Sarkas Tingkat Dewa

939 Kata
Ayah boleh saja menghajarku sampai nyaris mati, tapi dia tidak bisa melawan apa yang dikatakan Bunda. Kalimat Bunda halus tapi menusuk. Selama ini ekonomi keluarga kami kuat karena usaha Bunda, masih aku ingat dengan jelas bagaimana dulu saat Ayah berdinas di Sumatera Bunda berkeliling naik motor untuk menjajakan pakaian dengan istilah mindring, setiap hari Bunda berkeliling membawa dagangan sekaligus mengambil cicilan atas barang yang diambil Customer yang rata-rata memilih kredit, tidak hanya pakaian, barang apa pun yang dipesan Customer akan di usahakan Bunda. Tidak peduli hujan atau panas, menerobos jalanan Sumatera yang saat itu penuh dengan truk lintas provinsi, Bunda melakoninya. Perlahan usaha Bunda berkembang, tidak hanya berkeliling, Bunda yang ulet dan hemat akhirnya bisa memiliki kios di pasar tidak jauh dari Batalyon, dan saat usahanya semakin besar Bunda juga membeli tanah luas untuk dijadikan kebun sawit, adik Bunda, paman Hardilah yang mengurus kebun sawit itu sampai sekarang. Usaha yang ternyata menjamin ekonomi kita menjadi semakin baik. Orang mungkin menyebut Bundaku beruntung mendapatkan Ayahku yang seorang Tentara, apalagi Ayah seorang Bintara, tapi percayalah, bukan Bunda yang beruntung tapi Ayahku yang beruntung mendapatkan Bunda. Keluarga Ayahku adalah tipe keluarga yang tidak urun apapun dalam kehidupan Ayah selain membuatnya hidup di dunia ini tapi paling berisik soal balas budi. Dulu aku seringkali mendengar Ayah memuji Bunda, mengatakan betapa beruntungnya dia dicintai wanita dengan sangat luar biasa, yang menemaninya dengan sabar saat SK Ayah tergadai sampai 15 tahun untuk memberikan kakek dan nenek uang balas budi sudah membesarkan Ayah, bisa kalian bayangkan gaji seornag Bintara yang tidak seberapa masih harus dipotong dan itu selama 15 tahun? Jika sekarang aku dihadapkan pada hal segila itu mungkin aku tidak akan berpikir dua kali untuk pergi sejauhnya dari keluarga Ayahku yang toxic. Tapi bunda bertahan, Bunda yang mendampingi Ayah di titik terendahnya, bukan hanya menyokong ekonomi keluarga kami, bahkan Bunda membiayai pendidikan lanjutan Ayah, mustahil Ayah akan ada di posisinya sekarang dan pensiun di perwira jika bukan karena Bunda, tapi lihatlah, aku kira Ayahku berbeda dengan oknum diluar sana, ternyata dia sama saja. Sudah tua, gaji nggak seberapa, bahagiain istri dan anaknya saja belum maksimal tapi Ayah malah kepincut daun muda. Selain Ayahku yang B4jingan, si Sund4l yang kini menggendong anaknya tersebut juga tidak punya otak. Datang-datang ngomong dia berhak atas rumah ini, rumah ini ndasmu! Buka telinga congek'anmu dan dengar jika ini rumah Bundaku. Kamu kira Ayahku yang memakai seragam milter itu punya rumah besar, naik mobil bagus itu karena Ayahku kaya? Tidak, yang punya duit Bundaku. Datang ujug-ujug ngerasa berhak atas rumah. Geram dengan otak pelakor yang ditaruh di dengkul, ingin sekali aku menoyor otaknya yang t*lol tersebut. "Bun........." Ayahku yang sedari tadi sibuk dengan selingkuhannya dan menghajarku karena tidak terima aku hina sepertinya baru tersadar jika kebohongan yang selama ini disimpannya rapat-rapat akhirnya terkuak juga. Tuhan benar-benar melindungi seorang istri, tanpa Bunda berbuat apapun Tuhan menunjukkan kebusukan Ayah yang sangat menjijikkan. Aku melihat Ayah seperti kebingungan untuk berbicara, wibawanya menghilang karena beliau kelimpungan mencari alasan apalagi dengan pandangan sabar Bunda menunggunya untuk menjelaskan. "Kamu nggak ada ngomong sama Mbak Putri ini kalau rumah ini rumahku, Mas? Atau jangan-jangan kamu juga selama ini nggak ada ngasih tahu ke Mbak Putri ini kalau mobil yang kamu pakai untuk berdinas juga milikku? Hasil dari kebun sawit yang aku siapin buat Batari?" Bunda selama ini selalu menjaga martabat dan kehormatan Ayah, tidak pernah Bunda mengungkit ekonominya yang lebih mampu dari Ayah karena menghormati Ayah sebagai keluarga, tapi sekarang semuanya diungkapkan Bunda dengan sangat jelas. "Waah, wah, jadi selama ini apa yang kalian obrolkan? Dimana kamu selama ini merumahkan Mbak Putri ini? Jangan bilang kalau Mbak Putri ini kamu kontrakkan Mas, makanya ujug-ujug datang ke rumahku dan mengatakan jika dia sama berhaknya atas rumahku. Mbak Putri sudah bosan ya hidup di rumah kontrakan?" Bahkan di dalam kondisi keluargaku yang sangat menyedihkan, aku tidak bisa menahan tawaku mendapati sarkasnya Bunda yang menembus langit ketujuh. "Bun, kamu nggak bisa ngungkit kayak gini. Kita itu menikah, nggak etis kamu ngomong......" ini si b4ngkotan, bisa-bisanya ngomongin soal etis disaat otaknya bahkan tidak ada. Aku menggeram tapi Bunda menahan tanganku. "Kok bisa Mas ngomong nggak etis, secara aku cuma memperjelas segala barang yang memang menjadi milikku saat ada orang lain hendak merebutnya. Katakan, apa penjelasanku ini salah?" Nahkan, skakmat, mamam tuh Yah, kelimpungan kan? Rasanya puas sekali melihat wajah Ayah yang panik, disaat seperti ini aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menyeringai sombong ke arah selingkuhan Ayah, terlebih saat Ayah mulai memelas kepada Bunda, "Bun, dengerin Ayah, ini nggak kayak yang Bunda pikir. Ayah bisa jelasin, Putri ini......" "Monggo Mas, jelaskan bagaimana bisa Mas melakukan hal melanggar aturan seperti ini. Menikah lagi, secara siri, dengan perempuan muda seusia Batari, sampai memiliki anak pula, dan sekarang perempuan yang Mas simpan ini justru mengusirku atas rumahku sendiri karena katanya dia lebih berhak karena bisq memberimu anak laki-laki yang tidak bisa aku berikan, tolong jelaskan secara runut bagaimana bisa kamu bertindak sememalukan ini, Mas?" Aku melihat Ayah menelan ludahnya kelu, dia mungkin sama sekali tidak menyangka jika selingkuhannya sudah bertindak sejauh itu. "Jangan lupa jelaskan juga tentang bagaimana cincinku yang hilang tiga tahun lalu kenapa ada di tangan Mbak Putri." Definisi sepandainya mengubur bangkai akhirnya akan tercium juga. Dalam kebingungannya Ayah di hadapan Bunda, si Sund4l yang merasa superior karena bisa melahirkan anak laki-laki justru memperkeruh semuanya dengan ucapan bodoh tidak tahu malu lainnya. "Kenapa diam saja, Mas? Jelaskan kepada Mbak Harti tentang hubungan kita. Walau bagaimanapun aku istrimu juga Mas, aku juga berhak tinggal disini, di rumahmu tidak peduli bagaimana dulu kamu mendapatkannya, kamu sendiri kan yang berjanji padaku jika kamu akan segera ninggalin istrimu yang sudah tua ini untuk melegalkan pernikahan kita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN