Part 04

1052 Kata
Jessi mendesah kasar mengentakan kakinya ke atad lantai keramik yang begitu dingin. Sepatunya sudah dicopot, akibat menaiki tangga dan tidak bisa memakai sepatu berhak tinggi untuk berlari menaiki tangga ke lantai dua. Tempat dosen k*****t dan kejam sedang bersemayam. Dengan biadabnya, Darren menyuruh Jessi untuk menaiki tangga bukan lift yang hitungan detik sudah sampai. Darren kembali mengancam, kalau Jessi tidak menaiki tangga, Darren akan memberikan nilai E untuk Jessi. Cih, pandainya cuman ngancam. Ngancamnya nilai lagi. Kalau Jessi mendapatkan nilai E, dirinya akan kena marah oleh orangtuanya. Tidak ada yang mau membelikan VCD Korea lagi, atau tiket gratis menuju Korea tidak dibiayai oleh Mama dan Papa-nya lagi, sehingga dengan apa pun caranya Jessi tetap harus mendapatkan nilai minimal B, nggak mau bercita-cita mendapatkan nilai A, A+, atau A+++++, yang tidak bisa dijankau oleh otak pas-pasannya. Mendapatkan B- saja sudah membuat dirinya senang, apalagi mendapatkan nilai A+ mungkin dirinya pingsan seketika. Jessi melihat papan nama yang berada di depan pintu ruangan Darren, Jessi merasa heran, kenapa ruangan Darren ada dibuat khusus seperti ini? Darren bukanlah seorang petinggi di kampus, yang bisa memiliki ruangan khusus sendiri. "Pak! Ini tugas saya!" tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, dirinya sudah nyelonong masuk mengabaikan ada seorang mahasiswa sedang duduk di depan Darren, kedua pria itu menatapnya dengan eksperesi berbeda-beda. Mahasiswa pria yang tidak dikenal oleh Jess, menatap Jessi dengan sinis, mahasiswi yang paling cantik di kampus ini, berlaku tidak sopan. Pikir pria itu. Darren tersenyum manis melihat gadisnya, yang tidak pernah berubah, malah semakin menjadi.  Darren tidak heran Jessi yang nyelonong masuk, sebab ia sudah memaklumi rasa tidak suka Jessi kepadanya. Bukan salah Jessi tidak suka padanya, karena dirinya yang terlalu kejam kepada gadis itu. Sebenarnya Darren tidak tega memberikan banyak tugas pada Jessi. Tapi... memikirkan kedisiplinan yang dijunjung tinggi olehnya, harus memberi hukuman itu pada Jessi. Dan, tidak membedakan Jessi dengan mahasiswa lainnya. "Kamu boleh keluar," Darren mengusir halus mahasiswa di depannya, tadi mahasiswanya ini sedang berdiskusi tentang masalah yang dihadapi oleh mahasiswa tersebut. Selain menjadi dosen, Darren kerap sekali menjadi teman curhat untuk mahasiswanya. Karena Darren akan memberikan solusi yang tepat, bukan solusi tanpa solusi. Darren dosen yang banyak digemari oleh mahasiswa, karena bisa menjadi temn curhat yang bisa memberikan jalan masalah yang mereka hadapi. Tak jarang, mahasiswa membahas masalah asmara salah satunya, tentang bagaimana cara mengatasi pacar yang sedang hamil. Darren akan geleng-geleng kepala, bila menerima masalah mahasiswanya yang menghamili kekasih mereka. Berani berbuat harus berani bertanggungjawab. "Jessi sampai kapan kau akan berdiri? Ayo, duduk." Darren berbisik di telinga Jessi. Jessi menatap Darren dengan kesal. Lalu menghentakkan kakinya, lalu mengambil duduk di kursi yang tersedia di depan Darren. "Bapak ngapain berdiri? Mau main lenong?" sindir Jessi, tanpa melihat ke arah Darren. Najis baginya melihat Darren. Sebagai pasukan pembenci Darren, yang mungkin di kampus ini hanya dirinya saja yang membenci Darren, dan ia hanya sendiri tidak pakai pasukan. Sial! Coba saja kalau dirinya masuk ke klub pemuja Darren, pasti banyak sekali umatnya di klub tersebut. Namun sanyangnya, sampai kapan pun dirinya tidak akan pernah memasuki klub terkutuk tersebut. Lebih baik dirinya menjadi mahasiswi satu-satunuya membenci Darren, dan dicaci maki oleh ribuan pemuja Darren. Oke, abaikan sejenak tentang kebencian dan pemujaan. Mending sekarang Jessi menyerahkan tugasnya dengan cara tidak hormat. Ngapain hormat? Emangnya lagi upacara? "Pak Darren, ini tugas saya. Tolong Anda sebagai dosen yang paling nyebelin!! Jangan memberikan saya tugas menyiksa. Bapak tau?" tanya Jessi lembut. Darren menggelengkan kepalanya, terhipnotis mendengar nada lembut dari suara Jessi. Oh ... apakah dia sedang di surga? Mendengarkan nada lembut Jessi sudah membuat dirinya melayang, bertemu dengan bunga-bunga, bintang-bintang, juga panah jodoh dari malaikat jodoh. Pasti dirinya sedang berada di surga. "Saya mau jalan malam minggu kemarin tidak bisa. Gebetan saya malah digebet sama rumput sebelah." Duar ... Khayalan barusan hancur seketika. Mendengar kalimat gebetan dari Jessi, membuat dirinya menahan kesal dan ingin menonjok lelaki yang sudah merebut calon istrinya. Tidak apa-apa sekarang hanya dirinya yang meng-klaim Jessi adalah calon istri. Suatu saat nanti, Jessi akan mengaku pada dunia kalau Darren adalah suami gadis itu. "Kamu punya gebetan?" tanya Darren tidak suka. Membayangkan Jessi berpegangan tangan saja, sudah membuatnya emosi. Apalagi harus melihat hal-hal lainnya. Jessi mendengkus. "Tadinya iya. Sekarang sudah nggak. Karena tugas-tugas Bapak membuat saya jomlo lagi." Jessi tidak menyimpan rasa kesalnya, malahan dirinya sedang menyalurkan rasa kesalnya pada Darren. Karena Darren dirinya harus kehilangan pria yang menurutnya, tidak malu-maluin, pengertian, perhatian, yang penting Jessi nyaman bersama pria itu. Beda dengan Jessi, Darren malah sangat bahagia mendengarnya. Kalau perlu pria yang menjadi gebetan Jessi lenyap seketika. Tidak perlu kembali lagi. "Ayo, kita menikah." Oke, Darren bukan melamar tapi lebih tapatnya seperti orang kebelet nikah. Jessica Lioni Joseph, memijat pelipisnya merasakan sebuah sakit kepala luar biasa setelah mendengar kata nikah, bukan kata nikah tapi ajakan nikah dari dosennya. Dosen tampan, hot, dan banyak digandrungi oleh para mahasisiwi di kampusnya. Bukan mahasiswi saja, mahasiswa yang berorientasi penyimpangan seksual tak jarang menjadikan Darren Robert William, sebagai khayalan onani mereka. Sekarang Darren-dosen tampan itu, mengajak Jessi untuk menikah. "Anda mengajak saya menikah?" tanya Jessi memastikan. Mana tahu otak dosennya tertinggal di rumah atau bisa jadi, Darren sedang galau akibat ditinggal pacarnya. Darren mengangguk. "Iya, kalau kamu nggak mau menikah, kita bisa kawin." jawab Darren santai. Seolah perkataan hanya sepintas membahas masalah pelajaran bukan pernikahan. Jessi mengeram kesal. "Saya tidak mau!!" Jessi tidak akan mau menikah, umurnya baru dua puluh tahun. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Jessi untuk menikah muda. Darren tersenyum licik. "Kalau begitu saya kawini kamu saja," tidak bisa menikah, kawin saja boleh. Tidak masalah. Malahan Darren senang, sudah lama dirinya menganggumi mahasiswi satunya ini, yang cantik, periang, dan paling utama otak pas-pasan. Pas bersanding dengan Darren otak cerdas. Jessi mendengkus, bangkit dari duduknya. "Aku tidak mau nikah!!" Jessi berjalan cepat menuju pintu keluar, mengabaikan Darren yang tertawa. Setelah sampai di luar Jessi mengepalkan tangannya. Darren tidak punya otak! Atau dari awal Darren tidak memiliki otak? Mana mau dirinya menikah dengan pria perjaka tua itu, pria yang tidak pernah mampu menjadi suami idaman dari seorang Jessica Joseph Lioni. Gadis yang memikiki sejuta kecantikan. Namun, saat pembagian IQ Jessi tidak bisa hadir, ada halangan mendadak. Sehingga dirinya hanya memiliki IQ rendah. Syukur... masih memiliki IQ daripada nggak. "GUE NGGAK MAU NIKAH!!!" teriak Jessi keras, mengundang beberapa mahasiswa menatap ke arah dengan bingung dan gelengan kepala. Mungkin Jessi udah nggak sehat. Perlu periksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN