“Waktunya aku berangkat,” ujar Tristan. Ia berdiri dari duduknya, mendekap Dad, mengecup kening Mama, lalu menekan kedua pipiku hingga bibirku monyong beberapa senti. Storm mengikuti apa yang ia lakukan, kecuali memajukan bibirku yang ia ganti dengan membuat surai di puncak kepalaku kusut masai. “Bagaimana dengan undangan dinner Mr. Addison, boy?” tanya Dad pada Tristan saat ia tengah mengenakan sepatunya. “Entahlah, Dad. Aku belum tau. Jika kuputuskan datang, Storm akan menjemputku.” “Ide bagus,” tanggap Dad. “Habis mengantar Abang, aku mau ke toko kamera dulu ya, Ma?” sambung Storm. Mama mengangguk. “Hati-hati.” Seperti biasa, setiap pagi aku akan sarapan bersama The Weren’s. Jika tidak demikian, Tristan atau adik-adiknya yang akan menyambangi rumahku dan memaksaku ikut mereka. Ma