02: PENOLONG

2165 Kata
Lima belas menit kemudian Deni sudah memarkir mobilnya di halaman muka kediaman salah satu kawan sekaligus tetangganya. Rumah Deni terletak di ujung perumahan, tepat di puncak bukit. Sementara, rumah yang ia kunjungi dini hari itu letaknya sedikit ke bawah, tak pula berpagar seolah mempersilahkan siapa saja untuk bertamu. Deni menekan bel dengan tak sabaran. Sebenarnya tadi ia sudah menelpon. Namun, sang lawan bicara seperti kesulitan mengumpulkan nyawa. “Tunggu,” sahut pemilik rumah. Parau sekali suaranya. “Riel buruan buka!” ujar Deni. Mengetuk daun pintu beberapa kali. “Deni?” tanya Dariel. “Iya gue. Buruan sih, lama banget lo!” Sebentar, nyari kunci. “Norak banget sumpah, zaman udah canggih masih pakai kunci zaman purba.” Beberapa saat kemudian, pintu di hadapan Deni pun terbuka. Ia mendengkus lega sementara Dariel mematung menatap perempuan di balik bahu Deni. “Den?” lirih Dariel. “Apaan?” “Lo ketempelan.” “Hah?” “Duh. Bentar ya, gue panggil Andra. Beneran dia shalatnya, kali bisa ngusir yang nempelin lo. Cakep sih, tapi ….” “Cewek gue, Riel,” ujar Deni kemudian. Padahal tadi tegang banget rasanya membawa Lia menuju kediaman Dariel. “Udah ngga ada?” tanya Dariel lagi. Deni mendengkus keras. Ia lalu mengubah posisi berdirinya menjadi sedikit menyerong, merangkul Lia agar berdiri sejajar dengannya. “Masih sehat, Riel,” tanggap Deni. Dariel sontak ndlosor di lantai, bersandar pada bingkai pintu, menghempaskan napas lega. “Astaghfirullah, lemas lutut gue,” keluhnya. “Lagian lo ngapain sih jam segini bertamu? Lo kehabisan beras?” Lia tertawa singkat. Agak sulit memang menahan tawa jika sudah berurusan dengan Dariel. Tapi, tidak bagi Deni. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan kekonyolan kawannya itu. "Ada apaan?” desak Dariel lagi. Ia kemudian berdiri. “Masuk dah, jangan di depan pintu, pamali.” “Nikahin gue, Riel,” cicit Deni kemudian. Dariel yang tadinya melangkah lebih dulu sontak berhenti, berputar hadap lagi. “Lo kan laki, Den. Bukan transgender kan?” Lia tertawa lagi, kali ini sampai menangis. Deni akhirnya turut tertawa, tertular virus dari kesayangannya. “Duduk dulu deh, baru ngomong,” ujar Dariel kemudian. “Yuk di dapur aja sambil minum yang hangat-hangat.” Tak berselang lama, Aluna – istri Dariel turut bergabung, berkenalan dengan Lia lalu ikut mendengar kisah keduanya. “Jadi, nyokap lo ngga tau kalau lo kabur?” Aluna terheran-heran. “Kayaknya sih gitu, Lun. Kalau Ibu tau, ngga mungkin gue ada di sini,” jawab Lia. “Ibu lo kejebak pinjol sampe perlu banget nikahin lo sama aki-aki?” Dariel yang bertanya. Logikanya benar-benar tak sampai untuk memahami alasan di balik perjodohan dengan rentang usia yang terlampau jauh itu. “Kalau cuma soal pinjol, Ibu ngga mungkin sengotot itu mau nikahin Lia sama si Burhan, Riel.” Deni mengungkapkan analisanya. “Ya bisa aja, Den. Mungkin udah dilunasin sama si Burhan itu, tapi perjanjiannya Lia harus nikah sama dia. Itu doang yang logis. Apa lagi coba alasan yang mungkin?” “Ngga tau,” lirih Lia. “Tunggu sini, gue gedor rumahnya Andra dulu.” “Ngga apa-apa emang Riel?” “Ngga apa-apa. Gue juga buntu soalnya.” Dariel beranjak, ke rumah iparnya yang bersisian dengan kediamannya. Mungkin sekitar sepuluh menit, Dariel kembali bersama mereka. Dan sekitar sepuluh menit kemudian Andra pun duduk di meja makan bundar tersebut. “Oke. Konferensi meja bundar kita mulai!” ujar Dariel. “Lo ceritain lagi dulu Den. Nanti kalau gue yang ngedongeng si Andra emosi.” Andra tak menanggapi, hanya mendelik ke Dariel singkat. Menit-menit selanjutnya, Deni berkisah lagi, kisah yang sama seperti yang ia tuturkan pada Dariel dan Aluna sebelumnya. “Tajir, Ndra. Si aki-aki,” ujar Dariel pada Andra. “Tajiran gue,” jawab Andra singkat. “Sombong!” “Orang tajir ngga apa-apa sombong.” “Pinter ngejawab lo ya sekarang!” “Beneran mau nikah?” tanya Andra kemudian pada Deni dan Lia. Tak lagi meladeni Dariel. Keduanya mengangguk kompak. “Walinya?” Ayah Lia sudah cukup lama tiada. Almarhum memiliki seorang adik laki-laki. Masalahnya, jika harusnya esok pagi Lia menikah, ibunya pasti sudah menghubungi sang paman bukan? “Nanti Om tau dong Lia di sini? Kalau bilang ke Ibu gimana?” ujar Lia. “Lia pasti diseret pulang.” “Lia,” lirih Deni. Tak tega melihat ketakutan di wajah gadisnya. “Den, kamu ngga tau siapa Burhan. Dia tuh preman, dia pasti bakal nyuruh orang maksa Lia kembali, bahkan nyulik pun dia sanggup. Lia tuh susah payah bisa keluar dari rumah.” “Ibu lo tau kalian pacaran?” tanya Andra kemudian. Lia mengangguk. “Tau kalau rumahnya Deni di sini?” Kali ini Lia menggeleng. “Gue baru ketemu sama Lia, sekitar setahun yang lalu, Ndra,” sambar Deni. Andra mengerutkan keningnya. “Lia ini?” “Iya. Lia … cewek yang pernah gue curhatin ke kalian.” “Njiiir, gue kira lo udah move on, Den,” ujar Dariel yang diikuti anggukan Andra. “Maka itu, tolong gue, bros.” *** Sekitar satu tahun yang lalu. Deni benar-benar melamun. Irgi sudah memanggilnya beberapa kali, namun sepertinya hanya raga dokter itu yang nyangkut di salah satu bangku taman. CEO RSPI itu akhirnya menghempas bokongnya ke dudukan di samping Deni, barulah Deni tersadar dari imajinya. “Dok?” “Istighfar!” ujar Irgi. “Astaghfirullah.” “Konsul gih ke Danu atau istri gue,” ujar Irgi lagi. “Belum perlu kayaknya Dok.” Irgi mengangguk. Ia lalu menatap pemandangan kota Jakarta dari kaca pembatas di sepanjang sky garden. Sudah beberapa minggu hujan tak menyapa, rasanya Irgi rindu memandang rintik yang menyapa bumi dari tempat ia duduk saat ini. “Gue kangen sama seseorang, Dok.” Isi hati Deni membuat Irgi menoleh. Ia tak berkata apa pun, karena memang tak perlu bukan? Cukuplah bersabar Deni melanjutkan kalimatnya. “Terakhir gue ketemu dia, kurang lebih lima belas tahun yang lalu, Dok.” “Lo tau dia di mana sekarang?” Deni menggeleng lemah. “Dulu, sekolah kami sebelahan. Gue setahun di atas dia. Tapi, umur kami beda dua tahun karena dia sekolah lebih dini. Dia bilang, dia mau jadi dokter. Dan gue bilang, gue mau ambil teknik sipil di ITB.” Irgi mendengkus pelan, tersenyum. “Gue gagal masuk ITB di tahun pertama. Lolos di pilihan kedua, tapi ngga gue ambil. Gue ikut kelas alumni, masih di Bandung juga. Sampai akhirnya, waktu itu Lia ngabarin, katanya dia mau main ke Bandung. Ada yang mau dia ceritain langsung ke gue. Tapi … gue bilang ngga usah, karena gue mau pulang berhubung kangen berat sama dia. Gue bilang, gue pulang bareng Kakak, naik motor. Dan akhirnya, gue ngga bisa nepatin janji.” “Namanya Lia?” “Iya, Dok.” “Setelah sembuh, lo ngga nemuin dia?” “Sudah, Dok. Lia dan ibunya keburu pindah rumah.” Irgi mengerutkan kening, lalu rautnya berubah prihatin. “Dan sampai sekarang gue ngga tau dia di mana.” “Udah nyari?” Deni mengangguk, kemudian menoleh pada Irgi dan tersenyum. Hanya bibirnya yang melengkung senang, namun tatapannya nampak putus asa. Irgi seolah melihat sosok salah satu adiknya di masa lalu, rasa iba menyergap hati Irgi begitu saja. “Pasti lo mau bilang, kalau jodoh bakal ketemu lagi. Gitu kan Dok?” ujar Deni kemudian. Yang tak Deni sangka, Irgi justru menggeleng. “Coba lo pikir ulang, kalau dia juga kangen sama lo, dia bakal ke mana? Pergi deh tiga kali lagi ke situ. Kalau ngga juga ketemu dan lo punya duit, coba aja pake jasa.” “Kalau ngga ketemu juga Dok?” “Itu semua pilihan lo, Den. Lo yang nentuin jalan hidup lo. Mau ngelepas, atau seumur hidup nyari dan nunggu dia, it’s up to you. Yang penting, lo harus tau, setiap pilihan ada konsekuensinya.” ** Bulat sudah! Deni akan mencoba lagi. Tiga kali, barulah ia akan berpikir ulang jika upaya mandirinya tak membuahkan hasil. Deni menambah laju motornya, menuju ke lingkungan tempat ia bertumbuh. Jika ia menjadi Lia, ke sanalah ia akan pergi. Sebuah penanda bertuliskan Halte Bus Gudang Seng seolah menyambutnya. Kawasan padat di belakang perhentian kendaraan umum itulah tempat Deni dan Lia tinggal dulu. Deni menurunkan kecepatan motornya, melaju pelan dengan kedua netra yang awas menelisik. Tikungan demi tikungan, gang demi gang ia susuri hingga melewati sebuah titian kecil yang dibangun kokoh di atas sebuah parit. Jantung Deni serasa lepas dari raganya, rasa sesak selalu menyapa setiap kali ia memasuki area itu. Tempat di mana harusnya ia bertemu dengan Lia di masa mereka berjanji; satu hari setelah kecelakaan naas yang menimpa Deni dan merubah hidupnya seketika. Deni menghentikan laju, terpaku di posisinya. Tatapannya menerawang, kelebat memori silih berganti menghantam relung asa. Rindu. Ia sungguh rindu cinta pertamanya. Masihkah perempuan itu mengingatnya? Masihkah Lia menggenggam janji mereka dulu? Lamunan Deni pecah saat seseorang melewatinya. Perempuan itu seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tak memerhatikan bagaimana, apa, dan siapa yang ada di sekitarnya. Ia menggenggam sebuah kamera, nampak membidik beberapa kali, lalu membeku tepat dua langkah di depan Deni. Jika tadi Deni merasa nelangsa, kini jantungnya justru berdetak cepat. Apakah Tuhan akhirnya mendengar doanya? Setelah beberapa saat perempuan itu termenung, ia akhirnya berbalik. Terkesiap mendapati Deni yang membeku di atas motor. “Maaf, tadi saya linglung,” ujarnya. Suaranya masih teramat merdu di telinga Deni. “Lia?” Kini Lia yang membeku mendengar lirihan itu. Tentu saja, meski samar, ia cukup yakin siapa pemilik suara yang menyebut namanya. Deni menaikkan kaca helmnya – yang menutup seluruh wajah. Sontak, tangan Lia – yang bebas - terangkat menutup mulutnya yang menganga. “Lia ...” lirih Deni lagi. Lia memalingkan wajah lalu melangkah melewati Deni begitu saja. Mesin motor kembali Deni hidupkan, kemudian ia lajukan pelan. Ia bersabar mengikuti Lia. Hingga di sebuah jalan sempit, Deni mendahului, memutar motornya 90-derajat hingga kendaraan roda dua itu menutup akses. “Kenapa pergi?” tanya Deni. Nampak jelas kebingungan dari tatapannya. “Aku mau pulang,” jawab Lia. “Rumah kamu di mana?” Deni kembali bertanya. “Bogor,” lirih Lia. Apakah Deni nampak menakutkan hingga perempuan itu terdengar mencicit? “Lia, kamu takut sama aku?” Lia bisa melihat jelas, kesedihan di balik tatapan Deni. Lagipula, harusnya ia bersyukur bukan? Mungkin ini kesempatan terakhirnya untuk mendapatkan jawaban yang tidak kunjung ia temukan selama lima belas tahun terakhir. “Keberatan naik motor ke Bogor?” tanya Deni lagi. “Aku bisa naik taksi ke UKI, lalu lanjut naik bis ke Bogor.” Lia lalu menutup kedua netranya, mengapa ia harus memberi informasi pada pria yang lama menghilang itu? “Oke. Aku titip motor di UKI, kita naik bis sama-sama.” “Ngga usah, Deni,” tolak Lia. “Ternyata kamu masih ingat aku,” gumam Deni yang tetap terdengar jelas di telinga Lia. Lia terdiam, kelu. “Apa mungkin kamu masih mencintaiku?” tanya Deni lagi. Ya, mungkin terlalu cepat untuk mengkonfirmasi hal tersebut. Tapi, mereka sudah terpisah selama lima belas tahun. Tak perlu berbasa-basi bukan? Lia masih saja membeku di posisinya. “Aku belum menikah, Lia.” Entah apakah fakta itu penting atau remeh. Deni hanya ingin Lia tau. Namun, tetap tak ada tanggapan. “Aku kecelakaan hari itu. Dua minggu aku di rumah sakit. Setelahnya, aku menjalani rehabilitasi medis dalam jangka waktu yang cukup lama. Begitu membaik, aku nekat ke rumah kamu. Dan rumahmu kosong. Sulis bilang kamu pindah.” “Deni ....” “Waktuku terhenti begitu saja, Lia. Aku kebingungan mencarimu.” Suara itu terdengar begitu putus asa. Lia ingat, Deni selalu mengalunkan nada itu setiap kali mereka bertengkar atau salah paham, memohon agar Lia tak terlalu lama menganggapnya menyebalkan. Deni bilang, ia tak sanggup melihat gadisnya membuang muka. “Aku pindah. Bahkan aku ngga tau kenapa kami pindah. Ibu bilang … kalau aku dikasih tau jauh-jauh hari, pasti aku melawan, ngga mau pindah.” Sudahlah. Itu tak penting bagi Deni. “Kamu sudah menikah?” tanyanya lagi. Lia menjawab dengan menggeleng. “Kamu ngga mengkhianati aku kan?” “Maksud kamu?” “Kita ngga pernah putus Lia.” Lia kembali kelu. Pernyataan itu memang tak salah sama sekali. “Jujur … aku beberapa kali berkhianat. Aku sempat pacaran dengan beberapa orang. Kupikir, aku ngga akan menemukanmu lagi. Tapi, aku masih saja ke sini, aku masih saja menunggumu, berharap bertemu kembali denganmu.” “Deni ...” “Kamu punya pacar selain aku?” Pertanyaan konyol! Lia tertawa. Suara tawa yang selalu membuat Deni merindu. Tawa itu menular, membuat Deni juga menyuarakannya. “Ngga,” jawab Lia akhirnya. “Sekarang lagi ngga punya?” “Ngga pernah punya Deni.” “Berarti, aku masih satu-satunya?” “Masalahnya, aku bukan pengkhianat,” sindir Lia. Deni tau Lia mencandainya. Ia meletakkan kedua tangan menempel di dadanya. “Tepat sasaran! Dalem banget, Lia.” Lia kembali tergelak. Sadar jika kecanggungan di antara mereka perlahan terkikis, Deni mengulurkan tangannya, menunggu Lia menyambut. ‘Sabar, Den. Tunggu.’ “Lia ….” Lia masih terdiam, menatap tangan yang terulur itu, lekat. “Lia?” “Ya?” “Ayo Sayang, aku antar pulang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN