11. Kena Mental Mengetahui Status Sebenarnya

1507 Kata
Arsa dan Aria dalam perjalanan pulang setelah meninggalkan acara. Sejak keluar dari gedung, Aria masih saja gusar. Ia cemas jika telah melakukan kesalahan atau menjadi bahan gunjingan orang-orang dan mempermalukan Arsa. “Ada apa?” Arsa bertanya merasakan tangan Aria masih berkeringat dingin padahal mereka sudah melewati acara itu tanpa kendala. Aria menoleh, menatap Arsa kemudian turun pada tangan Arsa yang menggenggam tangannya. “Aku … hanya takut jika telah melakukan kesalahan. Bagaimana jika aku mempermalukanmu di depan semua orang, bagaimana jika orang-orang itu mengejekmu karena kesalahanku,” ujar Aria mengungkapkan keresahan hatinya. “Kenapa kau masih memikirkannya? Kau tidak melakukan kesalahan, jikapun mereka membicarakan hal buruk tentangku, bahkan menghinaku, itu semua karena kondisiku, bukan dirimu,” ujar Arsa. Aria hanya diam tanpa melepas pandangan dari suaminya dengan sorot mata nan teduh. Ia merasa semakin hari Arsa semakin menunjukkan sisi baiknya. Padahal, saat pertama mereka bicara, kata-kata Arsa begitu menusuk. Pria itu seperti pria dingin yang begitu sulit disentuh. Tapi, siapa kira, seiring berjalannya waktu Arsa justru menunjukkan hal berbeda. Tanpa Aria sadari, Robi mencuri pandang padanya dan Arsa lewat spion tengah. Memperhatikan interaksi sang tuan dan istrinya tanpa mengurangi fokus kemudinya. Di tempat lain, Marisa tengah duduk di depan cermin memakai skin care sebelum tidur. Sampai tiba-tiba dering ponselnya membuatnya menghentikan sejenak rutinitas malamnya itu. “Untuk apa dia menelpon malam-malam begini?” gumam Marisa melihat nomor Gian yang tertera pada layar. Berpikir mungkin tidak penting, ia mengabaikannya, mengembalikan ponselnya itu ke tempat asal. Namun, panggilan kedua membuatnya terpaksa mengangkat panggilan. Ia sedang memanfaatkan Gian, jadi untuk saat ini harus bersikap manis dengan pria itu. “Halo, Sayang, belum tidur?” “Jangan berbasa-basi. Ada apa,” jawab Marisa bernada malas. Mendengar Gian memanggilnya sayang membuatnya ilfil. “Ish, kenapa ketus begitu. Ingat janjimu, kau mau jadi pacarku.” “Memangnya kau sudah tahu siapa orang itu sebenarnya?” “Ck, tentu saja. Kau yakin ingin mendengarnya sekarang?” “Apa? Jadi kau sudah dapat informasinya?” ucap Marisa yang hampir tak percaya Gian bisa menemukan informasi mengenai Arsa dengan cepat. “Ya, tentu saja. Apa yang tidak bisa kulakukan?” Marisa mencebik samar. ”Kalau begitu cepat katakan,” tuntutnya begitu tak sabar ingin tahu semua mengenai Arsa. “Eit, tunggu dulu. Kau harus tepati janjimu. Mulai hari ini kita pacaran, kau adalah kekasihku.” “Ya, ya, terserah kau saja. Cepat beritahu aku.” “Ck, kenapa kau tak sabaran sekali? Memangnya kenapa kau begitu ingin tahu? Katakan kau mencintaiku, maka aku akan memberimu sebuah kejutan mengenai laki-laki itu.” Kekesalan kian merasuki hati Marisa. Tangannya pun terkepal kuat di atas meja. “Jangan membuatku marah! Cepat katakan saja!” teriak Marisa seraya memukul meja dengan kepala tangannya. “Ish, kenapa sampai marah-marah?” “Cepat katakan! Atau, jangan pernah bermimpi aku sudi denganmu!” Kesabaran Marisa sudah mulai habis. Meski sangat penasaran tapi Gian membuatnya sangat muak. “Hei, ayolah, jangan begitu. Iya-iya, aku akan memberitahumu. Dia adalah Arsa Leon Devanka, pewaris tunggal Leon Group. Kau pasti tahu Leon Group, bukan? Pemilik Leon Group sebelumnya yakni ayahnya, meninggal dalam kecelakaan pesawat bersama istrinya. Sekarang, dia lah yang menguasai Leon Group.” Marisa terdiam, tenggelam dalam pikiran. Ia pun mengambil notebooknya dari dalam laci dan menghidupkannya berniat mencari tahu mengenai Leon Group. “Tapi aku tak yakin Leon Group bisa berjaya sama seperti saat ayahnya yang memegangnya. Ternyata dia buta. Kau tahu sendiri, memangnya apa yang bisa orang buta lakukan? Aku yakin akan ada banyak orang dan banyak pihak yang memanfaatkan kecacatannya.” Suara Gian kembali terdengar, mengatakan pada Marisa bahwa Arsa hanya lelaki buta. Meski saat ini menguasai perusahaan besar, ia yakin tak akan berlangsung lama. Marisa mengabaikan apa yang Gian sampaikan. Ia memilih mencari tahu sendiri lewat internet dan menemukan sebuah fakta. Tidak banyak artikel atau informasi yang ia dapat. Bahkan, dari semua artikel tidak ada yang menunjukkan foto Arsa. Arsa telah disembunyikan sejak ia kecil. “Apa kau yakin dengan yang kau katakan?” tanya Marisa serta terus men-scroll layar. Sayangnya, benar-benar tidak ada foto Arsa dan biodatanya seakan memang sengaja disembunyikan dari khalayak. “Tentu saja. Kau tidak percaya? Aku bertemu dengannya secara langsung. Aku mewakili ayahku menghadiri sebuah acara, dan ternyata acara yang kuhadiri adalah acara perkenalan laki-laki itu sebagai pemilik Leon Group yang baru meneruskan ayahnya sebagai pemilik utama. Awalnya tidak ada yang percaya karena selama ini sosok putra tunggal pemilik Leon Group memang disembunyikan. Menurut kabar yang kudengar, dia tinggal di luar negeri sejak kecil dan kembali ke sini setelah ayah dan ibunya meninggal sekaligus menggantikan posisi ayahnya. Aku akan membuktikannya jika kau tak percaya.” Selang beberapa detik kemudian, Marisa menerima pesan video di mana video itu adalah rekaman saat Arsa berdiri di atas panggung di mana berdiri pula Aria di sampingnya. Seketika matanya pun melotot. “Bagaimana, kau percaya sekarang?” Marisa terdiam kaku tanpa melepas pandangan dari layar ponselnya di mana perhatiannya sepenuhnya tertuju pada Aria. Aria terlihat sangat cantik menawan dan anggun, sangat berbeda dengan Aria yang biasanya. “Ba- bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” gumam Marisa terbata dengan wajah pucat dan tatapan tak percaya. Siapa kira orang yang dihinanya bahkan kehilangan penglihatan karenanya, ternyata adalah seorang pria kaya raya. “Halo, Sayang, kau masih di sana? Ha–” Trak! Ponsel Marisa hancur menghantam dinding. Belum selesai Gian bicara, ia bangkit dari kursi yang ia duduki, memutar tubuhnya dan melempar ponselnya sekuat tenaga meluapkan emosi yang tak dapat dijelaskan. Ia marah, tentu saja. Ia merasa telah dibodohi mentah-mentah. “Aaarkh!” Marisa berteriak dan menyapu semua yang ada di atas meja rias menggunakan tangan. Parfum, skincare, bahkan notebooknya pun kini berserakan di lantai. “Sayang, ada apa?” Hengki berjalan menghampiri Marisa saat mendengar suara keributan dari kamarnya. Ia pun terkejut melihat kamar Marisa yang berantakan. “Kita telah dibodohi, Ayah! Telah dibodohi!” teriak Marisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Apa? Apa maksudmu, Marisa?” “Ayah tahu siapa lelaki buta itu sebenarnya? Siapa suami buta Aria? Di adalah pewaris tunggal perusahaan besar! Bahkan perusahaan milik ayah peninggalan ibu Aria tak ada seujung kukunya dengan perusahaannya!” Kembali pada Aria dan Arsa, mereka telah sampai di rumah. Keduanya segera menuju kamar untuk beristirahat. Namun, sebelum itu Aria membersihkan make upnya lebih dulu setelah membantu Arsa berganti pakaian memakai piyama, mencuci muka juga menggosok gigi. Aria menatap pantulan wajahnya di depan cermin dan teringat apa yang terjadi malam ini. Ia tak mengira acara itu adalah acara milik Arsa. Ada banyak tamu undangan dan kesemuanya terlihat dari kalangan berada. Tiba-tiba Aria teringat Hari, pria yang mengajaknya berkenalan. Setelah ia dan Arsa turun dari panggung, tiba-tiba orang itu datang dan meminta maaf. Pria itu juga memuji-muji Arsa, berbeda saat sebelum dia tahu siapa Arsa sebenarnya. Aria menoleh pada Arsa yang duduk diam di tepi ranjang. Ia merasa iba. Aria segera menyelesaikan kegiatannya kemudian segera menghampiri sang suami. “Kau tidak tidur?” tanya Aria. “Sudah selesai?” “Aku … tinggal ganti baju,” jawab Aria. Setelahnya susana menjadi hening saat Arsa tak lagi membuka suara begitu juga Aria. Aria terus menatap Arsa, memperhatikan suaminya dalam diam dengan berbagai pikiran dalam kepala. “Apa yang kau pikirkan?” Aria tersentak, tersadar dari lamunan. Ia kira Arsa tidak tahu ia masih berdiri di depannya. “Ti- tidak, aku hanya berpikir kenapa kau mengenalkan ku sebagai istrimu di acara itu?” “Kau malu suamimu buta?” Aria menggeleng dan menjawab cepat, “Tidak. Aku hanya berpikir, mungkin di pikiran mereka kau bisa mendapatkan wanita yang lebih. Tadi juga ada wanita cantik yang menghampirimu, juga seorang pria yang mengenalkan anaknya.” Setelah turun panggung, bukan hanya Hari yang datang, tapi juga seorang wanita juga seorang laki-laki paruh baya yang mengenalkan anak perempuannya. Beberapa tamu lain juga tampaknya ingin mendekat, tapi untungnya Arsa segera mengajaknya pulang. “Kau kira mereka melakukannya dengan tulus? Mereka tak jauh berbeda dengan pria yang mengajakmu berkenalan. Dan saat dia tahu siapa aku, dia datang seperti seorang penjilat.” Aria hanya diam. Dunia kalangan atas memang kejam. Seseorang akan disegani dan dihormati jika punya kuasa begitu juga sebaliknya. “Saat mereka tidak tahu aku siapa, mereka melihatku hanya lelaki tak berguna dan cacat bahkan memandang sebelah mata. Tapi saat mereka tahu siapa aku, mereka berbondong datang untuk menjilat. Mungkin dari seratus orang, hanya satu di antaranya yang tulus. Kau tidak perlu terkejut karena itulah kehidupan,” ujar Arsa. Meski awalnya sangat tertekan dengan kondisinya setelah kecelakaan, di sisi lain ada hikmah yang bisa ia dapatkan. Ia semakin tahu dan sadar bahwa orang-orang akan segan pada orang yang memiliki kuasa. Saat mereka mengetahui dirinya lelaki biasa, mereka menghinanya seakan ia adalah pria paling tak berguna karena kebutaannya. Tapi saat mereka tahu ia memiliki segalanya, mereka memperlakukannya seperti seorang raja. Sifat manusia-manusia seperti itu begitu menjijikan, tapi kenyataannya hampir semuanya memilikinya kecuali, Aria, juga orang-orang yang dapat ia percaya. “Besok kita akan pergi.” “A- apa? Ke mana?” Arsa hanya diam tak menjawab kemudian menaikkan kakinya ke atas ranjang untuk berbaring. “Kau akan tahu sendiri besok.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN