Lia kembali dihadapkan dengan sosok lelaki dingin, siapa lagi jika bukan Sacha orangnya. Lelaki itu meminta waktu Lia sedikit untuk membicarakan hal yang sangat penting dan gadis itu hanya bisa menurut saja. Jika tidak begitu, Lia yakin ia akan menjadi pusat sasaran kemarahan Sacha nantinya.
“Om mau bilang apa sih? Sudah tiga puluh menit lamanya Lia ada di sini, duduk diam, dan hanya melihat Om bekerja di sana,” ujar gadis itu, protes dengan kehadirannya yang tidak dianggap. Lia kesal, pasalnya gadis itu hanya duduk diam tidak melakukan hal apapun. Dia juga kesal karena Sacha tidak kunjung membicarakan niatnya.
Sacha mendongak, lelaki itu melepas kacamata yangsedari tadi bertengger di hidungnya lalu ia menutup laptopnya dan membereskan berkas yang masih berantakan di atas meja kerjanya.
“Ayo kita ke butik.”
Lia membelalakkan matanya terkejut, “Ke butik? Mau ngapain ke sana, Om?” tanyanya dengan tatapan menuntut.
“Jualan rujak cireng,” jawab Sacha, lalu lelaki itu keluar dari ruangannya.
Lia meremas jemarinya sendiri. Kesal? Sudah tentu pasti gadis itu rasakan saat mengobrol dengan Sacha. Lelaki irit bicara dan minim ekspresi. Lia gemas sendiri ingin merombak semua wajah Sacha agar lelaki itu bisa menampilkan ekspresi lain selain datar. Lia tidak menyangka ternyata ada laki-laki seperti Sacha.
“TUNGGU OM!” teriaknya, lalu ia beranjak dari duduknya berlari keluar dari ruangan sacha untuk mengikuti langkah laki-laki itu.
Saat berada di pertengahan anak tangga, langkah Lia terhenti saat gadis itu melihat Sacha sedang bersama dengan Zora. Lalu dengan pelan Lia melanjutkan kembali langkahnya.
“Ehhh, anak Mama sudah turun. Kamu yang baik-baik ya kalau ikut Sacha. Jangan tersinggung sama ucapannya, dia memang seperti itu dari dulu,” ujar Zora, ketika melihat Lia turun dari anak tangga terakhir.
Lia tersenyum, lalu mengangguk, “Iya Mah, Lia akan terbiasa dengan wajah betonnya itu,” ucap Lia menekan kata ‘beton’ sambil menatap Sacha sinis. Sacha memilih diam, lalu dia pergi meninggalkan Lia tanpa menarik pergelangan tangan gadis itu.
“Lah, kok gue ditinggal sih?! Dasar laki-laki sinting!” teriaknya di dalam hati. Sungguh, kesabaran Lia hampir saja habis, padahal baru beberapa jam bersama Sacha. Lalu, apa kabar jika nanti mereka tinggal satu atap?
“Dasar anak itu kebiasaan!” gerutu Zora menatap punggung sang putra kesal.
“Tidak apa Mah, biar Lia saja yang mengejarnya. Kalau begitu Lia pergi dulu ya Mah, Assalamualaikum.” Gadis itu mencium punggung tangan Zora.
“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan sayang.” Lia hanya mengangguk dengan senyuman lalu ia berlari mengejar Sacha yang sudah berada di luar rumah.
***
“Om, sebenarnya kita ini mau ke mana?” tanya Lia, di sela-sela keheningan yang terjadi di dalam mobil tersebut.
Sacha yang sedang asyik mengemudi pun menoleh sekilas, “Tadi saya sudha bilang, kita mau ke butik.”
“Tapi kenapa harus ke butik? Mau ngapain ke sana?”
Pertanyaan Lia sukses membuat kesabaran Sacha hampir saja habis. Lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.
“Jika kita ke butik, sudah pasti akan mencari baju di sana. Bukan mencari rujak cireng.”
“Baju untuk siapa?” Lia menatap Sacha polos.
“Kelinci Mama yang bernama Boim,” jawab bSacha sekenannya.
“Ngomong-ngomong kelinci Mama yang namanya Boim itu yang mana ya? Perasaan tadi nggak ada deh.” Lia semakin menatap Sacha penasaran.
Sacha menggembungkan ke dua pipinya, kesabarannya hampir saja lenyap, “Dia sudah meninggal.”
“Lalu, jika sudah meninggal kenapa dibelikan baju? Siapa yang akan memakainya tidak mungkin tulang belulangnya kan?”
Sacha melemparkan tatapan tajamnya, “Lia, kamu itu gadis sudah berumur dewasa, tapi kenapa otakmu masih sama seperti bocah berusia 5 tahun? Sudah jelas-jelas jika kita ke butik, itu berarti kita lah yang akan mencari baju. Kenapa saat saya mengatakan ingin mencarikan baju kelinci kamu malah percaya?!” Sacha sudah kehilangan kesarbaran menghadapi kepolosan Lia.
Lia tersenyum, “Waahhh. Apa Om sadar, barusan Om mengatakan lebih dari 10 kalimat loh. Sungguh momen yang sangat langka.” Dengan polosnya gadis itu bertepuk tangan bahagia seolah sedang melihat pertunjukan.
Sacha diam, lelaki itu juga baru saja menyadari ternyata baru saja dia mengucapkan banyak kata untuk mengomeli Lia. Padahal sebelumnya jika lelaki itu kesal, dia hanya diam berkata sedikit tetapi pedas.
“Diam Lia!” bentak Sacha, seketika membuat Lia terdiam. Gadis itu memilih meliha pemndangan luar melalui jendela.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan akhirnya mobil yang Sacha kendarai telah sampai di salah satu butik ternama. Lia saja baru beberapa kali datang ke sana.
“Turun!” perintah Sacha dengan suara yang dingin dan datar.
Tanpa banyak berkata dan protes, Lia memilih turun dari mobil Sacha. Gadis itu tidak lagi ingin berdebat dengan lelaki menyebalkan seperti Sacha. Lia mengikuti langkah Sacha memasuki butik tersebut.
“Pesanan saya sudah jadi?” tanya Sacha pada salah satu pegawai di sana yang khusus mengursi pesanan Sacha.
“Sudah Tuan, mari ikut saya.” Wanita dengan pakaian serba mini itu memasuki salah satu ruangan di susul oleh Lia dan Sacha.
Sebuah gaun yang terpasang di salah satu manekin sukses membuat Lia terpikat. Gaun putih bersih dengan manik-maik cantik yang terpasang di setiap benangnya menjuntai sampai menyapu lantai.
“Wow, bagus sekali,” ujarnya. Tanpa Lia sadari, langkahnya membawa dirinya menuju gaun tersebut.
Bahan yang tebal dan halus membuat tangan Lia tidak mau beranjak dari gaun tersebut. Saca yang melihat tingkah norak Lia pun hanya diam menahan malu.
“Lia, jauhkan tanganmu!” perintahnya tegas.
Sontak Lia pun menjauhkan tangannya dan mundur beberapa langkah. Gadis itu menatap Sacha sedih. Mengapa tidak boleh menyentuh gaun itu? Padahal hanya ingin merasakan saja. Begitu lah hatinya mengomel.
“Ingin dicoba Tuan?” tanya wanita itu dan hanya diangguki oleh Sacha.
“Nonya Lia, mari kita coba gaunnya di dalam.”
Lia diam, gadis itu menujuk dirinya sendiri, “Saya?” tanyanya tidak percaya.
Wanita yang berpakaian serba mini itu menganggul lalu tersenyum tipis, “Betul Nyonya. Gaun ini dipesan khusus oleh Tuan Sacha untuk pernikahan kalian,” jelasnya.
Lia kembali terkejut, awal mereka pergi Sacha tidak mengatakan apapun.
“Om, ini maksudnya ….”
“Sudah jangan banyak bicara!”
Lia mengangguk, lalu gadis itu mengikuti langklah wanita berpaianan mini itu masuk ke dalam ruangan yang sangat tertutup. Selama meninggu Lia selesai memakai gaunnya. Sacha memutuskan untuk duduk di salah satu sofa yang sudah di sediakan dan dia mengambol beberapa majalah untuk menghilangkan bosan yang melanda selama menunggu Lia.
Setelah lama mencoba memakai gaun pengantin itu, akhirnya Lia bisa bernapas lega akhirnya gaun mewah yang dia lihat tadi sudah terpasang di badannya dan kini saatnya menunjukkan pada Sacha.
“Om, bagaimana?”
Suara Lia membuat Sacha mendongak. Lelaki itu terdiam cukup lama, menatap Lia tanpa berkedip. Gadis itu yang ditatap seperti itu hanya bisa diam menahan senyumnya.
“Apakah laki-laki menyebalkan itu terkagum dengan kecantikanku?” batinnya di dalam hati.
“Dimatamu ada kotoran,” ujar Sacha lalu lelaki itu kembali pada majaalah yang dia baca.
Seketika Lia membersihkan sudut matanya, “Tidak ada kok!” teriaknya kesal.
“Bajunya sudah pas bukan? Cepat lepas, lalu kita pulang.”
Lia kembali masuk ke dalam ruang ganti dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Kesal? Sudah tentu pasti Lia rasakan sedari tadi. Apakah semua lelaki dengan wajah datar akan seperti itu?