"Kenapa tadi kamu menganggap aku kekasihmu,"
Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan jika sudah seperti ini. Ia pikir Aru tidak membahas masalah ini lagi. Tapi nyatanya Aru menanyakan pertanyaan yang paling ia hindari. Ajeng mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia melirik Aru yang menatapnya intens, menunggu jawabannya.
"Jika hanya sekedar sahabat, kamu tidak mungkin berkata seperti itu," ucap Aru.
Itu merupakan pernyataan yang paling menohok. Ajeng menarik nafas, ia sebenarnya bingung ingin mengatakan apa kepada Aru.
"Ya, sebenarnya tadi reflek aja ngomong kayak gitu. Biar enggak dianggap jomblo, secara teman aku itu bawa pasangan . Enggak keren dong kalau aku enggak ada pasangan, nanti di pikir aku enggak laku lagi," ucap Ajeng sambil terkekeh, menghilangkan rasa groginya. Sumpah, hanya itulah yang terlintas dipikirannya. Terserah Aru menanggapinya apa, itulah alasan yang paling tepat.
"Kamu tau sendiri lah gimana,"
Aru seketika tertawa mendengar jawaban Ajeng, wanita itu lalu berdiri,
"Begitu ternyata,"
"Aku cuci tangan dulu ya," ucap Ajeng, ia menggeser kursi ke belakang. Ini adalah alasan dirinya agar Aru tidak bertanya lagi . Sungguh merepotkan sekali jika laki-laki itu bertanya lagi.
"Sama-sama, aku juga mau cuci tangan," Aru dan Ajeng berjalan menuju wastafel.
Aru tersenyum memandang bayangan Ajeng dari pantulan cermin. "Jadi itu alasan kamu,"
"Gitu deh,"
"Oiya, aku sering loh nge gym di tempat kamu," Ajeng mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak ingin Aru tahu hubungannya dengan Tatang.
"Owh ya,"
Ia memperhatikan Ajeng, pantas saja tubuh Ajeng begitu sexy. Bentuk tubuhnya kencang karena rutin berolah raga. Sering fitnes bukan berarti membuat tubuh seorang wanita berotot. Tapi ia lebih menganggapnya penuh semangat dan pintar. Wow ia tidak menyangka bahwa Ajeng menyukai kegiatan berkeringat itu. Wanita itu pasti mempunyai alasan tersendiri kenapa harus fitnes, pasti akan menjaga bentuk tubuh dan pentingnya kesehatan. Itulah yang membuat laki-laki dewasa seperti dirinya kagum.
Mungkin banyak yang beranggapan bahwa wanita yang rajin nge gym akan membuat tubuhnya berotot seperti laki-laki. Tidak jarang wanita takut dan ragu melakukannya. Itu hanya mitos belaka, ketahui lah bahwa hormon laki-laki dan wanita itu berbeda. Seorang wanita hanya memiliki lima persen hormon laki-laki. Lihat saja perbedaan wanita dan laki-laki, dalam jangka waktu tiga bulan melakukan hal yang sama. Seorang laki-laki akan terlihat jelas bentuk-bentuk otot pada tubuhnya dan sedangkan wanita sama sekali tidak berubah. Namun tubuhnya lebih kencang.
"Aku juga udah member, tapi enggak pernah tuh lihat kamu di sana,"
Sepertinya ini pembahasan ini untuk mengalihkan Aru atas kejadian di lobby.
"Kamu biasanya jam berapa nge gym?" Tanya Aru.
"Biasa sih sore pulang kerja, hari Rabu dan Kamis. Kalau Rajin aku ikut zumba hari sabtu,"
"Pantas saja enggak pernah ketemu, Aku biasa pagi kesana itu hanya mantau keadaan. Lagian aku biasa nge gym di rumah,"
Ajeng melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 20.10 menit. Sudah seharusnya ia mengakhiri pertemuan ini. Ajeng menegakkan punggungnya dan kembali memandang Aru,
"Kayaknya aku harus pulang deh," ucap Ajeng memotong pembicaraannya.
Menyenangkan sekali bisa mengenal wanita yang memiliki suatu kesamaan, olah raga dan motor. Wow, baru kali ini ia menemui wanita seperti Ajeng. Sungguh sangat menarik di matanya,
"Iya,"
Aru dan Ajeng menuju ke arah lobby, sepertinya ia tidak rela melepas perpisahan seperti ini. Ia melirik Ajeng yang menyeimbangi langkahnya,
"Apartemen aku di atas, jadi cukup antar aku di sini saja," ucap Ajeng.
"Jadi besok pagi aku jemput kamu," Tanya Aru.
"Terserah sih,"
"Oiya mobil aku gimana?" Tanya Ajeng, ia ingin memastikan mobilnya baik-baik saja.
"Besok akan aku kembalikan, tenang saja mobil kamu aman,"
"Terima kasih,"
"Besok pagi aku jemput kamu,"
"Iya,"
Ajeng memandang tubuh Aru yang kini menjauhinya. Ia tersenyum ketika laki-laki itu menoleh ke belakang dan melambaikan tangan ke arahnya.
*********
Beberapa jam kemudian Aru memarkir motornya di garasi. Ia menyimpan helm begitu saja. Aru melangkahkan kakinya menuju pintu utama, mencari keberadaan ke dua orang tuanya. Tadi ayah menghubungi dirinya agar segera ke rumah. Adiknya membuat ulah lagi, dan ini merupakan kesekian kalinya.
Aru mendapati apa yang ia cari. Beliau sedang berada di ruang keluarga, sepertinya sedang menghakimi adik laki-lakinya yang duduk di bangku kelas dua SMA. Ini sudah kesekian kalinya Rama membuat ulah.
"Ada apa?" Ucap Aru, lalu duduk di samping ayah.
"Adik kamu merokok," ucap ayah,
"Sepertinya ayah sudah lelah menasehati adikmu yang bandel itu,"
Aru memandang Rama, yang hanya diam. Ia bisa memaklumi kenapa adiknya bisa seperti itu. Namanya juga kenakalan remaja, masih ingin mencari jati diri, masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.
"Mama dapat laporan dari wali kelas, bahwa adik kamu merokok. Tadi siang mama dan ayah di panggil ke sekolah,"
"Minggu kemarin bolos, sekarang merokok, tawuran entah besok apalagi yang di buatnya. Ayah malu bolak-balik ke sekolah, menangani adik kamu itu," sahut ayah, beliau mengadu ke kepada Aru, agar bisa menyelesaikan masalah ini.
"Jadi itu masalahnya,"
Aru lalu berdiri mendekati sang adik, "Ayo ikut mas ke atas," ucap Aru datar.
Jika sudah kedua orang tuanya sudah angkat tangan seperti ini. Maka semua akan berurusan denganya. Aru lalu melangkah menuju tangga, ia menoleh ke belakang sang adik masih berada di posisi yang sama. Terlihat jelas wajah itu cemas dan takut. Walau ia sudah pisah rumah dengan orang tuanya, bukan berarti bocah kecil itu bebas begitu saja dari pengawasannya.
"Kamu sudah pernah lihat mas latihan tinju kan !"
"Jangan sampai tinjuan itu mendarat di wajah kamu !,"
Rama yang mendengar itu lalu bergegas berdiri dan mengikuti langkah Aru. Ucapan Aru, membuat keringat dinginnya keluar. Begitu berat jika berurusan dengan saudaranya itu.
Aru membuka kamar Rama, ia berdiri di dekat jendela. Ia menyuruh sang adik masuk dan mendekatinya. Ia memandang Rama yang kini duduk di sisi tempat tidur.
"Benar kamu merokok?" Ucap Aru, langsung ke topik permasalahan.
"Jawab pertanyaan mas, Rama !"
Rama melirik Aru, tatapan itu menyala-nyala seolah ingin membunuhnya. Oh Tuhan, ini lah yang ia tidak suka jika berhadapan dengan abangnya.
"Enggak kok mas, aku hanya coba-coba, beneran, sumpah !" Ucap Rama pelan.
"Yakin hanya coba-coba aja," Aru melangkah menuju meja belajar, ia mengambil tas ransel adidas.
Aru menggeledah setiap kocek dan saku pada tas itu. Ia mendapati sebungkus rokok berwarna putih beserta korek api.
Alis Aru terangkat memandang sang adik, memperlihatkan apa yang ditemuinya.
"Sejak kapan kamu merokok?" Tanyq Aru datar.
"Baru seminggu sih mas," Ucap Rama pelan.
"Yakin baru seminggu," ucap Aru mencoba meyakinkan sekali lagi.
"Lebih tepatnya dua minggu mas,"
"Seminggu, dua minggu atau setahun," ucap Aru penuh penekanan, terlihat jelas wajah itu berbohong. Jawabannya saja tidak sinkron.
"Beneran mas baru dua minggu, sumpah !," ucap Rama jengah. Ia tahu watak saudaranya itu seperti apa, jika tidak tuntas maka tidak ada habisnya.
"Oke, kalau kamu tidak mau ngaku, mulai besok kamu tinggal sama mas,"
"Tapi mas ...,"
"Tapi apa Hah !, mama dan ayah sudah angkat tangan menghadapi kamu seperti ini. Dengan kamu tinggal sama mas, hidup kamu teratur, tidak liar seperti ini !,"
"Kemasi semua barang kamu, mulai besok tinggal sama mas,"
"Mas please, aku janji enggak bakalan gini lagi kok," ia bisa gila jika tinggal dengan saudaranya itu. Rama memijit kepala karena seketika pusing mendadak.
"Mas ..."
"Ingat, mas ingin besok pagi barang kamu sudah siap. Mas akan menyuruh bi Sinem mengemasi barang-barang kamu, sekarang juga !,"
"Mas ...,"
"Mas tidak membahas masalah rokok, bolos dan tawuran. Cukup kamu tinggal dengan mas, semua masalah ini akan selesai,"
"Tidurlah, besok pagi mas akan menjemput kamu," ucao Aru, lalu melangkah keluar dari kamar Rama.
*********