Pukulan Yang Aku Dapatkan

877 Kata
"Beraninya kamu menghina Ayahmu sendiri, Batari." "Ayah mendidikmu dengan baik tapi inikah hasilnya? Seorang anak yang bermulut kotor dan tidak tahu tata krama?" "Apa Ayah pernah mengajarkanmu menjadi manusia kurang ajar, Batari? Beraninya kamu bersikap kasar seperti ini! Anak 4njing!" Disela pukulan beliau, aku mendengar semua makian itu dilayangkan kepadaku, disaat ini seharusnya aku menangis keras, menangis karena Ayahku yang aku cintai, sosok yang menjaga dan mencintaiku selama ini sepenuhnya berubah. Ingin rasanya aku melemparkan kaca pada Ayahku agar dia melihat dirinya sendiri saat berbicara tentang didikan, tata krama dan kesopanan karena semua kalimat itu tidak pantas dibicarakan oleh seorang pengkhianat tidak tahu malu dan tidak tahu diri sepertinya, yang bahkan begitu pengecut karena menghajar anak perempuannya sendiri. Seluruh tubuhku remuk, mulutku berdarah, kedua mataku bengkak, bahkan hanya untuk sekedar membuka mata pun aku begitu kesakitan, tapi semua luka ini aku simpan sendiri, aku menelannya bulat-bulat karena aku tidak ingin pelakor yang kini menggendong anaknya dan tersenyum penuh kepuasan melihatku hancur dihajar Ayah merasa menang. Mungkin aku akan benar-benar dihajar sampai meregang nyawa seandainya saja Bunda yang sedari tadi diam berjalan diantara aku dan Ayah, tubuh kecil beliau berdiri menjadi penghalang untukku, dan itu menghentikan Ayah untuk mengayunkan tangannya kepadaku. "Apa karena Mas sudah memiliki anak laki-laki yang tidak bisa aku berikan, Mas ingin membunuh Batari? Anak perempuan Mas? Jika iya, saya akan mundur dan silahkan bunuh anak Mas ini. Darah daging Mas yang pernah Mas tangisi saat kelahirannya." Rasa benci dan marah adalah kekuatanku untuk tetap mendongak tegak menantang Ayah. Tidak ada lagi rasa hormat, Agung Gunamarwan, pria yang mengawali karier sebagai Bintara dan kini menjadi Kapten ini adalah orang nomor satu dalam urutan kebencianku. Bunda berdiri menantang Ayah, suara lembut beliau penuh penghormatan seolah tidak terjadi pengkhianatan tapi kali ini kelembutan Bunda berbalut dengan amarah yang tidak pernah aku dengar. Bundaku buka seorang rendahan, beliau bisa sukses dalam usaha pakaiannya bukan hanya karena ulet tapi juga karena beliau beretika bagus, dan kali ini Bunda kembali memperlihatkan betapa berkelas ya beliau disandingkan si Barbar tidak tahu malu, si Sund4l ani-ani pemburu Aki-aki tua. Bundaku bukan saingan Si s****l ani-ani, kelebihan si s****l hanyalah dia lebih muda selebihnya dimataku dia hanyalah WC umum yang digilai Ayahku yang sama-sama gila. "Kalau begitu ajarkan sopan santun pada anakmu, apa menurutmu pantas dia berbicara seperti itu kepada Ayahnya?" Dengan murka Ayah berkacak pinggang, sikap arogannya yang tidak pernah aku lihat kini beliau lakukan kepada Bunda. Ditahap ini jika orang lain mungkin akan menangis saat mereka dibentak dengan begitu keras dan memalukan. Alih-alih menjawab pertanyaan Ayah, Bunda justru melihatku, tidak ada senyuman hangat di wajah beliau, beliau hanya menatapku datar seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar. "Batari, jangan bersikap buruk kepada siapapun. Tidak baik bersikap buruk, Nak. Jangan mengumpat meski orang dihadapanmu adalah B4jingan dan Sund4l, Bunda selalu mencontohkanmu untuk bersikap sopan, beradab, penuh tata krama, dan yang terpenting kamu tidak boleh menyakiti orang lain. Ingat Riri, Bunda membesarkanmu untuk menjadi seorang wanita yang terhormat dan bermartabat, bukan wanita tidak tahu malu, yang mengumpat seenaknya di rumah orang, yang tidak tahu diri ingin merebut apa yang tidak dimilikinya. Kamu harus bersikap baik tidak peduli semenjijikkan apa lawan bicaramu. Sikapmu menunjukkan kualitas dirimu, Batari." Aku dimarahi Bunda dihadapan Ayah secara langsung. Teguran yang diberikan Bunda barusan adalah nasihat yang selalu Bunda tekankan kepadaku sampai aku bosan. Orang-orang mungkin akan menyebut Bunda lemah tapi percayalah kalimat Bunda lebih menyakitkan daripada sebuah tamparan untuk Ayah yang bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. "Jangan menyebut putriku anak Anjing, Mas Agung. Dia anakmu juga, kamu seorang manusia, begitu pula aku, jadi tidak pantas seorang dengan balok emas menyebut anaknya anak binatang, kecuali kalau kamu mau disamakan." Astaga, Bunda. Haruskah aku memberikan jempol kakiku juga untuk serangan psikologis yang Bunda berikan kepada Ayah? Rasanya aku ingin menertawakan Ayah yang kini kelimpungan tidak sanggup melawan Bunda. "Aku selalu mengajarkan putriku dengan baik, dan kamu tahu dengan benar hal itu. Kamu sudah puas menghajarnya kan? Jika sudah silahkan koreksi dirimu sendiri Mas kenapa anakmu yang penurut sekarang menghinamu dengan sebutan yang menjijikkan, aku membiarkanmu menghajarnya karena aku tidak suka mendengar putri yang aku cintai berbicara kotor, mungkin kamu bisa memulai semuanya dari wanita cantik dan anaknya yang bertamu pagi ini?" Aku mendengus sebal, benci dan marah saat Bunda dengan santainya justru menatap sosok sund4l yang membuatku dihajar sampai nyaris mati, tapi Bunda menghentikanku, beliau menarikku dengan lembut agar duduk. Sungguh aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak kagum saat Bunda duduk santai dengan anggunnya. Aaah, aku memang beruntung memiliki beliau, lihatlah Ayah buka matamu lebar-lebar betapa sempurnanya wanita yang sudah kamu khianati ini, andaikan saja Bunda tidak menahanku mungkin aku akan menyembur wajah Ayah dengan pertanyaan itu. "Kamu tidak mau menjelaskan kepadaku siapa dia dan kenapa dia berkata jika dia berhak atas rumah ini, rumah yang kamu tahu dengan benar bagaimana aku membelinya dari hasil kerja kerasku berdagang......" Bunda, di setiap kalimat beliau begitu santun namun penuh penekanan, tidak perlu berteriak seperti orangutan untuk menunjukkan kuasa yang beliau miliki, satu kehebatan Bunda yang membuatku ingin bertepuk tangan. "Rumah ini rumahku, kamu tidak bisa menyangkal fakta itu Mas, dan lucu sekali saat tiba-tiba perempuan yang mengaku memiliki anak laki-laki darimu ini mengatakan dia berhak atas rumah ini sama besarnya sepertiku. Memangnya kapan dia memberikan uangnya kepadaku sampai bisa merasa berhak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN