005:TRISTAN - CURAHAN HATI

1438 Kata
Ngehalu aja terus. Hati masih carut-marut, gaya-gayaan gue nebak isi lauhul mahfudz. Dibisikin sama malaikat kapok nanti gue! Lagian bumil kayak begitu pasti ada pasangannya! Mustahil gue tilang kan? “Iya? Hanya demi permintaan maaf dariku, kamu sampai mengejarku ke sini?” sulutnya lagi. “Oke! Saya minta maaf! Puas?” Gue menghempaskan napas. Namun, belum sempat berujar apa pun, malah keduluan Granny. “Kalian saling mengenal?” tanya beliau. Si Bumil auto mingkem. “Dia salah mengenali mobil yang menjemputnya, Granny.” Biar gue deh yang jawab. Granny menoleh ke halaman rumah gue, lalu menoleh lagi ke mobil yang terparkir di backyard rumah ini. Sementara itu cewek, terus aja menatap gue tajam. Ngeri banget emang ibu-ibu hamil yang lagi hilang kesabaran! Combo pedesnya! “Memangnya Kelvin tidak memberitahumu nomor polisi mobilnya?” Granny bertanya lagi, langsung ke Bumil. “Ponselku keburu mati,” jawab itu cewek. “Kurasa ia menunggu terlalu lama. Seingatku ia bilang … sepuluh menit,” sambar gue. “Sepuluh menit itu hanya menunggu di luar terminal. Kalau dihitung sejak aku perlahan-lahan berjalan dari pengambilan bagasi, pasti lebih dari itu!” Sewot lagi coba! “Jadi, kau memarahinya karena menunggu sepuluh menit di depan terminal? Dan kau mengira dia adalah Kelvin?” tanya Granny lagi. “Memangnya aku bilang jika aku memarahinya?” gumam si Bumil kemudian. “Cara bicaramu sekarang saja sudah bisa membuatku membayangkan bagaimana tadi kau bicara dengannya, Nona.” “Tapi kan dia tidak perlu mengejarku ke sini!” Masih ngga mau ngalah. Malah manyun, merajuk. Imut sih. ‘Eh?’ “Dia tidak mengejarmu. Itu rumahnya,” ujar Granny, menunjuk rumah gue. Nah, cengo kan! “Namanya Tristan. Mereka tiga bersaudara. Semuanya laki-laki. Tristan yang tertua, dia seorang dokter. Yang kedua Iram, seorang pilot. Yang ketiga Storm, hobinya menyelam sambil mengambil foto. Mereka anak-anak yang manis, meski sesekali memusingkan.” Ujung-ujungnya ngga enak. Jadi ngekek dah gue. “Tadi Granny kan melirik ke mobilku, membandingkan dengan mobil putranya yang menjemputmu. Memangnya kau tidak memerhatikan?” tanya gue. “Aku tidak sepenasaran itu untuk mencari tau rumah siapa di depan sana dan apakah mobil yang terparkir itu sama dengan mobilmu!” balas Bumil, ketus. “Amarah menggelapkan mata. Itu yang sedang terjadi padamu. Berhenti memompa emosimu. Tidak baik bagi janinmu, ma’am.” “Mentang-mentang kau dokter lantas kau merasa berhak menceramahiku?” Kenapa sih ini cewek? Dia yang salah, dia yang galak. Gue ngga ngapa-ngapain, salah juga. Dinasehatin, malah ngereog. Dicerai sama lakinya pas tau hamil apa? Granny menghela napas. “Sudahlah. Ada apa kau menyusulku keluar?” tanya beliau kemudian pada si pemilik rumah. “Tolong belikan aku beberapa buah. Apa kau keberatan, Granny? Atau aku ikut saja?” “Tidak masalah. Beristirahatlah. Kau pasti lelah. Perjalanan dari Jakarta ke sini tidaklah singkat.” “Jakarta?” sambar gue. “Oh, aku lupa memberitahu. Ibunya orang Indonesia, dan Tristan lahir di Jakarta. Kalian bisa memaki dengan bahasa tanah air. Aku tak keberatan.” “Jadi, lo dari Jakarta?” tanya gue. Sungguh luar biasa! “Ngga usah sok akrab lo!” balasnya. Sinis. Beneran ngga stabil emosinya ini cewek. Memutuskan tak memedulikan si Bumil, gue merangkul Granny. “Ayo, Granny. Keburu gelap.” “Baiklah,” jawab Granny. “Kau, masuklah ke rumah. Jangan berkeliaran, kau sudah lama tidak ke sini. Lagipula, suhu udara sangat dingin,” pesannya kemudian ke cewek yang lagi memindai sosok gue dari ujung kepala sampai ujung kaki. ‘Awas naksir, mbaknya! Saya ngga tanggung jawab ngomong ke suami situ kalau sampai situ jatuh hati ke saya.’ *** “Abang?” panggil Mama dari dapur. Abang itu gue. “Nanggung, Ma,” sahut gue. Ngga salah emang, gue lagi tanding EA Sports FC sama Iram. Masa mau gue tinggal? “ABANG!” Astaghfirullah. Storm ngambil stick konsol dari tangan gue, lantas main nyelip aja duduk di antara gue dan Iram. Ujung-ujungnya dia geser-geser gue biar segera memenuhi panggilan Mama. “Ada Iram sama Storm kenapa Abang mulu sih?” sambat gue. Dad malah ngekek. Lagi cosplay scroll situs berita tuh, padahal ngetawain gue. “ABAAANG?” “Iya, Ma …” sahut gue seraya melangkah malas ke tempat beliau berada. “Mama nih marahin Abang mulu.” “Lagian dipanggil sekali ngga cukup! Mama harus teriak-teriak dulu baru Abang samperin. Jebol nih pita suara Mama!” “Ngga bakal. Neriakin Abang kan bakat utama Mama,” ujar gue. “Aduuuh,” rintih gue kemudian saat emposan Mama mendarat di paha gue. Empos tuh jenis cubitan yang sambil diputar gitu, guys. Panas dan pedaslah rasanya. Canda sih, ngga bakalanlah Mama nyakitin anaknya sendiri. Apalagi anaknya seunggul gue. “Nah! Bawa ini rendang ke depan!” titah Mama. “Makan di depan? Ngga di sini, Ma?” Di depan yang gue maksud adalah living room. Karena dining area rumah kami ini sebelahan sama kitchen. “Antar ke rumah depan, Abang,” ulang Mama. “Rumah depan?” “Iya. Ada Granny Hazel kan di situ. Kan Abang tadi cerita yang punya rumah datang. Mama chat Granny, ngajak makan di sini. Tapi, Mita masih kecapekan katanya.” “Mita?” “Nama yang punya rumah.” “Cucunya, Ma. Granny bilang, itu cewek hamil cucunya yang punya rumah.” “Ya sama aja.” “Bedalah, Ma.” Mama berdecak. Sutilnya ngangkat. Auto mingkem dah gue. Jangan sampe kena getok pake sutil. “Buruan antar!” ujar Mama kemudian. “Iram aja sih, Ma?” “Iram masih demam.” “Lah demam tapi main game?” “Abang juga kalau lagi sakit main game mulu.” “Storm deh.” “Storm baru sampe! Masih capek.” “Mama …” rajuk gue. “Buruan! Ngga boleh makan kalau ngga nganterin dulu.” Mendengus keras. Tapi yang namanya titah Ibu, ngga boleh dibantah. Gue mengangkat wadah rendang, lantas melangkah sambil manyun. Tiba di rumah depan, gue mengetuk pintu utama. Kelvin nongol setelah ketukan kali ketiga. Hampir aja gue pergi. Kata Mama, kalau kita ngucap salam atau ngetuk pintu rumah orang lain sampai tiga kali dan penghuninya ngga keluar, maka baiknya kita pergi. Karena bisa aja yang tinggal di dalam lagi ngga mau diganggu. Atau ... bisa jadi uangnya belum cukup buat bayar hutang! “Kau?” “Hmm.” “Kau mencari Mita?” “Tidak! Aku tidak sebegitu terobsesi dengan permintaan maaf darinya,” sahut gue. “Serius?” “Iya,” tanggap gue. Wadah pun gue sodorkan ke dadanya. Kelvin menggenggam kuping panci tersebut. “Rendang. Dari ibuku." "Rendang?" "Hmm. Berikan pada Granny. Tanya padanya jika kau tak tau apa itu rendang?” “Kenapa bukan kau yang menjelaskan?” “Karena aku tertarik pada wanita.” Kelvin terkekeh. “Aku pulang!” ujar gue kemudian. “Baiklah. Terima kasih atas makanannya.” “Oke.” Terdengar suara pintu yang tertutup. Gue menuruni beberapa stepping. Dan beberapa langkah setelahnya, gue mendapati bumil galak tengah duduk di samping rumah. Ia menunduk, menatap layar ponselnya yang gelap. Entah kenapa … gue malah ngga tega ngelihat dia sendirian di situ. “Mita?” tanya gue seraya berdiri di hadapannya. Ia mendongak. Hidungnya mengernyit, membuat gue tersenyum tipis. “Ngapain lo?” ketusnya. Ngga sejudes tadi sore sih. Tanpa permisi, gue pun duduk di sampingnya. “Nagih permintaan maaf yang baik dan benar.” Mita menghempaskan napas. “Kalau gue ngga mau?” “Mmm … besok gue tagih lagi.” “Gitu doang?” “Iyalah. Ngapain amat gue bawa emosi hanya perkara lo malas minta maaf.” Kini ia menyeringai. Namun, tak satu kata pun tertuturkan. “Kok lo sendirian?” tanya gue kemudian. “Sudah ngga,” tanggapnya, dingin. “Oh iya, kan sama gue sekarang,” kekeh gue. “Lo ngapain? Ngga dingin? Nunggun telpon dari suami lo?” Mita menoleh, menatap gue. Lumayan lama lho. Habis itu, ia menggeleng lesu. “Gue salah nanya? Sorry, Mit.” “Ngga kok.” “Ngga?” “Hmm. Gue ngga nunggu telpon dari suami. Lebih tepatnya, gue ngga punya suami lagi.” Masa sih perkiraan asal gue sore tadi ternyata benar? “Lagi?” cicit gue. “Hmm. Gue sudah cerai.” “Oh.” “Dan dia ngga tau soal anak di kandungan gue,” lanjut Mita. “Kenapa?” “Ngga ada bedanya, Dok. Belum tentu dia akan peduli. Lagipula, gue ngga mau dia mempertahankan gue hanya karena anak ini,” jelas Mita. “Berarti, perceraian itu juga pilihan lo?” tanya gue kemudian. “Iya.” “Berpikirlah positif, Ta.” “Maksud lo?” “Lo mau pisah karena lo ngga mau dia mengasihani lo. Lantas, kenapa lo justru terlihat patah arang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN