menatap Sacha polos. “Bisa Kak, Mas, Bang           , Sayang, dan masih banyak lagi panggilan sayang untuk para suami.” Lia mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin. Baru beberapa saat bersama dengaan Sacha sudah membuatnya hampir kehilangan kesabaran dan kewarasan. “Oke, Mas. Lia tidak akan pernah membantah.” Sacha tersenyum miring, “Bagus, Dek.” Seruni memelototkan matanya saat mendengar panggilan Sacha untuknya. Dek? Lia geli sendiri mendengar panggilan itu. Sejak kapan seorang Sacha sangat kuno sekali. Padahal Lia ingin dipanggil sayang, ayank, dan masih banyak lagi panggilan romantis. “Kenapa? Ada yang salah sama panggilan saya ke kamu?” tanya Sacha, tatapan tajam lelaki itu membuat Lia menggeleng. “Tidak.” Lalu keduanya kembali hening. *** Acara pernikahan dan resepsi telah selesai digelar. Sehaarianpenuh terus berdiri menggunakan sepatu tinggi dan rok yang sempit membuat Lia tersiksa di pernikahannya sendiri. Namun, meskipun harus menahan sakit di sekujur tubuhnya, Lia bahagia karena pernikahannya digelar sesuai dengan mimpinya dulu. Sementara Sacha masih berada di balkon kamar hotel. Lia tidak tahu apa yang sedang lelaki itu lakukan, yang jelas di sana banyak asap. Mungkin sedang merokok, begitu lah hati Lia berkata. Tanpa menunggu sang suami kembali, Lia memutuskan untuk membersihkan tubuhnya agar lebih cepat beristirahat. “Maaf, tapi ini sudah menjadi keputusanku. Kita masih bisa bertemu diam-diam,’ ujar Sacha kepada seseorang di sebrang sana. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN