BAB 6

1644 Kata
Ajeng mencari ponsel yang ia letakkan sembarang di bawah bantal. Sumpah suara ponsel itu begitu berisik. Ajeng mendapati apa yang ia cari sambil menahan kantuk. Ajeng menggeser tombol hijau pada layar. "Iya halo," ucap Ajeng dengan suara khas bangun tidur, ia meraih guling dan merubah posisi tidurnya menyamping. "Aku jemput satu jam lagi ya," Ajeng mengerutkan dahi, ia tidak mengerti atas ucapan si penelpon. Sepertinya suara berat itu tidak asing di telinganya. "Jemput apaan?" "Ya jemput kamu lah, kita perginya agak awal. Kebetulan aku ngantarin Rama ke sekolah," Ajeng mengerutkan dahi, dan ia masih bingung, "Ini siapa?" "Aru," Ajeng mendengar itu lalu melirik ke arah layar ponsel. Ternyata si penelpon adalah Aru. Ia mamandang ke arah layar ponsel menunjukkan pukul 05.20 menit. Oh Tuhan, ini bahkan masih terlalu pagi ia bangun. "Ya terlalu pagi lah aku ke kantor, kamu gimana sih?" "Kan tadi aku udah bilang, aku sekalian mau ngantarin Rama ke sekolah. Belum lagi macet di jalan," ucap Aru. "Siapa Rama?" "Adek aku," "Owh gitu," "Jadi sekarang, kamu  bangun dan mandi," ucap Aru dari  balik speaker. "Tapi aku masih ngantuk," "Sekali-kali bangun pagi enggak apa-apa, lagian mandi pagi itu sehat, predaran darah kamu jadi lancar," "Iya, deh," Sambungan pun seketika terputus, Ajeng lalu berdiri merenggangkan otot otot tubuh melangkah menuju kamar mandi. ****** Aru memandang Rama sang adik telah siap di depan pintu bersama kedua orang tuanya. Beserta koper hitam di dekat daun pintu. Mau tidak mau, bocah kecil itu ikut bersamanya. "Ini aja baju kamu," ucap Aru mengambil alih koper hitam. "Iya," ucap Rama. "Yaudah, pamit dulu sama mama dan ayah," ucap Aru, "Cielah cuma pindah ke Pondok Pinang doang, berasa kayak mau pergi keluar negri aja," dengus Rama. Rama menarik nafas melirik Aru, kilatan mata tajam itu menyuruh untuk mengikuti perintahnya, "Iya, iya," ucap Rama. Rama lalu memeluk tubuh sang ibu dengan erat, jika sudah bersama Aru ia tidak bisa bermanja manja lagi. Tau sendiri saudaranya itu seperti apa. Wanita itu membalas pelukkan Rama, "Mama, Rama pergi dulu ya, kalau sempat mama ke rumah mas Aru, lihat keadaan Rama. Mama enggak maukan anakmu yang tampan ini menderita," ucap Rama, mengadu sang ibu dengan wajah memelas. Masalahnya ia pernah tinggal beberapa hari di rumah  Aru, ketika mama dan ayah ke Hongkong liburan. Beh, jangan harap  bangun siang, pagi-pagi udah di suruh olah raga. Wanita separuh baya itu melepas pelukkanya, memandang Rama, "Iya, nanti mama akan ke sana," Rama memandang laki-laki separuh baya tepat di hadapannya, "Ayah, Rama pergi dulu ya," Rama memeluk tubuh laki-laki itu. Ayah membalas pelukkan Rama, sebenarnya ia belum siap melepas putra bungsunya ini. Walau anak ini bandel sering buat onar, tapi jika di lihat dari nilai akademik cukup bagus. Namanya juga anak ABG, ia bisa memaklumi itu . Tapi untuk kebaikan si bungsu apa boleh buat, dia seharusnya memang tinggal bersama Aru. Setidaknya ada yang Rama takuti di keluarga ini. Lagian rumahnya putra sulungnya dekat, bisa di jangkau dalam hitungan jam. "Jaga diri baik-baik, ayah enggak mau kamu nakal lagi," ucap ayah, melepas pelukan  Rama. "Iya ayah," ucap Rama. Beberapa menit kemudian Rama mengikuti langkah Aru, menuju mobil berwarna putih. Rama membuka hendel pintu, ia memandang Aru yang sudah duduk di kemudi setir. Rama duduk dan memasang sabuk pengaman. Rama mengerutkan dahi, ia menoleh ke arah Aru, "Kayaknya ini bukan mobil mas deh," ia memperhatikan secara keseluruhan mobil, karena alas dashboard itu berbulu cantik nan lembut, udah gitu berwarna biru dongker. Enggak mungkin kan abangnya yang macho itu suka yang bulu-bulu lembut kayak gini. "Emang bukan," ucap Aru meninggalkan area rumah. "Jadi ini mobil siapa?" Tanya Rama mulai kepo. "Mobil teman mas," ucap Aru. "Owh pantesan, jadi mobil mas di mana?" Tanya Rama penasaran. "Di bengkel," "Owh gitu," Rama tidak bertanya lagi dan mulai diam. Sepanjang perjalan hanya hening, hanya suara lagu Unlike Pluto dari speaker audio. Rama menyandarkan punggungnya di kursi, sambil melirik saudaranya yang hanya memandang lurus ke depan. Aru menuju ke arah apartemen taman Anggrek. Tadi di jalan sempat menghubungi wanita itu lagi, katanya Ajeng ia akan menunggu di lobby bawah. Aru menghentikan mobil tepat di depan lobby. Lalu membuka kaca jendela memandang wajah cantik Ajeng di sana. Wanita itu mengenakan dress hitam di atas lutut, rambut panjangnya di ikat ekor kuda. "Itu pacar mas," ucap Rama juga memandang wanita cantik yang berjalan menuju ke arahnya. "Bukan," Bibir Rama terangkat memandang Aru, "Ngaku aja kenapa sih, keliatan banget kalau lagi kasmaran," "Sok tau kamu," "Bilang aja udah putus sama mbak Tania," Aru tidak menjawab ucapan Rama, baginya bocah kecil itu selalu sok tahu, "Pindah kamu ke belakang," ucap Aru memberi perintah. "Suka gitu deh," sungut Rama, lalu membuka hendel pintu. Aru memandang wanita cantik yang sudah di dekatnya, "Pacarnya mas Aru ya," ucap Rama kepada Ajeng. Ajeng mengerutkan dahi mendengar ucapan laki-laki berseragam putih abu-abu, "Ya, Bukan lah," "Kompak tuh jawabannya sama mas, ngaku aja kenapa sih, jangan pikir aku enggak tahu," ucap Rama lagi.  Rama mempersilahkan wanita berparas cantik itu masuk ke dalam Ajeng sebenarnya tidak mengerti jalan pikiran laki-laki muda itu, ia lalu tertawa, ia masuk ke dalam mobil. Sekali lagi melirik laki-laki berpakaian putih abu-abu. "Sudah lama nunggu?" Tanya Aru, meninggalkan gedung apartemen, ia meneruskan perjalanannya menuju sekolah Rama. "Baru kok,"  ucap Ajeng, "Kata Jo, mobil aku sudah selesai hari ini," "Syukurlah kalau gitu," ucap Ajeng, ia membuka tempat tupperware berwarna biru. "Kamu sudah sarapan?" Tanya Ajeng kepada Aru, tadi menyempatkan diri membuat sandwich sederhana yang di isi dengan telur, bawang, tomat, keju, dan sosis yang diiris tipis. Aru melirik sandwich yang di bawa Ajeng, susunan sandwich yang rapi. "Sudah sih tadi, tapi aku mau cicipi sandwich buatan kamu, kelihatannya enak," ucap Aru mengambil sepotong. "Aku mau juga mbak," sahut Rama dari belakang. Ia lalu mengambil sendwich. Ajeng melihat itu hanya bisa tersenyum, ia juga makan dalam diam. Tidak sia-sia ia membuat sarapan ini, "Sekolah dimana?" Tanya Ajeng membuka topik pembicaraan. "SMA Boedoet," "SMA 1 maksud kamu?" "Iya mbak," "Wah, Berarti kamu pinter dong bisa masuk sana," ucap Ajeng. "Gitu deh mbak, dulu mbak sekolah di mana?" Rama menyengir kuda, mendengar pujian dari Ajeng. "Global Jaya," "Swasta mahal itu ya mbak," ucap Rama, Ajeng mengedikkan bahu dan lalu tersenyum. "Sendwich nya enak, besok besok buatin lagi ya mbak," "Rama ...," Aru mencoba memperingatkan adiknya agar bersikap  sopan kepada orang yang baru di kenal. "Enggak apa-apa kok. Nanti kalau kita ketemu lagi, mbak buatin untuk kamu," ucap Ajeng melirik Aru. Laki-laki itu ternyata bercelana pendek adidas hitam dan kaos berwarna senada. Hanya sepatu itulah berwarna putih berlist hitam. "Makasih ya mbak, tapi kalau aku nambah lagi boleh kan," Rama mengambil satu potong lagi di tempat tupperware. Baru saja beberapa detik yang lalu Aru memperingati Rama. Tapi bocah kecil itu memutuskan urat malunya. Dia berkata seperti itu seolah Ajeng orang terdekat dirinya. "Bawa aja semua, sekalian untuk bekal," ucap Ajeng, menyerahkan tempat tupperware itu kepada Rama. "Makasih ya mbak, mbak baik banget sih," Rama tertawa kegirangan, lalu menyimpan tempat itu di dalam tasnya. Oh Tuhan, ternyata Rama memang benar-benar tidak tahu malu. Lihatlah dia seperti anak yang tidak pernah di kasih makan. ******* Beberapa menit kemudian mereka tiba di SMA Negri 1, biasa di kenal dengan SMA Budi Utomo letaknya di Jakarta Pusat. Gedung sekolah masih bernuansa kolonial. Karena sekolah ini bekas peninggalan belanda yang masih terawat dengan baik. Cat gedung berwarna putih mendominasi seluruh gedung. Rama membuka hendel pintu, ia memandang wanita mamakai tas ransel berwarna pink, yang baru saja turun dari mobil, tepat di belakangnya. Rama memandangnya dengan tatapan tajam, wanita itu juga membalas pandangannya. "Apa lo liat-liat !" Ucap Rama, "Yee, siapa juga yang liatin lo ! GR, syukurin dipanggil guru BK," sahutnya dengan berani. "Itu pasti lo kan yang ngelapor !" Ucap Rama bertolak pinggang. "Kalau iya kenapa? Lo enggak suka? Ketahuan merokok juga !," "Masih nyolot aja lo sama gue,  pulang sekolah lo enggak bakalan selamat !, liat aja nanti," "Emang gue takut sama lo !," Aru mendengar percakapan Rama dan seorang wanita bersuara cempreng di luar, ia segera keluar dari mobil. Masih terlalu pagi sang adik bertengkar di depan pagar. Kelakuan Rama memang membuatnya pusing tujuh keliling. "Ada apa sih, ini masih pagi ! Kamu sudah buat ulah," ucap Aru, sementara Ajeng hanya melihat Aru dan Rama dari kaca mobil. Aru memandang seorang wanita berseragam putih abu-abu yang tidak jauh darinya. Wanita itu membalas pandangannya, "Mas enggak tau sih, kalakuan dia kayak apa !," "Jadi mas ini, abang lo !" Dengus nya lalu tersenyum licik. "Kalau iya kenapa !"  Ucap Rama. "Abang lo ganteng, body keren, kenapa badan lo kerempeng kayak gini. Udah gitu item, dekil nya ampun-ampun," ucap wanita itu lalu tertawa meremehkan. "Kasian banget sih lo !," "Heni, tungguin gue ...!" Ucap wanita berambut sebahu itu berlari masuk ke dalam sekolah, meninggalkan Rama begitu saja. Aru yang melihat itu hanya bisa menahan tawa, melirik Rama yang penuh emosi. Ah namanya juga anak ABG, seperti inilah kehidupannya. "Siapa dia?" Tanya Aru penasaran. "Dara, anak IPA 1. Nyebelin tau enggak sih mas sama dia," "Owh ya," "Rese' anaknya. Minggu kemarin aku berantem sama dia. Aku jambak-jambak rambutnya sampe guguran," Alis Aru terangkat, jadi adiknya ini berkelahi dengan seorang wanita. Oh Tidak, yang benar saja, "Kamu enggak malu, berkelahi sama cewek," "Bodo amat mas, mau cewek atau cowok sama aja," "Jadi karena dia, mama dan ayah di panggil ke sekolah," "Gitu deh, mentang-mentang abangnya pengacara terkenal jadi lolos gitu aja. Guru BK selalu nyalahin aku, padahal dia sama aja mas, lebih gila dari aku," "Kok gitu," "Macam mas enggak tau pengacara aja. Pinter ngomong mas, guru BK mah kesemsem kalau ketemu abangnya dia. Lalu di lepas gitu aja," "Udah deh mas, aku masuk dulu, nyebelin banget kalau bahas si songong itu,"  ucap Rama, meninggalkan Aru begitu saja. Aru melirik Ajeng yang memandangnya dari balik jendela. Ia lalu tertawa dan Ajeng ikut tertawa. Entahlah apa yang mereka tertawakan, yang pasti melihat tingkah Rama itu begitu lucu. "Biasalah anak ABG,"  ***********
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN