03: PERNIKAHAN

1494 Kata
“Lia?” tegur Deni lagi karena yang ditegur masih saja terpaku tak bergerak. “Ayo Sayang?” Lia berusaha keras mengendalikan degup jantungnya yang menggila. Nampak Deni mengangguk, meyakinkannya kembali. Perlahan ia mengangkat tangannya, menyerahkan jemari dan telapak pada pria yang sungguh dirindunya. “Kita langsung pulang?” tanya Deni setelah Lia naik ke jok di belakangnya. Deni membawa kedua tangan Lia melingkar di tubuhnya, telapaknya Deni genggam di depan d**a. Ia merapatkan diri dengan gadisnya, sedikit bersandar. Ada getar yang Lia rasa dari d**a kekasihnya, gemuruh yang dulu kerap hadir setiap kali Deni mengkhawatirkan dirinya dan akhirnya lega karena semua baik-baik saja. Lia mengenalnya, meski dulu baru sekitar setahun mereka merajut kasih. “Deni?” “Hmm?” “Lia mau makan kwetiau dulu.” “Seafood 99 sebelah klinik?” “Iya.” “Oke. Yuk, aku juga lapar.” Lia turun lebih dulu begitu Deni menghentikan motornya di depan kedai makanan asia yang mereka tuju. Ia mendekati sang koki, menyebutkan pesanannya. “Kwetiau seafood dan ….” Lia menoleh kembali pada Deni yang melangkah mendekatinya. “Kamu kayak biasa?” “Iya, Sayang.” Lia mengangguk. “Sama nasi cah ayam jamurnya satu ya, Pak.” Ada yang sedikit berbeda dari cara Deni berjalan. Lia sempat tertegun menatap sepasang kaki yang melangkah di depannya menuju sebuah meja. Orang lain bisa saja tak sadar, tapi ini Lia, yang mengingatnya bahkan sampai cara Deni bergerak. ‘Deni lagi capek banget apa ya?’ “Kwetiaunya pedas ngga Neng?” Pertanyaan sang koki menyadarkan Lia dari lamunannya. Ia menoleh, mengangguk lebih dulu. “Sedang saja, Pak.” Sang koki mulai menunjukkan kemahirannya mengendalikan api dan menarikan wajan. Lia pun beringsut, duduk di samping Deni yang tengah melap alat-alat makan mereka. Begitu selesai, Deni menoleh seraya menopang wajah di atas salah satu telapak tangan, menatap Lia lekat. “Kamu bawa-bawa kamera?” tanya Deni. “Iya. Lia fotografer. Ilustrator juga.” “I see ... keren.” “Kamu?” “Spesialis Bedah Umum.” “Wow!” “Bukannya kamu yang kepingin jadi dokter, Lia?” “Nilai Lia ga cukup. Lia terdampar di Bandung.” “Bercanda kamu Lia!” Lia terkekeh. “Kenapa batal ngambil kedokteran, Li?” ulang Deni lagi. “Lia dapat undangan.” “I see. Universitas mana?” “Kan tadi Lia bilang Lia terdampar di Bandung. Unpad lebih tepatnya.” Deni tertegun. Kelu. Ia pikir Lia mencandainya tadi. “Waktu Lia bilang mau ke Bandung, cerita sesuatu langsung ke Deni, maksud Lia itu. Mau ngasih tau kamu. Berhubung undangan, kan ngga mungkin Lia tolak. Khawatir impact-nya ke sekolah. Lagian, Ibu bilang ambil aja, kalau kuliah kedokteran khawatir beliau ngga sanggup membiayai,” jelas Lia. Deni mengangguk paham. “Tapi akhirnya jadi fotografer?” tanya Deni lagi. “Iya. Pas udah mulai kuliah, Lia nyari-nyari les, kepingin aja. Alhamdulillah nemu, daftar deh. Lesnya sih ngga lama, tapi karena komunitasnya lumayan oke, Lia dapat ilmunya banyak. Diseriusin, terus kalau ada kontes gitu Lia juga ikut. Teman-teman sekomunitas juga suka bagi-bagi info kalau ada project. Akhirnya ngerasa fun aja. Ibu juga ngga keberatan. Sampai sekarang deh.” “Lia kerja di mana?” “Freelancer aja, Den. Kayaknya udah lewat masa-masa kepingin ngantor, pas nego gaji ngga dapet mulu.” “Gedean bebas begini ya?” “Iya.” “Lia juga lagi ngambil S2 sekarang. Udah jalan setahun.” “Jurusan?” “Visual Art.” “Keren ih sayangnya aku.” “Deni kuliah dimana?” “UI. Spesialis di Singapura.” “Keren Denilah.” Jeda sesaat. Deni tersenyum kagum pada sang gadis. Tak hanya soal pendidikan dan karir Lia. Penampilan Lia yang smart and chic juga membuatnya enggan berpaling. “Kenapa kamu belum menikah, Lia?” lanjut Deni. Lia sontak terdiam. “Lia? Seingatku, umur kamu sekarang 31 tahun 10 bulan. Jujur, aku bersyukur kamu belum menikah. Tapi, bikin aku bertanya-tanya juga.” “Aku merasa kita belum selesai, Den.” Kali ini Deni yang terdiam. Tentu saja itu benar adanya. Deni pun masih sendiri karena alasan yang sama – ia dan Lia belum selesai. Seperti apa pun ia mencari pengganti Lia, semesta seolah mencegahnya, kembali mengingatkannya akan janji yang pernah mereka ikrarkan. Di saat sama, pesanan keduanya pun rampung dan terhidang di atas meja. Mereka tak lagi melanjutkan pembicaraan tadi, fokus dengan piring masing-masing. Deni masih sama, ia seringkali menyebrangkan sendok garpunya, mengambil makanan Lia, lalu menyerok miliknya dan menyodorkan suapan ke sang gadis. ‘Lia kangen, Den. Kangen banget.’ “Deni sekarang ga apa-apa?” tanya Lia setelah keduanya menandaskan makan sore mereka. “Apanya?” balas Deni. “Kata kamu, kamu kecelakaan waktu itu?” “Oh. Alhamdulillah, baik. Aku sehat sekarang.” “Beneran?” “Iya, Sayang. Beneran.” Lia tau, ada yang belum Deni ceritakan. Jadi, Lia menunggu dengan sabar Deni melanjutkan kalimatnya, menatap sang pemuda lekat. “Kenapa?” kekeh Deni. “Deni ….” “Aku ngga apa-apa Lia. Hanya ….” “Hanya apa?” ‘Apa ngga bisa gue bersama dia sedikit lebih lama?’ Lia jelas melihat kedua sudut bibir Deni yang menekuk ke bawah. ‘Deni sedih? Ada apa?’ “Deni?” “Aku takut ngasih tau kamu,” lirih Deni. “Deni ….” Deni tak lagi menjawab dengan kata. Ia mengangkat sisi kiri celananya, menunjukkan langsung pada Lia prostesis yang ia gunakan. Wajah Deni … muram seketika. Lia menunduk. Menatap kaki kekasihnya. Dadanya sesak. Tak mampu menahan, air mata Lia bergulir begitu saja. “Deni ….” Deni mengulurkan tangannya, menggenggam erat kedua tangan Lia yang berada di atas pangkuannya. “Sakit ngga Sayang?” Sungguh, Deni membeku mendengar pertanyaan itu. “Sakit banget ya?” tanya Lia lagi di tengah isak yang berusaha keras ia kendaiikan. “Sudah ngga sakit lagi, Lia.” “Jangan bohong sama Lia.” “Ngga. Beneran. Aku baik-baik aja sekarang. Masa-masa berat itu sudah aku lewati. Apalagi kamu sekarang di sisiku. Iya kan?” Lia tak menyahut. Hanya air matanya yang masih terus menetes. Sama seperti tawa, sedih pun bak virus yang mudah menular. Sesak pun mulai Deni rasa di dadanya. “Kangen aku?” tanya Deni selanjutnya. Lia bisa mendengar jelas getar pilu di nada suara Deni. Ia mengangguk sebagai jawaban. “Aku selalu ke sini setiap day off. Aku menunggu hari ini datang. Aku pun kangen kamu, Lia.” Lia bernapas dalam. Jika Deni sudah terbuka tentang keadaannya, yang Lia tau itu adalah bagian terberat, salah satunya mungkin … harusnya Lia juga menceritakan sebagian masalahnya bukan? Masalah yang bisa saja memengaruhi hubungan mereka ke depannya. “Lia? Ada yang kamu pikirkan?” “Ibuku menjodohkanku, Den.” Deni sontak terperanjat. Meski begitu, ia masih lekat menatap Lia. Namun, lama-kelamaan kedua netranya berubah memerah. “Kamu menerimanya?” tanya Deni lagi, menahan geram. Tak mungkin kan Lia mempermainkannya? “Belum.” “Belum?” raut wajah Deni menjadi kaku dan mengeras. ‘Jawaban apa itu? Belum?’ “Sampai semalam aku masih bersitegang dengan ibuku karena perjodohan ini. Aku masih menolaknya karena aku ga punya alasan kuat yang bisa membuat ibuku gentar, Den.” Deni menghempaskan napasnya keras. Lega. Setidaknya ia tau jika Lia tak ingin menerima perjodohan keji itu. “Sekarang? Apa sekarang aku bisa menjadi alasan itu?” “Den, kita udah lama banget ga ketemu.” “Tapi hubungan kita ngga pernah berakhir Lia. Hubungan kita sebegitu indahnya. Aku ngga sebodoh itu untuk merelakanmu begitu saja.” “Tapi...” “Aku masih sangat mencintaimu. Apa kamu masih mencintaiku?” desak Deni lagi. Terdengar panik dan menuntut. “Aku ngga mungkin ada di sini kalau aku ngga mencintaimu.” Deni mengangguk. Masa bodoh jika mereka baru bertemu lagi! “Menikahlah denganku. Menikahlah denganku, Lia ... Menikahlah denganku, jadilah pengantinku, seperti janji kita dulu.” “Deni ….” “Kenapa? Apa kamu berubah pikiran setelah melihat keadaanku?” “Apa kamu berpikir cinta Lia ke kamu hanya sebatas itu?” “Berarti kita akan menikah kan?” “Deni … ngga segampang itu.” Deni menghempaskan napasnya keras. Gusar bukan kepalang. Apa lagi yang berubah jika bukan karena keadaannya yang menjadi penghalang. Lembayung senja menyapa cakrawala. Bias indahnya turun menyapa bumi. Alam terselimuti seulas jingga yang masih bersikeras untuk tinggal meski kelam memintanya pergi. Deni pun mengakui sungguh adiwarna bentala kala itu, hanya saja … penolakan sang kekasih tiba-tiba mengingatkan lakuna di relung hati. “Deni,” lirih Lia seraya menautkan jemari mereka. “Bisa beri waktu untuk Lia mengenal Deni lebih baik? Sampai Lia selesai dengan pendidikan Lia?” “Apa ada jaminan kalau aku tidak akan kehilangan kamu lagi, Lia?” *** Hari yang sama, 16:00 wib.  “Ananda Deni Atharya Auriga bin Dzaki Arkatama Auriga, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Helia Kyomi Dipta binti Fazwan Dipta dengan maskawinnya berupa uang tunai sebesar lima puluh juta rupiah dibayar tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya Helia Kyomi Dipta binti Fazwan Dipta dengan mas kawin yang tersebut tunai.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN