04: TEKA-TEKI YANG BELUM TERJAWAB

2471 Kata
Dini hari tadi. “Mobil lo, masukin ke garasi,” ujar Andra. Hanya itu yang ia katakan setelah kisah panjang yang diceritakan Deni dan Lia. “Garasi siapa?” tanya Dariel. “Sini aja.” Tanpa mendebat, Dariel dan Deni melangkah. Keduanya bertukar lahan parkir. Tak perlu bertanya lebih lanjut, mereka paham apa maksud Andra. Jika benar Burhan adalah orang yang cukup kaya, menemukan di mana Deni tinggal – saat Ibu Lia mendapati putrinya melarikan diri – bukanlah hal yang sulit jika tidak diantisipasi. Sementara itu, masih di posisinya, ponsel yang Andra letakkan di atas meja nampak bergetar. Andra meraih gawainya setelah menenggak secangkir latte hangat yang dibuatkan Aluna. Ia menggeser telunjuk ke tombol terima, lalu mengetuk ikon pengeras suara. "Istriku?” Lia tertegun, sedikit takjub dengan cara pria itu bicara. Diksi yang barusan ia ucapkan tak terdengar seperti pria tua m***m nan kurang ajar, jauh sekali malah. Caranya memanggil sang istri justru terdengar begitu lembut, penuh kasih. “Kok bangun?” ujar Andra lagi. “Ardhan nangis, haus. Diana baru sadar Abang ngga ada.” “Appa!” gumam sang putra yang tak begitu jelas terdengar. Maklum saja, mulut kecilnya tengah tersumpal. Andra malah terkekeh. Pun Aluna. “Appa di rumah Samchon, boy. Tadi Appa lagi shalat, Samchon datang.” “Appaaa?” “Ardhan heboh kan,” sahut Diana – istri Andra. “Abang masih lama?” “Mmm … ngga tau istriku.” “Ya udah, Diana dan Ardhan ke situ deh.” “Tunggu. Aku pulang sebentar. Jangan gendong Ardhan di tangga. Tunggu, istriku.” “Appa!” panggil Ardhan lagi. “Iya, Appa pulang ya? Ardhan tunggu ya?” Panggilan itu pun usai, tepat saat Aluna menyajikan puff pastry dengan keju batangan sebagai isiannya. “Mau balik, Ndra?” tanya Aluna. “Bentar.” “Ke sini lagi kan?” Andra hanya menggangguk. Ia pun melangkah menjauhi dining room itu, keluar dari kediaman Dariel dan kembali ke rumahnya, menjemput istri dan anaknya. “Jadi, lo beneran ngga kepikiran alasan apa pun soal kenapa nyokap lo ngga ridho lo sama Deni, Li?” tanya Aluna pada Lia kemudian. “Ngga Lun.” “Kalau hutang ngga mungkin?” “Mungkin aja sih Lun. Mungkin gue yang ngga tau. Tapi, kalau memang hanya soal hutang, harusnya kan Ibu bilang. Dan Dokter Spesialis kayak Deni apa sebegitu ngga bisanya ngegeser Burhan?” Aluna mengerutkan kening, lalu mengangguk. “Iya sih. Bener juga.” “Ibu tuh kayak benci banget sama Deni,” lirih Lia, sedih. “Sejak kapan tuh, Li?” “Sebulan setelah akhirnya kami ketemu lagi. Gue sibuk, Deni juga, Ibu pun sama. Tiap weekend Ibu lagi ada event dari kementerian. Dan begitu tatap muka, Ibu langsung ngegas gitu, Lun.” Aluna mengerutkan kening, merasa ada yang ganjil dari cerita Lia. “Ngegas?” “Iya. Kalau gue ingat-ingat, awalnya Ibu ngga mau ngebahas lebih lanjut setiap kali gue bilang gue punya cowok dokter dan mau ngenalin sama Ibu. Gue pikir itu karena Ibu capek atau belum yakin sama pilihan gue. Tapi pas Deni ada di depan mata, Ibu malah bilang; tinggalkan anak saya, saya sudah menyiapkan jodoh untuknya.” Jelas Lia lebih lanjut. “Sebelumnya ngga pernah gitu? Maksud gue, selama ini – sebelum lo sama Deni – nyokap lo emang ngga pernah nanya lo punya cowok atau ngga misalnya.” “Dulu suka nanya, tapi beberapa tahun belakangan ngga pernah lagi. Berasa mubazir kata kali nanyain gue. Akhirnya baru ngomong soal jodoh gitu pas si Burhan – katanya – ngelamar gue ke Ibu.” “Dari situ ibu lo gencar banget?” “Lumayan sih,” lirih Lia. Ia sungguh tak paham dengan sikap sang ibu yang sangat memaksa agar Lia menerima pinangan Burhan. Terlebih sampai mengurung dan merencakan pernikahan secepatnya tanpa peduli dengan keputusan dan perasaan Lia. Lia kan putrinya, bukan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan seenaknya. “Ada benefit yang dijanjiin si Burhan ke nyokap lo mungkin Li?” Perkiraan Aluna membuat Lia mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk tadi. “Itu yang gue ngga tau, Lun. Tapi masa Ibu setega itu? Demi keuntungan, ngebiarin gue jadi istri kesekian cowok seumur Burhan. Enam puluh tahun lho umur dia. Lebih cocok jadi bokap gue kan? Kenapa harus gue? Kenapa ngga nikah sama Ibu aja?” Beberapa saat kemudian, Deni dan Dariel kembali ke ruang makan itu. Andra, Diana dan putra sulung mereka menyusul beberapa saat kemudian. “Ayo,” ujar Andra. “Ayo ke mana?” tanya Dariel. “Bang Ian.” Ian ini sepupu Andra dari garis Ibu. Pun seorang pengacara ternama yang kebanyakan mengurus kasus pidana. Beristrikan seorang pengacara juga – yang banyak mengerjakan kasus perdata sekaligus merangkap sebagai corporate lawyer dari beberapa perusahaan besar yang berpusat di Jakarta. “Ngapain?” “Udah ngikut aja,” ujar Aluna. “Kayak bakal dijelasin aja sama Andra mau ngapain ke Bang Ian. Nanti di sana juga tau.” Dariel menghempaskan napas keras. Betul sih, bukan Andra banget kalau dia sampai bisa menjelaskan panjang lebar secara lisan langkah apa yang akan ia tempuh. Sepertinya pria itu hanya banyak bicara saat di ruang meeting, itu pun terpaksa karena tuntutan pekerjaan. “Lo bantu gue kan Ndra?” tanya Deni kemudian. “InshaaAllah. Ayo.” *** Sudah pukul sembilan pagi saat Deni membuka mata, terbangun dari tidurnya. Ia tiba di rumah Ian satu jam sebelum adzan subuh berkumandang. Deni cukup tau siapa Ian karena sudah beberapa kali melihatnya atau istrinya atau keduanya di rumah sakit. Raiden Holdings, perusahaan yang menaungi Rumah Sakit Permata Indah tempat Deni bekerja adalah salah satu klien kantor hukum milik Ian. Dan sampai selepas shalat subuh tadi, hanya Ian, Meta – istrinya, Andra dan Dariel sekeluarga, juga Lia, yang bersamanya. Namun kini, kenapa rumah itu jadi ramai? “Udah bangun, Den?” tanya Irgi yang berjalan santai mendekatinya. “Bang? Kok di sini?” Irgi yang meminta Deni agar memanggilnya Abang jika tengah berada di luar rumah sakit atau di luar lingkup pekerjaan. “Mmm … gimana ya jelasinnya?” monolog Irgi seraya mengusap dagunya. “Ini belum lengkap sih sebenarnya.” “Gimana Bang?” Deni masih tak bisa menangkap teka-teki di balik kalimat Irgi. “Tadi Ian nelpon gue. Andra juga jelasin lo mau ngapain. Mungkin agak kurang ajar, dan gue minta maaf jika bikin lo dan Lia ngga nyaman. Tapi, menurut gue, berita pernikahan harus disebarkan, untuk menghindari fitnah. Makin banyak yang tau, makin banyak yang mendoakan inshaaAllah.” Deni tak menjawab. Bukan tak ingin, tapi ia bingung harus mengatakan apa. “Lia udah ngasih tau siapa yang berhak menikahkan dia. Tapi, sebelum itu, gue perlu dengar langsung dari kalian berdua, apa yang melatarbelakangi keinginan kalian untuk kawin lari kayak begini. Boleh, Den?” lanjut Irgi. Dengan tegas, Deni mengangguk. Irgi pun memanggil Lia. Yang pada akhirnya, tak hanya Lia yang mendekat ke reading nook itu. Sisi membaca di rumah Ian dan Meta berada di split level dengan lantai yang lebih tinggi, berjarak dua anak tangga saja, dan berbatasan langsung dengan ruang santai keluarga. Awalnya, Deni mengisahkan siapa Lia, lalu berlanjut ke kecelakaan besar yang terjadi padanya, hingga berbuntut perpisahannya dengan sang kekasih. “Gue ngejalanin tahap rehabilitasi yang panjang, Bang. Dari mulai belajar gerakin pinggang ke bawah, menyesuaikan diri dengan prostesis, latihan berjalan, sampai latihan nguatin otot kaki biar postur kaki gue ngga besar sebelah. Bahkan saat gue mulai kuliah, weekend gue masih rutin ke rumah sakit untuk terapi. “Ngga gampang buat gue untuk muncul lagi depan Lia dengan kondisi cacat. Dan begitu gue memaksakan diri, datang ke rumah Lia, Lia justru udah ngga tinggal di sana, Bang. “Waktu itu … keterbatasan fisik, waktu dan uang bikin gue ngga bisa nyari Lia. Selepas dapat gelar dokter, gue ngubungin abangnya Mama yang tinggal di Johor, siapa tau ada peluang untuk gue ngelanjutin spesialis di sana. Singkat kata, gue apply program pendidikan dokter spesialis di Singapura. Setelah sekian banyak persyaratan, alhamdulillah gue lulus evaluasi ACGME-I dan ditempatkan di salah satu rumah sakit. “Begitu selesai, gue balik, daftar ujian kesetaraan. Lulus, baru gue apply ke RSPI. Dari di situ, mungkin karena gue udah bisa nerima keadaan gue, ngerasa cukup bangga dengan diri gue yang bisa melewati masa-masa sulit … gue nyoba nyari Lia.” Irgi menoleh ke Lia, menatap gadis itu dengan kening yang mengerut. Sepertinya ia pun paham mengapa Lia tak mencari Deni selama itu. Namun, bisa saja ada hal lain bukan? “Lo kan kuliah di Bandung, Li? Lo pernah nyari Deni?” Lia … menggeleng. “Karena?” “Soalnya Deni intensifnya bukan di lembaga tertentu, Bang. Tapi sama mahasiswa ITB. Lia ngga tau mereka siapa. Dan waktu itu, Lia pikir, mungkin Deni berubah pikiran atau terjadi sesuatu yang Lia ngga tau,” jelas Lia. “Oke. Gue cuma kepo aja sih,” pungkas Irgi, lalu mencengir singkat. Dirga – adik Irgi yang baru sekitar sebulan kembali menetap di Jakarta, mengambil tempat di samping Irgi, diikuti dua bocah kembarnya yang laksana anak bebek pada sang ayah. “Waktu kalian pacaran, pas SMA itu, orang tua lo berdua tau?” tanyanya seraya membukakan dua wadah snack untuk anak-anaknya. “Ibu sih ngga tau, Bang.” Lia menjawab lebih dulu. “Setau Lia begitu.” “Almarhum Mama tau, Bang,” jawab Deni, merujuk pada ibunya. “Kalau Papa, gue ngga paham. Yang pasti, sebelum gue ke Bandung, Papa sempat bilang; jangan pacaran dulu kalau mau lulus di ITB, diterima masuk di ITB itu susah, apalagi lulusnya.” Setelahnya, hening. Sungguh mereka semua khawatir ada hal krusial yang menjadi pemicu tidak turunnya restu dari Ibu Lia. “Golongan darah lo dan orang tua lo berdua apa?” tanya Zhen yang baru saja tiba dan langsung bergabung di sana. “Gue cuma mau mastiin kemungkinan lo berdua sudara seayah bisa dieliminasi.” Blak-blakan sekali. Namun, itu adalah kemungkinan terburuk yang tidak bisa disingkirkan. “Gue O. Mama Papa, keduanya O,” jawab Deni. “Lia AB. Ibu A, Ayah AB,” jawab Lia. “Secara medis aman,” ujar Zhen kemudian. “Perlu tes DNA, Gi?” Kali ini pertanyaan Zhen tertuju pada Irgi. Belum sempat Irgi menggeleng atau menjawab dengan lisannya, Deni memotong. “Kami sudah melakukan tes DNA. Hasilnya, kami bukan saudara kandung.” Sontak, semua yang paham akan hal itu menganga. Tak menyangka Deni bahkan sudah bersiap sejauh itu. “Ibunya Lia kayaknya benci banget sama gue. Dan setelah semua kejadian yang gue lewati, hal-hal detail seperti itu ngga mungkin ter-skip,” ujar Deni lagi. Mereka menghempaskan napas lega. Setidaknya satu masalah sudah bisa disingkirkan. Tinggal memapas halangan lainnya. “Yan, Bonte suruh cari Om-nya Lia!” titah Irgi. Bonte bisa dikatakan tangan kanan Ian yang meng-handle segala persoalan non-legal, bukan ilegal. Ian mengangguk. Ia lalu memanggil Lia, meminta alamat lengkap calon wali nikah gadis itu. “Papa gimana, Den?” tanya Irgi kemudian. “Ngga usah, Bang. Ngga ada urusan! Gue laki-laki, ngga butuh wali,” tegas Deni. Nampak amarah di kedua netranya. Irgi mendengkus keras, namun tak bisa juga menyalahkan Deni. Ia terluka, dan Irgi tak ingin memperburuk keadaan itu. “Ndra? Penghulu yang nikahin lo bukannya ngasih nomer telpon?” tanya Irgi lagi, kali ini pada Andra. Pria yang ditanya mengangguk sebagai jawaban. “Coba Ndra, hubungin. Suruh datang ….” Irgi menatap jam di penggelangan tangannya. “Habis ashar deh. Gue harus balik ke rumah sakit dulu soalnya. Biar legal sekalian, ngga pake siri-sirian.” Andra mengangguk lagi. Irgi kembali menoleh pada Deni, yang kini raut emosinya sulit terbaca. “Lo ngga apa-apa kan Den?” “Aman, Bang.” “Ya sudah, gue balik ke rumah sakit dulu. Lo ada rawat jalan?” “Ngga, Bang.” “Janji operasi?” “Besok, Bang.” “Hari ini kosong?” “On call, Bang.” “Telpon aja ke HR, infoin lo ambil cuti dadakan.” “Iya, Bang.” “Den … besok, lo harus datang ke rumah Lia. Minta gengnya Ian nemanin lo, incase anak buahnya si aki-aki nyari masalah. Biar gimana pun, lo harus terima konsekuensi nikahin anak orang tanpa restu ibunya. Jangan dendam. Berusahalah rangkul hatinya. Ngga ada Ibu yang mau anaknya menderita. Beliau pasti punya alasan. Hanya saja, lo dan Lia belum tau apa itu. Oke?” “Oke, Bang.” *** Satu jam menjelang akad nikah. “Li ... Om lo sudah datang,” ujar Diana yang masuk ke kamar Meta. Tempat itu dijadikan ruang bagi calon mempelai wanita bersiap. “Kata beliau, mau ketemu sama lo sebentar. Bisa?” “Iya Di, bisa.” Diana mengangguk. Ia lalu mengajak Meta dan Jessy – MUA yang juga merupakan penata rias pribadi Diana – keluar dari kamar itu. Memberi waktu dan tempat untuk keduanya berbagi kabar. “Ya Allah, Li,” lirih Hansa – paman Lia. Ia mendekati keponakannya, memeluk erat, pun Padma – istri Hansa. “Ini ada apa, Nak? Kok sampai kawin lari begini?” “Om dari mana?” “Dari rumah. Kan rencananya malam ini mau ke rumahmu. Om ngga tau sama sekali kalau kamu menghilang. Tapi memang, tadi habis subuh ibumu nelpon,” jelas Hansa. “Nanyanya gimana, Dek?” tanyanya kemudian pada Padma. “Nanya … di rumah ada siapa aja? Ya Tante jawab. Tante ngga kepikiran kalau ternyata ibumu nyariin kamu, Li. Mungkin kalau langsung nanya ada kamu atau ngga, khawatir kami panik atau lebih tepatnya Om kamu ngamuk.” “Ya ngga mungkin aku ngga ngamuk. Masa anakku mau dinikahin sama kakek-kakek? Disuruh jadi perawat biar ada yang jaga dia sampai mati apa gimana? Masa mantuku lebih tua dari aku?” “Iya, Mas. Iya.” “Ibumu keterlaluan banget Li. Kalau sampai Om tau yang namanya Burhan ini kakek-kakek, dari awal pasti sudah Om tolak. Mana kok ya sudah minta nikah mendadak, ngubungin kamu pun Om ngga bisa. Tiap dintanya, ibumu itu adaaa aja jawabannya, Li.” Lia mengangguk. Ia lalu menunduk, jelas tergambar sendu di wajahnya. Biar bagaimana pun, Lia juga tak menghendaki pernikahan tanpa restu dari sang ibu. Namun, apa Lia punya pilihan lain? “Kamu sudah yakin, Li?” tanya Hansa kemudian. “InshaaAllah, Om. Kalau Lia, ngga pernah ragu sama Deni. Berkali-kali Lia minta petunjuk pun, hati Lia tetap tertuju sama dia.” “Anaknya baik, Li?” tanya Padma kemudian. “Kurang ngajar ngga ke kamu, Li?” Hansa melengkapi. Lia tersenyum hangat, lalu menggeleng. “Ngegandeng Lia di depan umum aja hampir ngga pernah, Om. Kalau jalan ya samping-sampingan aja.” “Meluk?” tanya Padma kemudian. “Pernah, tapi ngga setiap saat ketemu dia meluk. Pokoknya kalau di depan umum, minim kontak fisik.” “Dari dulu begitu?” “Iya, Tante. Perlakuannya ke Lia ngga pernah berubah dari dulu.” “Kissing?” Hansa yang penasaran. Lia menggeleng pelan diikuti dengkusan lega dari Hansa dan Padma. “Semoga Allah meridhoi langkah ini ya, Li,” pungkas Hansa kemudian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN