002:TRISTAN-I'M HOME

1087 Kata
Menurut gue, terbang 27 jam melintasi berbagai zona waktu dari London ke Auckland bisa mengakibatkan sakit pinggang, kaki bengkak, dan leher kaku. So, kalau dalam penerbangan jauh lo punya tiket business class, ngga usahlah sok pahlawan menukar golden ticket lo itu dengan kursi di kelas ekonomi. Paham? "Good morning, ladies and gentlemen. We are currently beginning our descent into Auckland Airport. The local time is 4:45 am. The weather in Auckland is clear with a temperature of 10 degrees Celsius. Please ensure your seatbelts are fastened and your seat backs are in the upright position. We thank you for flying with us and hope you have a pleasant stay in Auckland," suara kapten kembali terdengar, membuat gue terpaksa menyingkirkan penutup mata dan menatap pemandangan di luar jendela. Well, setidaknya si ibu dengan bayinya memberi gue window seat dengan pemandangan indah sepanjang perjalanan dari Doha. Getaran lembut terasa saat roda pesawat menyentuh landasan bandara. Butuh beberapa saat hingga pesawat terparkir sempurna, pintu terbuka, dan flight attendant mempersilahkan kami turun. “Minggu, tiga Juni. Sekarang jam … 05:03 waktu Auckland,” ujar gue. Ngga ke siapa pun, melainkan ke digital recorder yang gue genggam. Kalau orang biasa pakai diary atau buku jurnal untuk mencatat kesehariannya, maka gue mengandalkan rekaman suara. Biar ngga capek nulis. Apalagi, tulisan gue itu katanya sih cuma anak farmasi yang bisa baca. Meski di dalam bandara, segarnya udara khas Selandia Baru tetap saja terasa. Seolah mengucapkan Selamat Datang pada gue. Si Anak Rantau yang akhirnya pulang kampung. Perkenalkan! Nama gue Tristan Weren. Berdarah Padang – Auckland. Putra pertama dari Aghni Afiya Mulki dan Danny Weren. Usia gue sekarang 35 tahun dan gue adalah seorang obgyn lulusan University of Cambridge. Berapa lama gue di Cambridge? Mmm, sekitar tujuh belas tahun saja. Lantas, apa alasan gue akhirnya pulang? Sh1t happened, butuh kabur dari atmosfer yang menyesakkan, dan … kangen sama Mama and Dad. Gue melangkah seraya bersenandung, mengikuti alunan nada yang tengah berputar dari aplikasi musik di ponsel. Menjejak tanpa suara, gue menyusuri lorong terminal, mengikuti petunjuk arah menuju area kedatangan. Meski rasanya lelah, gue berharap banyak pada kota ini. Setidaknya, mulai minggu depan, gue punya empat minggu cuti tahunan yang dibayar! Aseeek! Sembari menyapukan pandangan ke setiap sudut terminal, gue ngga henti mengatakan ke diri gue sendiri bahwa, “you’ll find your happiness in this city! Aamiin!” Semakin mendekati pintu terminal, rasanya gue terserang takikardia. Jantung gue berdetak kencang, entah karena gugup, entah karena stress atau cemas memikirkan kehidupan yang akan gue mulai di sini. Trust me, saat lo terbiasa tinggal di satu tempat selama belasan tahun, lantas pindah – meski ke kampung halaman lo sendiri, adaptasi tidaklah semudah membalik telapak tangan. Walaupun gue sih berharap, gampang ajalah buat gue. Di depan pintu terminal, sosok yang sangat gue kenali berdiri tegak. Tampangnya ngga ada senyum-senyumnya. Jutek bener! Gue ya ikutan jutek. Datar aja sok ngga kenal. Saat hampir tiba di titik temu, gue buang muka, berjalan santuy melewatinya. Lalu …. Hoodie gue ditarik! “Anak kurang aja!” maki bokap gue. “Dad!” sapa gue, tetap cool. Dad mengangkat kakinya, menendang bok0ng gue. Ujung-ujungnya ya gue ngakak. Beberapa orang memerhatikan jadi ikutan senyam-senyum. “Berani kau melewatiku, padahal hampir satu jam aku menunggumu di sini! Anak kurang ajar!” omel beliau lagi. Gue sontak menariknya mendekat, mencium kening dan kedua pipi beliau sebelum memeluk erat. “I miss you. I really do.” Beliau membalas, pelukannya begitu kencang, bahkan rasanya gue semakin sulit bernapas. “Kau harus tau, jika bukan karena menghargai pilihanmu, mungkin sejak kau mendapatkan gelar spesialismu, aku sudah memaksamu meninggalkan Cambridge.” “Aku pun menyesal kau tidak melakukannya, Dad.” “Dasar bod0h!” Belum selesai ternyata ngomelnya. “Jadi, kenapa kau lama sekali?” tanya beliau lagi seraya mengurai pelukan. “Ada seorang ibu dengan bayi empat bulan di kelas ekonomi. Bayinya menangis terus. Aku tak tega mendengarnya.” “Kau bertukar dengannya?” “Betul, Dad. Semua tempat duduk untuk penerbangan dari Doha ke sini penuh. Termasuk kelas bisnis.” “Setelah pindah, bayinya tenang?” “Iya,” kekeh gue. “Aku suka selera anak itu.” Makin ngekek. “Ngomong-ngomong, kenapa kau semakin muda, Dad?” tanya gue kemudian, beralih tema, usil aja sih, senang membuat beliau akhirnya tersenyum. "Simpan rayuan itu untuk mamamu. Ayo kita pulang, kami semua merindukanmu,” tanggap bokap gue dengan suara bergetar di kalimat terakhir. “Ayo!” sahut gue. ”Mamamu memasak dendeng balado. Cepatlah, boy! Atau kita akan menemukannya merengut saat tiba,” ujar beliau kemudian seraya melangkah lebih dulu ke bagian belakang mobil. Gue mengikuti langkah beliau, mengangkat satu koper besar dan satu koper kabin ke dalam bagasi. “Apa aku yang merasa jika bawaanmu terlalu sedikit? Kurasa tidak normal untuk seseorang yang sudah 17-tahun merantau.” “Koper besar itu, semuanya buku-buku, Dad. Koper kabinku isinya hanya dua jaket kesayanganku, alat tulis, kacamata, dan tas berisi perlengkapan kerja,” jelas gue. “Bajumu?” “Yang sudah tidak layak pakai aku buang, yang masih layak ku jual di toko barang bekas. Beri aku uang, Dad? Aku tidak punya baju,” ujar gue, memelas seraya masuk ke jok kopilot. “Pakai saja bajuku,” tanggap beliau singkat. Dad menyalakan mesin mobil, lalu melajukan mobil perlahan meninggalkan bandara. “Old fashion?” “Kau juga akan sampai di masa itu.” Ngekeklah gue. Maksud hati mau bercandain Bokap, malah gue yang dikerjain. “Jadi, kenapa kau pulang, boy?” tanya beliau kemudian. “Berkarier di sini,” balas gue. “Kau pikir aku bod0h?” “Tentu saja tidak, Dad. Kau luar biasa pandai, itu alasannya kenapa aku lebih luar biasa pandai lagi.” Dad tertawa. Ia mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk bahu gue. “Apa perlu kucari tau sendiri?” ujar Dad kemudian. “Uangmu banyak sekali, Dad. Sampai bisa membayar orang untuk mencari tau. Tapi, membelikan aku baju, kau tak mau?” “Tidak!” Ketawa lagi dah gue. “Boy?” Gue mendengus. “Hubungan kami sudah berakhir, Dad. Benar-benar usai." Beliau menepikan sedan yang membawa kami. Begitu mobil berhenti, Dad duduk menyerong – menghadap gue, menatap lekat. “Karena?” tuntut beliau. “She slept with Bas.” Itulah ... tunangan gue tidur sama orang yang gue kira sahabat. Tiga belas tahun gue terbuang percuma! Lucu kan? Lawak banget cerita cinta di hidup gue! Dad meraih ponselnya, menekan salah satu nomor, entah siapa yang dihubungi. Dan saat panggilan itu tersambung, titahnya membuat bulu kuduk gue meremang. “Hancurkan keluarga Addison! Tarik semua danaku dari perusahaan meraka!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN