“WARAS KAMU, LIA! TIDAK ADA PEREMPUAN DI DUNIA INI YANG MAU BERSANDING DENGAN LAKI-LAKI CACAT!” pekik Haya. Tak peduli jika sang putri sudah menderaikan air mata.
“Lia cintanya sama Deni, Bu …” tangis Lia, memohon belas kasih. Seingatnya, sejak kepergian sang ayah, belum pernah Lia meminta hal yang memberatkan Haya. Bolehkah untuk satu kali ini, Lia meminta apa yang ia inginkan?
“MASUK KAMU! MASUK!” pekik Haya lagi, enggan melunak. “DIAM DI KAMARMU!” ujarnya lagi seraya mendorong Lia hingga terjerembab di kaki ranjang.
Lia menangis menjadi-jadi. Mengapa Haya begitu tega padanya? Bahkan mendengarkan alasan Lia saja Haya enggan. Kekasihnya tak terlahir cacat, disabilitas itu juga tak membuat fakir, lantas apa yang salah?
Dua minggu berlalu, dan sikap Haya masih sama. Ia hanya membuka kamar Lia untuk memberi makanan atau mengambil pakaian kotor. Bahkan bicara dengan Lia pun Haya tak mau. Jika Lia berusaha, Haya tak segan menempeleng atau menampar sang putri. Entah kemana hilangnya cinta sang ibu.
Lia tertegun di depan sebuah rumah. Tubuhnya kuyup, begitu pula kedua netranya. Dengan tangan bergetar ia menekan tombol bel, berkali-kali.
“Deni buka … buka … buka, Deeen,” tangisnya pilu.
***
“Ya, tunggu!” seru Deni seraya meraih kruknya, meski ia sadar betul jika tamu tak sabaran yang datang ke rumahnya menjelang pukul satu dini hari itu – tak akan mendengar ucapannya. Kursi roda elektriknya baru saja teronggok di sudut kamar, dayanya tengah diisi ulang. Begitu pula dengan ponselnya. Mau tak mau Deni harus berjalan menuju akses utama rumah berhubung sedang tak memungkinkan menelisik dari aplikasi smart doorbell miliknya.
Menjelang pintu masuk ke kediamannya, Deni berdiri di depan layar LCD kecil … terbelalak!
Tanpa menunda ia menekan tombol buka pintu pagar. Perempuan yang bertamu itu gegas masuk ke pekarangan sebelum berlari kecil di jalan setapak yang diterangi dua lampu taman menuju teras bangunan utama. Deni sudah berdiri di ambang pintu, menunggu sang tamu mengikis jarak.
'Bugh!' Perempuan itu menumbuk pelan tubuhnya dengan Deni, memeluk erat. Ia basah dan menggigil karena memang hujan lebat tengah berderai di luar sana.
“Lia? Ada apa Sayang?” tanya Deni, melirih.
“Boleh aku masuk dulu?”
“Oh, tentu. Maaf. Masuklah, aku pasang prostesisku dulu.”
Deni mengarahkan Lia menuju kamar mandi di lantai dasar, sementara ia kembali ke kamarnya. Ia mengenakan kaki palsunya agar lebih leluasa melakukan mobilisasi. Setelahnya, Deni mengambil dua set pakaian. Satu set training lengan dan celana panjang, satu lagi set kaos oblong dan celana pendek. Biar Lia yang memilih mana maunya.
“Sayang?” panggil Deni setelah mengetuk pintu kamar mandi dua kali.
“Ya?”
“Ada standing hanger di depan pintu, baju ganti aku gantung ya?”
“Iya, makasih.”
Deni lalu beranjak ke ruang tengah, menunggu Lia. Posisinya membelakangi area pantry dan kitchen, di mana kamar mandi yang Lia tempati berada. Sebenarnya ia ingin membuat minuman hangat, Lia pasti kedinginan bukan? Masalahnya, jika demikian ia harus berada di pantry, dan ia khawatir membuat Lia tak nyaman.
Pandangan Deni tertunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut. Lalu … terpaku menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. Belum lama ada di sana, baru dua minggu yang lalu, kali terakhir ia bertemu dengan Lia, sebelum Lia menghilang dan tiba-tiba muncul di depan rumahnya.
“Deni?”
Deni menoleh ke balik punggungnya. Kaos oblong dan celana pendek yang jatuhnya di bawah lutut menjadi pilihan sang gadis.
“Sini, Sayang. Duduk sini. Aku bikinin minuman hangat ya?”
“Aku ikut aja.”
“Ikut?”
“Ikut bikin minuman.”
“Oh.”
Deni berdiri dari duduknya, melangkah lebih dulu ke pantry, disusul Lia yang akhirnya berdiri menyandar di kitchen island.
“Deni?”
“Ya?”
“Deni ngga mau nanya Lia menghilang ke mana dua minggu ini?”
Lia melihat jelas kedua tangan Deni membeku sesaat. Ya, hanya sesaat saja karena setelahnya … saat pria itu mengangkat wajah, ia kembali tersenyum menatap Lia. Deni itu, punya wajah tersenyum. Saat ia diam pun, seolah ia sedang tersenyum tipis. Bedanya, jika Deni tak berniat tersenyum, lesung pipinya hanya nampak selaksa garis tipis, sementara kala ia benar-benar tersenyum atau tertawa lesungnya akan nampak begitu dalam.
“Lia mau cerita?”
Tak ada jawaban. Deni menyelesaikan yang tengah ia kerjakan. Dua cangkir coklat hangat yang wanginya semerbak kini tersaji. Deni beringsut ke dining area, meletakkan dua mug itu di atas meja. Lia pun menyusulnya.
Di luar sana, hujan masih terus mengguyur bumi. Percikannya ditambah cahaya, membentuk kristal jingga di kaca jendela. Deni menyesap minumannya di bawah tatapan perempuan yang sungguh dicintainya … sedari dulu.
***
Lima belas tahun yang lalu.
“Lia!” panggil Deni yang mengejar langkah Lia malam itu. Ia tengah berkumpul dengan teman-temannya di salah satu teras rumah salah satunya dan melihat gadis yang sudah cukup lama ia kagumi melintas seraya menjinjing sebuah plastik.
Gadis itu menghentikan langkah.
“Ya?”
Gang tempat keduanya berhadapan bermandikan cahaya temaram. Lia bersandar ke dinding, sementara Deni menatapnya teduh. Lia tau pria itu, seorang siswa SMA sebelah yang sebentar lagi akan lulus. Pria yang diam-diam suka ia pandangi meski sesekali tertangkap basah.
“Deni. Aku Deni.”
Lia tersenyum seraya mengangguk. Deni pun membalas senyum itu.
“Iya, Lia tau.”
“Lia dari mana?”
“Ini, Ibu nyuruh beli beras. Ayah nitip rokok.”
“Lia, aku kemarin titip salam lewat Sulis. Apa disampaikan?”
Lia mengangguk lagi. Wajahnya terasa menghangat. Syukurlah cahaya sephia yang menaungi tak membuat semburat merah yang muncul menjadi kentara.
“Aku suka kamu, Lia,” aku Deni. Bukan tiba-tiba. Ia memang sudah lama ingin mengatakannya.
Lia sontak menunduk, jantungnya berdetak menggila.
“Kamu mau jadi pacarku?” tanya Deni kemudian.
Wajah Lia terangkat kembali, membalas tatapan Deni yang begitu menghangatkan hati.
“Aku ngga boleh pacaran,” jawab Lia. Melirih.
“Kita bisa backstreet, Lia.”
“Emang ngga apa-apa?”
“Iya, ngga apa-apa. Kamu mau?”
Tak perlu menimbang. Mereka masih belia. Lia pun baru kali ini merasakan jatuh cinta. Harusnya, tak apa kan merasakan hubungan kasih meski terpaksa kucing-kucingan dengan orang tuanya? Lia akhirnya tersenyum. Lalu menunduk lagi dan mengangguk sebagai jawaban.
Deni mengusap sayang kedua pipi Lia. Tatapannya masih lekat mengagumi wajah cantik kesayangannya. Ia lalu mengikis jarak, dengan jantung yang berdebum kencang kecupan ringan berlabuh di kening sang gadis. Tangannya lalu turun melingkar di bahu Lia, mendekap erat sesaat.
“Terima kasih, Lia. Aku sayang kamu.”
**
“Deni beneran mau intensif di Bandung?”
“Iya, beneran. Kenapa Lia?”
“Nanti kalau Lia kangen gimana?”
Deni terkekeh. Ia menyingkirkan kedua tangan dari atas keyboard dan tetikus, menyerongkan posisi duduknya hingga tegak lurus dengan Lia. Tersenyum.
“Senyum mulu ih!” sambat Lia lagi.
“Nanti aku pulang kok seminggu atau dua minggu sekali,” ujar Deni.
“Ya kalau belum nemu cewek Bandung yang cakep sih bakal begitu. Kalau sudah nemu, palingan pulang ngajak putus.”
“Kok kamu ngomong gitu?” Raut Deni jelas tak menyukai tuduhan itu.
“Cewek Bandung kan cantik-cantik.”
“Iya. Tapi kan aku sayangnya sama kamu.”
“Sampai kapan?”
“Mmm … tahun ini mati-matian belajar. Tapi kalau ngga lulus juga, aku ambil gap year setahun lagi.”
“Bukan itu sih, Sayang.”
“Terus?”
“Sampai kapan Deni bakal sayang Lia?”
Deni tersenyum lagi, kali ini sambil berpikir jawaban apa yang bisa menghilangkan kegelisahan Lia sekaligus menyampaikan isi hatinya dengan tepat. “Mmm … kalau dibikin bertahap gimana?”
“Bertahap?”
“Iya.”
“Maksudnya?”
“Tahap satu, sayang sampai kamu jadi pengantinku. Tahap dua, sayang sampai aku mati.”
Gelak tawa Lia kini menyuara. Deni pun ikut terkekeh. Ia sungguh menyukai wajah Lia saat tertawa. Cantik dengan seulas merah jambu.
“Kamu mau kan Lia?”
“Mau apa?”
“Jadi pengantinku.”
Mungkin, karena indahnya cinta pertama, atau karena mereka masih remaja, spontanitas mengalir deras di setiap nadi. Toh tak ada yang salah dengan impian menjadi pengantin bagi orang yang dicintai bukan?
“Lia?”
“Iya. Lia mau.”
***
“Aku tau ibumu mengurungmu, Li. Aku sudah coba bicara, tapi beliau tetap tidak mau melepasmu,” lirih Deni, nyaris tak terdengar karena suara hujan lebih kuat di luar sana. “Kupikir, aku benar-benar kehilanganmu.” Ia mengangkat kedua tangannya, mengusap genangan di netra sebelum mengalir.
“Ibu maksain pernikahan itu, Den. Harusnya … besok Lia menikah.”
Deni sontak membelalak.
“Lia kabur. Dan kayaknya belum ada yang sadar kalau Lia menghilang.”
Deni menyugar surainya kasar, lalu mengusap wajahnya, otaknya berpikir keras, apa yang bisa ia lakukan untuk mencegah pernikahan itu?
“Deni … Lia harus gimana?” tangis gadisnya kemudian. “Lia ngga mau nikah sama aki-aki itu.”
Ya, siapa juga yang mau menjadi istri kesekian dari seorang pria tua berumur enam puluh tahun? Walau fisiknya tak nampak seperti umurnya; masih segar, jika tertawa gigi-giginya terlihat lengkap, rapih serta sehat, ditambah bahunya yang masih tegap. Pria itu tak pula buncit. Ia begitu menjaga kondisi tubuhnya sepanjang hidup.
Dan itu ... baru jasmani. Belum termasuk hartanya yang melimpah. Mengapa Lia tak mau? Meski kelak Lia akan menjadi pewaris belasan unit mini market dengan logo berwarna merah, biru, dan kuning – yang keberadaannya nyaris bisa ditemui di sepanjang mata memandang. Belum lagi ditambah puluhan unit apartemen di kota ini yang pria itu beli kala launching, ia renovasi dan ia tata dengan perabotan-perabotan kelas satu, untuk kemudian kesemuanya ia sewakan. Belum juga termasuk beberapa tempat pencucian motor yang Lia tak tahu berapa jumlah pastinya. Setiap kali Haya menyinggung soal Kakek itu, Lia pasti tertidur karena sungguh membosankan dan … menjijikkan. Sungguh termahsyur hidup sang ‘Datuk Maringgih’.
Begitulah ... Lia tak peduli. Lagipula, kalau cuma harta yang cukup, Lia yakin Deni bisa memberikan itu.
“Deni?” tegur Lia lagi.
“Menikah denganku?” pinta Deni.
“Deni ….”
“Ayo kita menikah Lia. Sekarang!”