Lia menangis di dalam kamarnya. Rasa kecewa itu sedari tadi menyelimuti dirinya. Di heningan yang terjadi, gadis itu meraung dan marah kepada takdir. Hingga suara ketukan pintu itu terdengar.
Tok tok tok.
Lia masih setia pada posisinya, dia enggan untuk melangkah karena gadis itu tahu siapa yang berada di balik pintu itu.
“Sayang, buka pintunya, Nak. Mama mau menjelaskan sesuatu,” ucap Watika yang masih mengetuk pintu kamar putrinya yang masih setia tertutup.
“Mama tahu kamu sangat kecewa, situasi ini membuat Mama dan Papa tidak bisa berbuat apa-apa.”
Suara lemah dari balik pintu itu kembali menyayat hati Lia. Air matanya smeakin deras mengalir membasahi ke dua pipinya. Sungguh, dia tidak ingin menikah dengan lelaki yang minim ekpresi seperti Sacha.
“Sayang, buka pintunya, Nak, Mama mohon.”
Gadis itu pun akhirnya merangkak turun dari atas kasurnya untuk membukakan pintu untuk sang mama.
Watika tersenyum saat pintu itu dibuka. Dia melangkah masuk bersama dengan Lia yang mengekor di belakangnya.
“Sini Sayang.” Watika menepuk sisi kasur yang kosong. Pasalnya Lia duduk dengan jarak yang cukup jauh.
Gadis itu menghela napasnya kasar, lalu menggeser tubuhnya sedikit mendekat. Watika yang melihat wajah putrinya yang sembab pun hanya bisa menghela napasnya pelan.
“Maafkan Mama dan Papa yang tidak bisa berbuat apa-apa kali ini,” ucap Watika setelah lama terdiam.
“Langsung pada intinya, Mah.” Lia menatap Watika dengan tatapan yang datar.
Lagi-lagi Watika hanya bisa menghela napasnya pelan. Wanita itu tidak tega untuk mengatakan masalah yang sesungguhnya. Jujur, dia juga tidak ingin melihat putri semata wayangnya menikah di usianya yang masuh puda. Apalagi Lia baru saja memasuki dunia perkuliahan.
“Papa dan Mama mau kamu menikah dengan Tuan Sacha.”
Gadis itu kembali menitihkan air mata menahan perih dan sesak di dalam dadanya. Dia tidak menyangka ternyata ke dua orang tuanya begitu tega kepadanya.
“Tapi kenapa harus menikah dengan lelaki kaku seperti dia?” Lia bertanya dengan suara yang serak akibat menahan agar isak tangisnya tidak lolos dari bibir.
“Papa terlilit hutang.”
“Mengapa bisa?” selanya. Karena ketidak terimaan itu membuatnya berani kepada mamanya sendiri.
“Kami berdua juga tidak tahu, tiba-tiba uang perusahaan merosot satu tahun belakangan ini dan mengharuskan Papa untuk berhutang ke perusahaan lain untuk mengaji karyawan.”
Lia menggigit bibir bagian dalamnya kuat-kuat sampai rasa anyir itu memenuhi rongga mulutnya. Namun, dia sudah tidak mempedulikan itu, hati dan perasaannya lebih sakit dari bibirnya yang tercabik.
“Kenapa Lia harus menikah dengan lelaki tidak berperasaan itu?”
“Karena itu yang dia inginkan. Jika kamu tidak mau, maka perusahaan dan seluruh aset yang Papa miliki akan disita.”
Lia kembali dihadapkan dengan situasi yang sulit, membuatnya tidak bisa memilih selain menerima tawaran itu.
“Apa yang akan Lia dapatkan setelah menikah dengan lelaki itu?” tanyanya tanpa menatap Watika yang duduk di depannya.
“Kamu bisa mendapatkan segalanya. Dia adalah lelaki yang mapan dengan segudang kekayaan yang tidak akan pernah habis dimakan waktu. Percayalah, Mama dan Papa tidak akan membiarkan kamu hidup susah. Menikahkan dengan Tuan Sacha, maka hidup kamu akan bahagia.”
“Apa kebahagiaan hanya di ukur dengan kekayaan?”
Watika mengangguk. “Iya. Mama dan Papa hampir saja bercerai karena masalah ini.”
Lagi-lagi pilihan Lia dihadapkan dengan pilihan tersulit semasa hidupnya. Gadis itu terdiam cukup lama menimbang-ninbang tawaran itu. Jika dia tidak menikah dengan lelaki itu, maka ke dua orang tuanya akan berpisah. Jika dia menikah dengan lelaki itu, maka masa-masa remajanya yang akan terenggut.
Lia menghela napasnya pelan, lalu gadis itu pun mengangguk samar. “Lia setuju menikah dengan dia. Tapi ini hanya karena Lia tidak mau melihat Mama dan Papa bercerai, karena Lia tidak mau mempunyai keluarga yang tidak utuh.”
“Terima kasih, Sayang.”
Watika ingin mendekat memeluk sang putri, tetapi Lia memundurkan tubuhnya. Gadis itu masih merasakan kekecewaan yang luar biasa.
“Bisa Mama keluar? Lia membutuhkan waktu sendiri untuk beberapa jam ke depan,” ucapnya lagi-lagi enggan untuk menatap wajah sang mama.
Watika tersenyum tipis. “Kalau begitu Mama keluar dulu ya Sayang. Terima kasih telah menyelamatkan keluarga ini dari kebangkrutan.” Lalu Watika beranjak dari duduknya dan melenggang pergi dari kamar sang putri.
Watika kembali turun dan menemui Sacha. Wanita itu menunduk takut saat lelaki yang sedang duduk itu menatapnya tajam.
“Bagaimana?” tanyanya dengan nada serta wajah yang datar.
Watika kian menunduk takut. “Lia mau menikah dengan Tuan.”
Sacha tersenyum bahagia. Kepuasan itu membuat semua orang yang berada di ruang tamu itu kembali menghela napasnya lega. Lelaki itu beranjak dari duduknya, mengancingkan kembali kemejanya lalu melenggang pergi.
***
Pagi hari pun telah tiba, seperti hari-hari biasanya Lia bangun dari tidurnya, mempersiapkan diri untuk berangkat kuliah, dan mengikuti kebiasaan sarapan pagi.
Namun, pagi ini tidak seperti biasanya, Lia yang biasanya periang kini berubah murung. Untuk menatap ke dua orang tuanya saja pun dia enggan, karena masih asda rasa kekecewaan di dalam hatinya.
Kawindra dan Watika saling beradu pandang, keduanya tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk ke depannya. Masalah keuangan yang terjadi itu sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran ke duanya.
“Sayang, maafkan Papa,” ucap Kawindra memecah keheningan yang terjadi.
Lia tidak merespon, gadis itu memilih menghabiskan sarapannya lalu meneguk s**u yang sudah disediakan Watika setiap harinya.
Lia pergi tanpa berpamitan kepada ke dua irang tuanya. Watika dan Kawindra lagi-lagi hanya bisa diam dengan kebungkaman sang putri.
Sesampainya di depan, Lia harus dikejutkan dengan mobil mewah yang sudah terparkir rapih di halaman rumahnya. Gadis itu mengerutkan keningnya saat tahu siapa si pengemudi yang mengendalikan mobil mewah itu.
“Mari ikut saya!” perintahnya.
Lia memincingkan matanya. Lelaki itu tidak lain adalah pria yang kemarin tidak sengaja menabraknya.
“Mau apa Om ke sini?” tanyanya sembari bersidekap. Ke dua matanya membidik sinis kearah lelaki itu.
“Wajah saya masih tampan dan gagah. Rasanya tidak pantas kamu memanggil saja dengan sebutan ‘Om.’ Cepat naik, saya tidak memiliki banyak waktu lagi.”
“Om datang sendiri, kalau Om sibuk ya silahkan pergi.”
“Saya masih menginginkan pekerjaan ini. Jika kamu tidak masuk, maka pekerjaan saya yang akan melayang.”
Baru saja Lia ingin melayangkan protes, tiba-tiba saja gawainya berdering. dia kembali mengerutkan keningnya saat tidak ada nama, hanya tertera nomor di layar gawainya.
[Jangan sekali-kali membuatku marah, Lia. Cepat masuk!] perintah lelaki di sebrang sana.
Belum Lia melayangkan protes, sambungan telepon itu terputus secara sepihak. Lagi-lagi Lia berdecak kesal.
“Apa yang kamu tunggu? Cepat masuk!”
Lia memandang sengit lelaki itu, dengan perasaan yang kesal akhirnya Lia memilih untuk masuk dan ikut kemanapun lelaki itu pergi.
Tanpa mereka sadari, Watika sedari tadi menguping pembicaraan antara putrinya dan lelaki asing yang di yakini pasti itu salah satu orang kepercayaan Sacha.
Di dalam hati Wanita selalu berd’oa untuk sang putri tercinta agar selalu dilindungi dari marabahaya.