Titik pandangku jatuh di executive nameplate, bertuliskan namaku sendiri – Xavier Sagara Zalman – dengan jabatan Chief Executive Officer. Dulu, aku begitu bangga dengan posisi tersebut. Namun tidak dengan kini. Harganya terlalu mahal.
Tatapanku lalu bergeser ke layar komputer yang masih menyala. Tajuk berita utama sebuah portal berita lagi-lagi menyinggung kondisi saham Zalman Holdings yang kian merosot. Sepertinya, ada seseorang yang sengaja memanfaatkan situasi. Membuat opini-opini negatif. Mempertanyakan masa depan perusahaan dan kemampuanku sebagai penerus setelah kematian Kakek dan Papa yang tragis.
Sementara jendela lainnya menampilkan artikel yang untukku bak pintu ke dimensi berbeda. Melalui rangkaian kata sang penulis, aku pindah dari dimensi yang tadinya dipenuhi kebahagiaan ke dimensi yang hanya diisi dengan kekecauan dan kenestapaan. Judul artikel itu masih sama dan hingga kini jumlah pembacanya masih terus bertambah; Saham Zalman Holdings Anjlok 25% dalam Semalam: Apa yang Terjadi? Betul, adalah artikel pertama yang muncul di sebuah situs berita dan akhirnya melahirkan artikel-artikel sampah lainnya.
Andai saja aku bisa menjawab dan menutup tulisan-tulisan berisi informasi sesat tersebut! Br3ngsek memang! Semua orang bersenang-senang di atas kesulitanku!
Dadaku sesak, ingatanku terlempar ke pagi itu, saat telepon darurat dari Eylo – CFO perusahaan kami – mengganggu sarapanku.
“Ga, ini darurat! Saham kita amblas! Kita harus meeting sekarang,” suara panik Eylo, masih kerap terngiang di telingaku.
Jelas teringat bagaimana aku sontak berdiri, menghentikan kunyahan, lantas langsung pergi menuju kantor. Bahkan aku lupa berpamitan dengan cara yang benar pada istriku.
Ah … aku lupa jika aku sudah mentalaknya.
Areum – sekretarisku – dan Athifa – sekretaris Papa – sedang sibuk menyiapkan rapat darurat saat aku tiba di kantor. Kedua tanganku terasa dingin, perutku linu, dan lututku rasanya begitu lemah. Meski begitu, aku tetap masuk ke ruangan Papa. Kami harus membahas beberapa hal sebelum masalah ini dibahas dengan shareholders, jajaran komisaris, juga direksi. Dan saat aku masuk ke ruangan Papa, seketika aku bisa merasakan jika kabar buruk yang baru selentingan kudengar dan k****a, kondisi sebenarnya lebih parah apa yang bisa kubayangkan.
Aku, Papa, Kakek, Eylo, dan Om Mada – ayah Eylo sekaligus sahabat Papa yang juga menduduki salah satu kursi di jajaran komisaris. Kami pun berembug, mencari solusi konkret yang bisa kami bawa ke tengah-tengah meeting nanti. Sayangnya, setiap usulan tampak sia-sia menghadapi krisis yang begitu besar.
“Kakek coba temui Pak Adlar. Kalau beliau tidak bisa membantu, Papa coba hubungi Pak Dirga,” ujar Kakek padaku. “Kakek pergi dengan Papa, kamu handle dulu urusan di sini.”
“Tapi Kek?”
“Hadapi shareholders, Saga!”
Menghadapi para pemangku kepentingan di tengah keadaan yang chaos seperti ini? Ide yang brilliant sekali bukan?
“Ayo, Fendi!” ujar Kakek lagi, mengajak Papa untuk segera meninggalkan kantor.
Yang aku tak tau … kepergian keduanya tak sampai ke tujuan, justru Kakek dan Papa meregang nyawa dalam perjalanan. Seseorang membunuh mereka. Seseorang tengah mengajakku bermain-main!
Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Entah kenapa hidupku jadi berantakan seperti ini.
Ponsel yang kugeletakkan di atas meja bergetar, notifikasi chat muncul di layar. Nyonya Felita ternyata. Ah, beliau ibuku.
Nyonya Felita: Apa rencana hari ini Ga?
Saga: Mama maunya apa?
Nyonya Felita: Kok sinis gitu ke Mama?
Saga: Semua omongan Mama kan sudah Saga dengar. Kepanikan Mama nular ke Saga. Jadi, sekalian aja Mama yang mikirin Saga baiknya ngapain.
Nyonya Felita: Kamu begini karena akhirnya sadar kalau apa yang Mama bilang masuk akal dan benar? Lain kali kalau memilih perempuan yang selektif, Saga! Perempuan ngga jelas asal-usulnya begitu kok dijadiin istri! Ya wajar dia dan keluarganya bertingkah! Kaget lihat harta banyak! Mana mandul! Bikin malu saja!
Saga: Suka-suka Mama aja!
Kukunci kembali layar ponselku. Kuletakkan dengan posisi layar melekat ke permukaan meja. Aku muak dengan ini semua. Hidupku kini bagaikan disetir opini, asumsi, juga perintah dari orang lain. Ya, bahkan ibuku sendiri asing bagiku.
Pandanganku bergeser, menatap foto yang terselip di sebuah pigura. Aku belum menyingkirkan benda itu. Bukti jika aku pernah menikah. Adalah fotoku dengan Mita saat hari pernikahan kami. Belvina Paramita, wanita yang sangat aku cintai meski kini rasa yang suci itu akhirnya terkotori amarah.
Entah apa yang merasukiku semalam. Kutatap telapak kananku yang berani-beraninya melayang ke wajah istriku. Lalu, tanpa ragu aku menjatuhkan talak padanya. Kabar simpang siur tentang adanya musuh dalam selimut, intrik bisnis, dan konspirasi yang mengancam kehancuran perusahaan semakin tak terbendung. Bahkan, tuduhan yang dilemparkan kepada Mita dan keluarganya turut memperparah situasi, membuatku tak lagi mampu menilai mana yang benar dan salah. Emosi yang terus menumpuk akhirnya meledak, kulampiaskan ke Mita. Aku pun menutup telingaku akan pembelaan yang bisa saja ia lontarkan. Ya, kini aku benar-benar sendiri. Hidupku hancur!
"Apa benar Om Rasen dalangnya? Jika bukan dia, lantas siapa? Ngga mungkin, cuma dia yang masuk akal membuat kekacauan segila ini!” monologku.
Kusapukan pandanganku, menembus dinding kaca di depan sana. Seolah akan menemukan jawaban. Padahal, hanya ada Areum yang tengah berbicara di pesawat telpon. Dan dua orang lainnya yang kini membantunya.
“Kalau memang ada orang lain ….” Gumamanku terputus saat titik pandangku bersirobok dengan Areum. Ia lantas berdiri, melangkah, masuk ke ruanganku.
“Ada yang Bapak perlukan?” tanyanya.
“Ngga.”
“Pak Fitza nanya, kapan bisa menemui Bapak?” Fitza itu pengacara keluargaku. Urusan apa dia mau ke sini? Ya tentu saja melegalkan perceraianku semalam.
“Saya aja yang ke kantornya,” jawabku.
“Baik, Pak.”
“Gimana persiapan untuk acara besok, Rum?”
“Lancar, Pak. Sudah siap semua.”
“Good.”
Ia menghempaskan napas. “Boleh saya switch mode ke sahabat Bapak?”
Aku terkekeh. “Apaan?” tanyaku.
“Something happened?”
“Ngga.”
“Serius, Ga?”
“Emang lo ngarepin gue jawab ‘yes, I’m a mess’, gitu?”
“Ya ngga sih,” tanggapnya. “Lo tau kan kalau lo bisa cerita ke gue soal apa pun?”
“Hmm. Thanks, Rum.”
“Kok kayak ngga tulus gitu sih?”
“Not now, please …” ujarku, memelas. Lagi malas banget ngurusin mood dan overthinking-nya cewek. Siapa pun itu.
“Oke! Ya sudah, anytime you need a friend to talk with, just tell me.”
“Siap!” sahut gue. “By the way, tolong tanyain Eylo laporan keuangan yang gue minta. Sekarang!”
Areum mengangguk. Ia lalu berbalik, meninggalkanku. Apa yang ia lakukan setiba di mejanya masih ku amati lekat. Ia mengangkat gagang telpon, lantas bicara, dan sesaat kemudian ia mengangguk padaku.
Hanya berselang detik, satu notifikasi muncul di layar komputer.
Tanpa menunda-nunda, email yang baru dikirimkan Eylo langsung aku buka.
As per your request, sir. Hanya itu pesan yang tersemat sebagai pengantar lampiran yang disertakan.
File laporan tersebut aku unduh, lalu kuperiksa setiap angka dan detail dengan teliti, mencoba menemukan petunjuk yang mungkin terlewatkan. Saat mata ini tertuju ke deret beberapa nilai, sebersit kecurigaan muncul.
“Kok stabil banget?”
Aku pun menghitung manual beberapa parameter keuangan, lantas … kalut sendiri.
“Sh1t!”
Laporan ini terlalu sempurna. Apa laporan yang naik ke mejaku selama ini selalu demikian? Br3ngsek! Sejak kapan hal ini terjadi?
Keningku mengerut, dad4 bergemuruh kebencian. Di saat yang sama, aku melihat Om Rasen melangkah mendekat. Tak peduli dengan sapaan Areum, ia mendorong pintu ruanganku dan menguncinya.
Pencuri!
Saat ia tiba di depan meja, aku menatapnya sinis.
Ia lantas menyodorkan amplop putih ke hadapanku.
“Saya mengundurkan diri dari posisi saya saat ini,” ujar Om Rasen. Begitu tenang. Membuat darahku semakin mendidih. Ia adalah salah satu komisaris Zalman Holdings. Tentu saja posisi itu diberikan Kakek beberapa bulan setelah aku dan Mita menikah. Kakek bilang, kemampuan seorang Rasendriya Taksa terlalu sayang untuk dibiarkan dieksploitasi perusahaan lain. Apanya yang sayang? Ternyata ia adalah serigala berbulu domba!
“Harusnya, langsung katakan jika kamu tidak menghendaki saya menerima amanah itu. Tidak perlu menyakiti Mita,” ujarnya lagi.
Aku menyeringai sinis. “Jadi Anda dan Mita korbannya?” tanggap gue, geram.
“Berhubung perusahaan belum memiliki Komisaris Utama lagi, jadi sepertinya tepat jika surat pengunduran diri ini saya serahkan pada Anda. Saya permisi, Pak Saga,” pungkasnya, lantas berbalik hadap dan menjauh seenaknya.
Jam digital di atas meja kuraih, lalu aku berdiri. Benda yang kugenggam itu kulempar dengan tenaga penuh … melewati Om Rasen, lantas membentur pintu ruangan. ‘BRAK! PRANG!’
Areum dan dua anak buahnya sontak menoleh, menatap ngeri. Sementara Om Rasen bergeming di posisinya. Namun, itu tak lama, karena kemudian ia melangkah lagi.
“TUNGGU PEMBALASANKU! AKAN KUPASTIKAN KAU DAN KELUARGAMU HANCUR! DENGAR ITU RASENDRYA TAKSA!”
Ia … terus saja berjalan, tanpa sekalipun menoleh. Bajing4n itu … akan kubuat ia mendekam di penjara!