004:TRISTAN-TETANGGA BARU

1357 Kata
Balik ke mobil, central lock langsung gue tekan. Jangan sampai kelolosan lagi! Tadi, gue jadi sasaran bantal terbang, jangan sampe granat nyasar yang nyangsang selanjutnya. Saat mobil di belakang gue menyalakan lampu sein, gue menurunkan kaca jendela. Pas posisi kami sejajar, otomatis gue ngekek. Sumpah sih, lucu banget itu bumil. Hanya berselang lima menit kemudian, ada yang mengetuk kaca mobil kembali. Adik gue ternyata. Kunci gue buka, ia bengingsut ke bagasi lebih dulu, meletakkan kopernya. Selanjutnya, ia membuka pintu, lalu duduk di samping gue sembari menyambut fist bump yang gue sodorkan. Jadi, gue tuh sulung dari tiga bersaudara yang isinya cowok semua. Gue si sulung. Si Tengah berumur 30-tahun bernama Iram Weren. Dan si Bontot berumur 25-tahun bernama Rylee Storm Weren. Kayaknya kreatifitas Dad lagi bertambah pas Mama hamil Storm. Dia doang tuh yang namanya terdiri dari tiga kata. Oh iya, satu lagi! Alhamdulillah, kita bertiga punya hobi yang sama, yaitu bikin Mama pusing. Gimana ibu kami ngga pusing coba? Gue 17-tahun menetap di Cambridge. Si Iram banyakan di udara. Sementara si Badai banyakan di bawah air. Dan kami bertiga masih single. Yang terakhir ini sih yang paling bikin Mami frustasi. Kalau kami tinggalnya di Indonesia, mungkin Mama sudah jadi objek gosip ter-HOT, sasaran empuk para netijen yang selalu benar. Untunglah kami tinggal di New Zealand, di mana kebayakan orang tak terlalu peduli soal urusan tiga anaknya yang berbakat jadi bujang lapuk. “Beneran kamu putus sama Cathrine, Bang?” tanya Mama saat gue lagi enak-enaknya ngunyah dendeng. Malam pertama gue kembali ke kampung halaman. Gue mengangguk. “Besok balik lagi?” “Ya ngga, Ma! Emangnya staycation, hari ini pulang – minggu depan balik lagi?” “Terus? Mama kapan punya mantu?” “Abang ngga nyimpen lauhul mahfudz punya Abang, Ma. How do I know?” Mama menghempaskan napas. Bahunya jatuh terkulai. Gagal dah gendong cucu tahun ini! “Nanti Mama cek deh,” gumam Mama kemudian. “Cek apa?” tanya Dad. “Apakah masih ada kerabat kita yang punya anak gadis untuk dijodohkan dengannya?” “Sayang, apakah vertigomu kumat lagi?” Ngejodohin anak tuh ngga ada di kamus hidupnya Dad. Wah pantang banget buat beliau ngatur-ngatur jodoh dan karir anak. Kata Dad, ia hanya membimbing, soal memutuskan adalah urusan kami masing-masing. Cakeplah! “Kurasa begitu. Jika Tristan tidak kunjung menikah, bagaimana dengan Iram dan Storm?” keluh Mama lagi. “Memang ada aturannya jika mereka harus menikah sesuai urutan?” balas Dad. “Entahlah! Aku pusing.” Sementara gue, barusan nambah nasi. Ya ngapain gue pikirin! Sekali-sekali hidup tanpa pikiran itu menyenangkan, guys! “Kau tidak berpikir jika Tristan yang brengs3k kan, sayang?” “Jika dia brengs3k, untuk apa putraku setia selama tiga belas ta … apa maksudmu?” Si Mama baru ngeh maksud Papa. “Cathrine berselingkuh?” “Dengan Bas!” Kening Mama auto mengerut. Bahkan botoksnya aja jadi ngga ngefek. “Apa kau sudah menarik danamu, sayang?” tanya beliau beberapa saat kemudian. “Tentu!” Sungguh partner in crime yang saling mendukung! “Apa kabar Azores?” tanya gue kemudian saat Storm memutar sebuah lagu dengan jenis musik heavy metal. Jadi, adik gue ini adalah seorang fotografer underwater. Nah dia nih baru pulang dari Azores, sebuah kepulauan yang terletak di wilayah otonom Portugal. Ada kerjasama dengan salah satu merek perlengkapan olahraga internasional katanya. “Masih indah,” jawab Storm. “Meski untukku, Bunaken tetap di hati.” “Kau carilah gadis Bunaken,” canda gue. “Kau tidak punya kenalan, Bang?” “Tidak. Aku hanya sempat berkenalan dengan penyu betina berusia 70-tahun saat menyelam di sana. Kau berminat?” Storm tertawa, suaranya bergema dalam kabin mobil. "Penyu betina, ya? Kayaknya belum saatnya aku mencari pasangan yang bisa hidup lebih lama dariku," ujarnya di antara gelak. Gue aja masih patah hati, dia malah minta comblangin! Ngawur bener emang. “Bang Iram sudah pulang, Bang?” tanyanya kemudian. “Sudah. Ia mengambil cuti dua minggu,” jawab gue. “Bagaimana denganmu?” “Nyelesaiin ini dulu. Minggu depan sudah harus kirim hasil.” “Belum ada kerjaan lagi?” “Ada. Bulan depan. Gue mau ngabisin bulan ini capture daratan. Sudah lumayan lama ngga update portofolio.” “Bulan ini waktunya lo check up kan?” tanya gue lagi. “Iya, Bang,” jawabnya. “Kapan?” “Hari ini dan besok mau istirahat dulu. Lusa deh, Bang.” “Oke. Bareng aja ke rumah sakit.” “Betah ngga lo Bang di sini?” “InshaaAllah. Dua bulan ini so far so good.” “Good.” “Happy lo ya? Jadi ada yang nemanin Mama and Dad di sini?” “Iyalah. Bukan happy lagi, bersyukur malah.” Keluar dari kawasan bandara, langit cerah dengan gumpalan awan putih yang tersebar masih mengiringi kami. Lalu lintas di jalan utama George Bolt Memorial Drive ramai namun tetap mengalir lancar. Deretan mobil dan kendaraan komersial bergerak bersama, masing-masing menuju tujuan mereka. Di kanan kiri, berjajar pepohonan hijau yang menari gemulai tertiup angin musim dingin. Melewati beberapa kilometer, suasana mulai berubah. Dari kesibukan khas airport kini menjadi lebih tenang khas kawasan pemukiman. Rumah-rumah dengan halaman luas menyapa di sepanjang jalan. Beberapa ditanami tanaman musim dingin yang memberi kesan tetap asri dan cantik. Semakin mendekati Mangere – kawasan tempat kami sekeluarga tinggal - beberapa toko dan kafe lokal mulai terlihat. Di musim dingin seperti ini, pelanggan kafe datang silih berganti. Biasanya adalah penduduk setempat yang ingin bersantai sembari menikmati secangkir kopi hangat. Akhirnya, kami tiba di pusat Mangere, dengan suasana yang semakin tenang. Jalan-jalan lebar dengan sedikit kendaraan yang melintas. Anak-anak yang nampak bermain di pinggir jalan. Dan beberapa orang yang melambaikan tangan saat melihat SUV yang gue kendarai. Tiba di rumah, gue langsung memarkir mobil di tempatnya. Storm turun lebih dulu, memeluk Mama sebelum beringsut ke bagasi. Saat gue menyusul keluar, suara seorang wanita tua menyapa pendengaran. “Kau sudah pulang Storm?” tanya beliau. Kami biasa menyapanya dengan panggilan Granny Hazel. Nenek itu adalah orang yang menjaga rumah di seberang kediaman kami. Jika rumah gue terdiri dari dua lantai, maka rumah itu hanya satu lantai, berfasad kayu berwarna putih, namun terlihat begitu nyaman. Nah kalau Granny, kediamannya sendiri terletak sekitar dua kilometer dari jalan masuk ke perumahan ini. “Hai Granny! Ya, aku baru pulang,” jawab Storm. “Kau menginap?” “Ya, untuk beberapa hari ke depan,” jawab beliau. “Apakah kau marah pada kami, Granny?” tanya gue, usil. “Kau membuat masalah?” balasnya. “Aku selalu membuat masalah, tanya saja ibuku,” tanggap gue yang dihadiahi gebukan sayang oleh Mama di punggung gue. “Maksudku, jarak di antara kita hanya beberapa meter, apa tidak bisa kau yang ke sini atau meminta Storm menyambangimu?” “Tidak perlu, son. Masih banyak waktu untuk kita bertukar cerita. Aku akan berjalan ke toko grocery di depan sana.” “Aku ikut!” Nyaris saja gue memekik. “Kau yakin?” “Ya! Tunggu di situ, Granny.” Gue mencium Mama, mengambil kupluknya Storm untuk gue kenakan. Lalu melangkah dan menyeberang jalan, nyamperin Granny. Yang bikin gue bingung adalah, pas gue berada tepat di depan rumah tetangga gue ini, kok gue kayak kenal ya SUV yang terparkir di halaman belakang? “Ada apa?” tanya Granny. “Sepertinya aku kenal mobil itu?” “Kurasa kau tidak mengenal putra bungsuku. Ia sedang di sini, berlibur. Jadi, kusuruh menjemput cucu pemilik rumah ini. Ia sendirian dan sedang hamil. Aku ingin memasak sesuatu untuknya.” “Oh!” respon gue, singkat. Masih bingung. Bau-baunya kayak ada yang salah aja gitu. Perasaan gue ngga enak banget sumpah! “Kita pergi?” tanya Granny kemudian. “Oke, Granny,” tanggap gue. Baru saja gue akan berbalik hadap sesuai arah trotoar, seseorang membuka pintu utama rumah. Sebelum wujudnya, suaranya dulu yang kedengaran. “Granny, tunggu sebentar,” ujarnya. “Ada apa, nak?” balas Granny. Dan saat itu cewek melangkah keluar, gue sontak melongo. Ngga beda sama sekali dengan dia pas tatapannya bersirobok dengan iris mata gue. “Kau mengikutiku?” tuduhnya tanpa tedeng aling-aling. “Kau dendam padaku?” ‘Bukan dia kan yang nge-tag nama di lauhul mahfudz gue?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN