Pergunakan ini. Kau tau harus ke mana saat ingin menyerah. Di sini, tak ada yang akan menghakimimu.
Aku membaca ulang tulisan di selembar sticky notes yang menempel pada sebuah kartu. Kurasa kali ini aku akan membuang rasa maluku. Aku butuh uang untuk menata hidupku di tempat baru. Sebenarnya tak benar-benar baru. Karena bisa dibilang, aku cukup sering menghabiskan masa kecilku di sana. Sebelum … kedua orangtuaku meninggal dalam satu kecelakaan pesawat sebelas tahun yang lalu.
Kupindahkan kartu tersebut ke dalam dompet, kemudian menyimpan dompetku ke dalam sling bag yang akan kugunakan.
Tanganku lantas meraih ponsel, membuka aplikasi obrolan dan menggesernya terus ke bawah. Lalu … aku berhenti di salah satu nama yang kerap membuat hati ini tak nyaman sepanjang pernikahanku dengan Mas Saga.
Areum: Saga kelihatan kacau. Aku sudah tanya; apa dia mau pulang? Katanya; masih ada yang harus dikerjakan. Kamu istirahat saja. Aku di sini nemanin Saga.
Areum: Saga lembur ya, Ta.
Areum: Saga ketiduran di ruangannya. Hari ini banyak yang dia urus.
Areum: Saga bilang dia ngga sempat sarapan? Kamu ngga bawain dia bekal?
Areum: Kami besok ke Bangkok, ada calon investor baru yang ingin Saga temui. Pulang kerja aku ikut Saga, biar aku yang siapkan keperluannya selama di Bangkok.
Air mataku menetes lagi. Setiap kali membaca chat dari perempuan yang Mas Saga klaim sebagai sahabat sekaligus sekretarisnya itu, hatiku terasa perih, seolah dengan sengaja ia menorehkan sayatan. Jangan tanya; apakah aku pernah mengeluh pada Mas Saga? Tentu saja. Dan bukan sekali dua kali. Namun, Mas Saga hanya akan meresponku ogah-ogahan. Jawaban yang sama selalu ia berikan, jika pikiranku teramat konyol. Ia bahkan tak segan mengatakan itu pada Areum – di depanku. Aku mungkin percaya pada Mas Saga jika sebelum perceraian kami, hatinya hanya untukku. Tapi, aku pun tau jelas jika Areum tak hanya menganggapnya sebagai sahabat atau bos belaka. Areum memiliki hati pada suamiku.
Kuhapus roomchat tersebut.
Begitu pula dengan roomchat-ku dan Mas Saga yang berada di urutan selanjutnya.
Kemudian, roomchat dengan mantan ibu mertuaku. Pesan terakhirnya adalah; sampai kapan pun aku tidak ridho perempuan sehina dirimu beserta keluargamu mencicipi sebutir nasi dari harta putraku selama ini. Apalagi harta gono gini yang Saga berikan padamu. Kuharap harta itu membawamu ke neraka! Aku sungguh berdoa agar hidupmu hancur dan sengsara!
Luar biasa bukan?
Aku mengetuk opsi di pengaturan aplikasi. Kuhapus semua pesan yang ada di dalamnya. Baru selanjutnya, aku menonaktifkan e-simcard milikku. Mulai saat ini, aku benar-benar akan menghilang dari hidup mereka.
Kutuntaskan persiapanku, memasukkan semua barang yang akan kubawa meninggalkan negeri ini. Begitu koperku sudah tertutup dan terkunci, aku beringsut ke depan cermin. Aku merias wajahku seraya bertekad mengusaikan kesedihan yang kugenggam selama tiga bulan terakhir – sejak Mas Saga menjatuhkan talak padaku.
Tadinya, kupikir ia akan datang, meminta maaf, menyesali sikap kasarnya. Nyatanya, itu hanyalah harapanku sendiri. Lagipula, apa yang tidak ia miliki setelah kepergianku malam itu? Meski nilai sahamnya turun, kekayaan keluarga Zalman tidak akan tergerus habis. Tempat berkeluh kesah? Ia punya ibunya dan Areum. Perempuan untuk menghangatkan ranjang? Uangnya masih berlimpah untuk memesan gadis bayaran.
Dan kemarin sore, surat cerai kami sudah kuterima.
Akulah yang tak mendapatkan apa pun dari pernikahan ini. Kecuali, pelajaran berharga untuk tak perlu lagi berurusan dengan bajing4an berpenis. Juga … janin dalam kandunganku.
“Mita?” panggil Ante Rifa, istri dari Om Rasen. Aku tinggal bersama mereka sejak kedua orangtuaku tiada. Om Rasen adalah satu-satunya saudara Ayah, adik lebih tepatnya. Pernikahan Om dan Ante dikaruniai satu putri, dan kini adikku itu tinggal di Praha, Ceko. Suaminya dipindah tugaskan ke kota nan cantik tersebut, dan tentu saja sang istri dibawa serta.
“Iya, Ante?” sahutku.
“Ayo turun, sayang. Om sudah pulang. Kita makan dulu.”
“Oke. Sebentar lagi Mita turun.”
Gegas kupungkaskan riasanku, memakai lipstik berwarna cerah. Baru setelahnya, aku melangkah turun, bergabung dengan Om dan Ante yang sudah menungguku.
“Sudah beres semua?” tanya Om Rasen.
“Sudah, Om,” jawabku.
“Nanti, di airport dijemput Kelvin. Dia anaknya Granny Hazel yang mengurus penginapan.”
“Cowok, Om?” tanyaku, cemas.
“Tenang aja, dia ngga suka cewek, apalagi yang lagi hamil.”
Ante terkekeh, sementara aku memanyunkan bibir.
“Surat ceraimu dibawa?” tanya Om Rasen kemudian.
“Dibawa dong. Sudah Mita laminating malah. Tinggal dibingkai aja nanti di sana.”
“Kok gitu?” tanya Ante.
“Emang harus gitu, Ante. Biar ngga usah bersinggungan dengan cinta-cintaan!”
Om dan Ante mendengus kompak.
“Ya sudah, ayo kita makan, biar bisa segera berangkat ke bandara,” pungkas Om Rasen.
***
Pesawat yang kutumpangi meninggalkan SoeTa semalam tepat pukul 20:45 waktu setempat. Dan setelah 12 jam lewat 15 menit di perjalanan, akhirnya pesawatku mendarat di Auckland Airport tepat pukul 14:00.
Meninggalkan pesawat, yang kuurus lebih dulu adalah membeli nomor ponsel baru. Aku duduk di sebuah kursi sembari menunggu bagasi dikeluarkan, mengaktifkan e-simcard baru lalu menginformasikan nomor tersebut ke Om Rasen dan Ante Rifa. Biar beliau berdua saja yang menyebarkan nomorku ini ke orang-orang yang pantas tau. Yang jelas, Mas Saga dan keluarganya tidak termasuk.
Ngomong-ngomong, kok aku masih sopan sekali sih menyebut nama mantan busukku itu dengan sebutan Mas? Sungguh menjijikkan!
Setelah koperku di tangan, aku pun kembali melangkah menuju pintu keluar terminal kedatangan. Sembari berjalan, aku menekan tombol panggil di nomor Kelvin. Tiga kali nada sambung, baru suaranya menyapaku.
“Kau sudah tiba?” tanyaku setelah memperkenalkan diri.
“Belum. Mobilku mogok tadi. Ini sudah di jalan. Kau tunggu saja di depan pintu keluar.”
“Baiklah. Mobilmu apa?”
“SUV Subaru, warna merah.”
“Bisa kirimkan nomor polisinya? Sekarang ya, daya ponselku sekarat.”
“Oke.”
“Kutunggu!”
Panggilan kuusaikan. Namun, memang dasar sial, begitu pesan dari Kelvin masuk, aku justru tak bisa membacanya. Ponselku keburu mati.
Aku mendengus kesal! Kuharap, tidak ada kesialan lainnya yang akan menyapa.
Bergeser beberapa langkah dari pintu keluar, aku berdiri menunggu. Dan sekarang, sudah sepuluh menit berlalu namun Kelvin tak juga muncul.
Jangan bilang ini kesialan kedua!
Dan baru saja aku menggemeretukkan gigi, mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Tepat pula berhenti di depanku.
Aku menghempaskan napas, maju dua langkah, lalu meraih pintu dan membukanya.
Pria di balik kemudi menatapku datar.
“Apa sepuluh menit di Auckland termasuk sebentar?” repetku.
Ia tak menjawab, hanya mengerutkan kening.
“Buka bagasinya!” titahku kemudian.
“Kau siapa?” tanyanya seraya memiringkan wajah.
“Malaikat kematianmu!” jawabku sinis. “Kau biasa menyambut tamu dengan menyebalkan seperti ini? Bukankah sopan santunnya adalah meminta maaf lebih dulu karena sudah membuatku menunggu?”
“Wow! I’m sorry, ma’am. Tapi aku sungguh tak tau kapan adikku melakukan operasi transgender. Apalagi sampai bisa hamil! Apakah operasi penggantian kelam1n sekarang sehebat itu? Bahkan bisa memindahkan rahim?”
Aku melotot, bertolak pinggang. Bantal leher yang kugenggam kulempar ke wajahnya. Benar-benar kurang ajar orang ini! Seingatku, Om Rasen tidak bilang jika pria yang bernama Kelvin memiliki attitude buruk.
“Apa kau Mita?”
Pertanyaan seorang pria dari balik punggung membuatku sontak tertegun.
Sementara pria yang barusan kulempar bantal justru mencengir bod0h.
Aku pun menoleh perlahan, saling menatap dengan pria muda yang mengangguk sopan. “Apa kau salah mobil?” tanyanya, kaku. Ia menunjuk ke sebuah SUV bermerek sama namun tipenya sedikit berbeda yang terparkir tepat di belakang mobil ini. Warna merahnya juga tak sama.
“Aku Kelvin. Kau tidak membaca pesanku?” tanyanya lagi.
Aku mengernyit, ngeri sendiri. Sementara jelas sekali Kelvin menahan tawa.
Tak berani menoleh ke belakang lagi, aku gegas beringsut ke mobil Kelvin, masuk ke jok kopilot begitu saja, lantas menutup wajahku dengan kedua tangan.
Beberapa saat kemudian seseorang mengetuk jendela di sampingku. Aku menoleh, ternyata pria yang salah kukenali tadi. Ia memberi isyarat agar aku menurunkan kaca.
Mau tak mau, tentu saja aku menurut. Namun entah kenapa, lidahku kelu untuk meminta maaf.
Ia tak banyak berkata, hanya meletakkan bantal leher di pangkuanku.
“Pastikan kontrol kandunganmu setiap bulan,” ujarnya padaku lalu pergi begitu saja.
‘Ya ampun, Mita! Welcome to Auckland!’