Mobil itu memasuki kawasan mewah dan elit. Lia saja tercengang nelihat bangunan-bangunan rumah megah di sepanjang jalan yang dia lewati.
“Om, sebenarnya kita ini mau ke mana?” Lia bertanya, di sela-sela keheningan. Ke dua matanya masih menatap rumah-rumah itu penuh dengan kekaguman. Di dalam hati Lia menerka, semua orang yang tinggal di perumahan ini pasti memiliki perusahaan sendiri-sendiri dan berpenghasilan milyaran di setiap bulannya. Bayangkan saya rumah sebesar itu pasti membutuhkan biaya yag tidak main-main.
Saat Lia sedang asyik dengan pikirannya, mobil yang ditumpanginya berhenti di salah satu rumah mewah di kawasan tersebut. Gadis itu mengerutkan keningnya saat melihat dua orang paruh baya, laki-laki dan perempuan sedang menunggu di teras rumah.
“Ayo turun,” ujar si pengemudi tersebut dengan suara dan wajah yang datar.
Lia mengerutkan keningnya bingung. Dia belum menjelaskan apa-apa, lalu mengapa menuruh Lia turun. Begitulah kata hatinya berkata.
“Ayo cepat turun, tunggu apa lagi!” lelaki itu semakin memerintah dengan tegas. Mau tidak mau akhirnya Lia keluar dari dalam mobil tersebut. Lagi-lagi gadis itu dibuat terkejut dengan pemandangan rumah di depannya. Sunggu, bonsai itu membuat Lia ingin menghampirinya. Namun, saat gadis itu ingin menghampiri tempat yang menjadi pusat perhatiannya, tiba-tiba saja lengan tangannya di cekal kuat.
“Kenapa?” tanya Lia, dengan wajah yang polos.
“Mau ke mana kamu?! Kamu sudah tidak bisa kabur lagi dari ini!”
“Siapa yang mau kabur sih , Om?” Lia semakin menatap lelaki bertubuh tinggi tegap itu dengan raut wajah bingung.
“Sidahlah, Tuan dan Nyonya besar sudah menunggumu di sana.” Pandangan mata lelaki itu tertuju kearah Janardana dan Zora yang sedari tadi sudah berdiri di teras rumah.
“Mereka siapa? Mengapa menatapku seperti itu?” Lia kembali bertanya, tetapi pertanyaan itu diabaikan begitu saja.
Dibawanya tubuh Lia mendekati Janardana dan Zora. Gadis itu menunduk takut sesaat sudah berada di depan ke dua pasangan paruh baya tersebut.
“Terima kasih Kenzo, kamu sudah membawanya dalam keadaan selamat,” ujar Janardana.
Lelaki yang membawa Lira itu bernama Kenzo, ia mengangguk, “Sudah seharusnya seperti itu, Tuan. Karena ini adalah pekerjaan saya,” ucapnya, dengan wajah datar. Meskipun Kenzo sedang berbicara dengan majikannya, tetap lah wajahnya datar tanpa ekspresi apapun. Karena memang sedari dulu dia sudah seperti itu. Otot wajahnya sangat kaku sehingga untuk tersenyum saja membutuhkan waktu lama.
“Nama kamu Lia kan, sayang?” tanya Zora, menatap Lia dengan senyuman manis di bibirnya.
Gadis manis nan terlihat polo situ megangguk, “Iya Tante, saya Lia.”
“Jangan memanggil Tante dong, panggil saja Mama dan ini Papa,” ujar Zora mengoreksi ucapan Lila.
Gadis itu hanya bisa mengangguk dan menuruti permintaan Zora, “Maafkan Lia, Mah.”
Zora tersenyum manis, “Tidak apa sayang.” Lalu ia menatap suaminya dengan senyum kebahagiaan. “Akhirnya kita punya anak perempuan yang manis seoerti Lia ya Pah. Aduh, Mama sudah tidak sabar mendadani dia seperti boneka.”
Janardana menggelengkan kepalanya, “Lia sudah dewasa, Mah. Bukan lagi seorang gadis kecil berusia 5 tahun.”
Wajah Zora masam, sedari dulu wanita itu memang menginginkan anak perempuan, tetapi apalah daya dirinya dan sang suami sudah berusaha sekuat tenaga namun Allah belum juga memberinya keturunan kembali. Sempat beberapa kali mengikuti program bayi tabung, hasilnya pun sama, Zora keguguran. Terus menerus seperti itu sampai akhirnya Zora menyerah. Dia tidak ingin kembali sakit. Namun, kini, Zora seperti kembali mendapatkan putrinya. Lia yang hadir di tengah-tengah mereka nampaknya akan memberikan warna baru di sana.
“Sudah jangan masam seperti itu wajahnya, sebaiknya kita bawa Lia ke dalam. Pasti tadi kamu belum sarapan kan sayang?” Janardana bertanya kepada gadis lugu itu, dengan senyum yang selalu bertengger di wajahnya.
Lia menggeleng pelan, “Belum Pah.” Lalu tidak berselang lama suara cacing di perutnya berbuyi membuat dia meringis menahan malu karena Janardana dan Zora menertawakannya.
“Perut kamu sudah minta diisi itu, ya sudah ayo kita masuk ke dalam. Mama sudah masak banyak buat kamu.” Zora bersemangat sekali membawa Lia masuk ke rumahnya. Wanita itu tidak sabar ingin melayani Lia dengan baik.
“Mah, pelan-pelan bawa Lia-nya!” peringat Janardana. Karena lelaki itu tahu bila Zora sudah bahagia terkadang suka lupa dengan daratan.
Zora mendudukkan Lia di salah satu kursi mewah meja makannya. Bahkan meja makan sampai peralatannya pun berlapis kan emas.
“Ini sih definisi sultan yang sesungguhnya,” ucap Lia di dalam hati, terkagum-kagum.
“Owh, dia sudah sampai?”
Suara itu membuat pusat perhatian Lia terbuyarkan. Gadis mungil itu menoleh kebelakang dan mendapati Sacha di sana yang sedang menggulung keja putihnya. Sempat Lia terkejut karena kehadiran Sacha, namun itu hanya bertahan beberapa saat.
“Sacha, ayo kita sarapan bersama. Mama sudah masak menu yang banyak pagi ini.” Zora menarik pergelangan tangan sang putra dengan semangat yang menggebu-gebu. Janardana melihat istrinya kembali utuh seperti semula pun tersenyum bahagia. Sudah lama ia mendambakan Zora seperti sedia kala, karena kekecewaanya tidak kunjung mendapatkan anak perempuan membuat Zora terkadang murung seorang diri di dalam kamar. Namun, lihatlah sekarang setelah kehadiran Lia wanita itu menjadi kembali bersemangat.
“Iya Mamaku sayang, pelan-pelan dong jalannya nanti kalau terjatuh lalu kakinya terkilir Sacha bisa sedih.”
Zora tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih, “Tenang saya, Mama akan baik-baik saja. Sudah ayo kita sarapan, pasti Lia sudah kelaparan itu.”
Sacha sekilas melirik Lia. Lelaki itu sempat tertegun dengan perubahan sang mama yang tiba-tiba terjadi. lelaki itu berpikir, apa semua ini karena kehadiran Lia? Begitu lah hatinya bertanya.
Zora sangat bersemangat untuk mengambilkan nasi serta lauk pauk untuk Lia. Bahkan piring sebesar itu sudah penuh dengan makanan. Lia yang melihat saja sudah menangis duluan sebelum memakan makanan itu.
“Yahhh, program diet gue auto gagal total ini mah!” jeritnya di dalam hati.
“Kamu harus menghabiskan ini semua. Biar badan kamu semakin berisi. Kalau kamu gebuk dan gembul, Mama pasti akan sangat bahagia melihatnya.”
Lia tersenyum tersiksa, bukan masalah gemuk atau kurusnya, hampir semua dalaman yang dia punya sudah tidak muat lagi. Tidak hanya itu, sebagian baju dasternya pun mulai kekecilan. Makanya Lia berniat untuk diet agar tubuhnya kembali seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia lelah harus bergantu ukuran bila membeli dalaman.
“Iya Mah, pasti Lia akan menghabiskan semua ini kok.” Gadis itu mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya menggunakan sendok. Semuanya pun makan dengan sangat tenang. Begitu pun dengan Sacha.
Acara sarapan pagi pun telah usai, kini Lia dan Zora disibukkan dengan hewan peliharaan yang ada di kawasan belakang rumah yang luas. Lia sangat bahagia saat Zora mengajaknya untuk melihat semua kelinci kesayangannya. Ternyata kandang kelinci itu besarnya melebihi kamar Lia. Gadis itu pun sampai iri melihatnya.
“Bagaimana, mereka sangat lucu bukan?” tanya Zora, menunjuk salah satu kelinc paling gemuk di antara kesepuluh kelinci lainnya.
Lia mengangguk bersemangat, “Iya Mah, dia lebih gendut dan sangat lucu. Warnanya pun Lia sangat suka.”
“Kamu juga suka dengan kelinci?” tanya Zora, tidak percaya.
Lia mengengguk, “Sangat menyukainya. Tapi, Mama Lia tidak pernah mengizinkan Lia memelihara hewan. Karena jika hewan itu mati, pasti Lia tidak mau makan sampai berhari-hari,” jelas gadis itu.
“Sekarang Mama akan mengajarimu bagaimana caranya merawat hewan dengan baik dan benar.”
Lia tersenyum bahagia, “Terima kasih, Mah.” Zora hanya mengangguk masih dengan senyumnya yang terlihat bahagia.
Zora kembali membawa Lia berkeliling rumahnya. Semua sudut sudah mereka lalui dan di setiap sudutnya Zora menjelaskan dengan rinci. Kedekatan mereka berdua selalu diawasi oleh Janardana dan juga Sacha.
“Papa sangat meminta sama kamu, tolong jaga Lia dan jangan sakiti gadis itu. Lihatlah betapa bahagianya Mamamu saat melihat Lia hadir di rumah ini.”
Sacha mengangguk, “Iya Pah.”
“Tapi Sacha tidak pernah berjanji untuk menjaga Lia, Pah,” batin Sacha.