Pria itu tak berhenti menatap kagum wanita yang duduk di hadapannya yang tak lain adalah Marisa.
“Hah … kau tak pernah berubah, kau selalu cantik dan menawan,” ujar pria itu tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari Marisa.
Marisa tersenyum tipis. “Kuharap kau mengajakku bertemu bukan hanya untuk mengatakan kalimat membosankan itu,” ucapnya.
Pria itu merogoh sesuatu dari saku kemejanya dan menunjukkannya pada Marisa. Sebuah kotak cincin berisi cincin berlian 0,5 karat.
Marisa menatap sinis cincin yang dipersembahkan untuknya. “Ck, kau memberikan cincin murahan ini padaku?”
“Kau tidak menyukainya? Harganya seratus tiga belas juta,” ujar Gian, nama pria itu. Ia meraih tangan Marisa dan berniat menyematkan cincin itu di jari manisnya. Namun, Marisa segera menarik tangannya.
“Jangan bercanda, kau bilang mencintaiku tapi membelikanku barang murahan itu?” kata Marisa mencemooh.
“Ini hanya hadiah kecil, Ris. Jika kau mau jadi pacarku, aku akan membelikanmu yang lebih mahal dari ini,” ujar Gian. Ia sudah lama menyukai Marisa bahkan terus mengejarnya. Namun, Marisa selalu menolak.
“Hm, baiklah.”
“Jadi, kau mau jadi pacarku?”
“Dengan satu syarat.”
“Apa? Katakan, apa syarat itu. Aku akan melakukannya untukmu!” seru Gian menggebu. Ini kali pertama Marisa memberinya kesempatan. Biasanya Marisa langsung menolaknya mentah-mentah.
Marisa mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Arsa.
“Cari tahu siapa dia sebenarnya. Jika kau bisa, aku akan mempertimbangkan menjadi pacarmu.”
Gian memperhatikan layar ponsel Marisa di atas meja dengan seksama.
“Kau menyuruhku mencari tahu siapa laki-laki ini?” tanya Gian tanpa melepas perhatian dari layar.
Marisa mengangguk. “Dan aku mau mendapatkan informasinya segera.”
Gian mengalihkan perhatiannya dan menatap Marisa. Meski penasaran kenapa Marisa menyuruhnya melakukannya, tapi demi cintanya ia tak akan bertanya.
“Baiklah. Jika aku berhasil, kau harus jadi pacarku.”
Marisa memutar bola mata malas. “Ya, ya, terserah kau saja.”
Marisa sengaja memanfaatkan Gian. Setidaknya ia tidak perlu merogoh kocek untuk menyewa orang mencari tahu siapa Arsa sebenarnya. Meski Gian kaya, tapi pria itu bukan seleranya. Pria itu anak pejabat, meski memiliki usaha resto, baginya itu belum cukup. Marisa ingin menjalin hubungan dengan pengusaha kaya raya yang bisa menjamin hidupnya hingga tujuh turunan.
“Dasar bodoh,” batin Marisa. Ia tidak bersungguh-sungguh memberi Gian kesempatan. Ia tidak ingin menjalin hubungan dengan anak pejabat, tak ingin terlibat jika ayahnya terseret kasus korupsi.
***
Aria menatap pantulan wajahnya di cermin. Saat ini ia akan bersiap pergi menghadiri sebuah acara sesuai yang Arsa katakan kemarin.
“Nona, Tuan sudah menunggu,” ujar ajudan setia Arsa.
“Ah, i- iya, baiklah,” jawab Aria. Ia berusaha mematut wajahnya semampu yang ia bisa meski hanya bermodalkan pelembab bibir dan bedak. Ia tidak ingin terlihat benar-benar memalukan dan kampungan.
Aria bergegas keluar kamar menyusul Arsa yang telah menunggu di mobil. Kadang ia berpikir, padahal Arsa bisa meminta ajudan setianya menemaninya dan membantunya melakukan apapun, tapi pria itu tetap ingin ia yang melakukannya.
“Maaf, membuatmu menunggu,” ucap Aria setelah ia memasuki mobil. Ia duduk di samping Arsa di kursi penumpang.
Arsa hanya diam bahkan sama sekali tidak menoleh. Hingga tak lama kemudian, mobil yang dikemudikan ajudan Arsa pun pergi meninggalkan kediaman.
Aria merasa begitu gugup. Ia harap ia tidak melakukan kesalahan nanti. Kegugupannya semakin menjadi saat mobil berbelok memasuki sebuah area parkir dan berhenti.
“Nona, mari ikut saya,” titah ajudan Arsa.
“A- aku?” gumam Aria kemudian menoleh pada Arsa yang tetap tenang. Tak ingin bertanya, ia pun turun dari mobil dan ditemani ajudan Arsa berjalan memasuki bangunan lantai 2 di hadapan.
Arsa sengaja membawa Aria ke salon bukan memanggil MUA ke rumah karena tidak suka menerima tamu asing di rumahnya meski tamu untuk merias Aria. Cukup Aria orang asing yang ia perbolehkan menginjakkan kaki di rumahnya bahkan tidur satu ranjang dengannya.
Sesampainya di dalam, ajudan Arsa meminta seorang wanita merias Aria. Menjadikan Aria gadis berbeda dan menujukkan aura cantik alaminya.
“Tenang saja. Serahkan saja padaku,” ucap perias tersebut dan segera menuntun Aria duduk.
“Hm, dia sudah cantik. Hanya butuh sedikit polesan,” gumam perias tersebut seraya memperhatikan Aria.
Aria hanya diam tanpa berani bertanya atau mengatakan apapun. Sekarang ia merasa sia-sia sudah dandan sebelumnya karena pada akhirnya Arsa menyuruh orang meriasnya. Akan tetapi, ia sadar, riasannya memang belum pantas untuk sekelas pergi acara besar.
Di luar, Arsa tetap duduk di mobil menunggu dengan tenang.
“Tuan, apakah anda ingin menunggu di dalam?” tanya ajudan Arsa yang kembali untuk menjemput jika Arsa ingin menemani Aria. Namun, Arsa menolak dan mengatakan tetap menunggu di mobil.
Arsa berpikir tak berguna juga dirinya menunggu di dalam, toh ia tak bisa melihat proses Aria menjadi Cinderella. Ia buta.
Setelah menunggu cukup lama, Aria kembali ke mobil dengan penampilan yang berbeda. Wajahnya telah dirias sedemikian rupa, rambutnya telah ditata. Kini ia ia menjelma menjadi seorang putri menawan.
Aria sempat terkejut melihat wajahnya setelah selesai dirias. Ia tak mengira bahwa dirinya juga bisa menjadi cantik. Ia pun menoleh menatap Arsa dan berharap pria itu memuji dirinya. Namun, ia sadar, Arsa tak bisa melihat. Mau ia berubah menjadi putri dari kayangan pun, Arsa tak bisa melihatnya.
“Kau cantik.”
Aria yang perlahan tertunduk, seketika kembali mengangkat kepala menatap Arsa dengan mata melebar. Ia terkejut mendengarnya, berpikir apa mungkin Arsa bisa melihatnya?
“Robi memberitahuku bahwa kau sangat cantik.”
Dan kalimat Arsa itu mematahkan harapan Aria.
“Te- terima kasih.”
Hampir satu jam kemudian, mobil Arsa berhenti di parkiran sebuah gedung. Aria dan Arsa pun keluar dari mobil dan berjalan memasuki gedung tersebut.
“Tidak usah gugup,” kata Arsa merasakan tangan Aria berkeringat dingin.
Aria hanya mengangguk meski ia tak bisa menghilangkan rasa gugup. Rasa gugupnya pun semakin menjadi saat memasuki ruang acara di mana sudah terdapat banyak tamu undangan. Ia pun merasa seluruh pasang mata tertuju ke arahnya.
“Jangan menundukkan kepalamu,” ujar Arsa yang seketika membuat Aria menatap ke arahnya. Bagaimana bisa Arsa tahu? pikirnya.
“Anggap saja orang-orang itu hanya sampah.”
Tepat setelah mengatakan itu, tanpa sengaja Aria menabrak seorang tamu. Ia berjalan tanpa memperhatikan karena perhatiannya tertuju pada Arsa yang berbicara.
“Hei! Di mana matamu?!” bentak tamu laki-laki itu. Usianya sekitar 40 tahunan dan memiliki wajah garang. Nyali Aria pun seketika menciut.
“Ma- maaf, aku- aku tidak sengaja. Maafkan aku,” ucap Aria di mana ia tampak ketakutan. Tubuhnya pun sampai gemetaran dan Arsa dapat merasakannya.
Pria paruh baya itu memperhatikan Aria dengan seksama. Ia baru menyadari orang yang menabraknya lumayan cantik. Ia pun merapikan kerah jasnya dan mengatakan, “Ehm, tidak apa-apa. Lain kali kau harus lebih berhati-hati. Ngomong-ngomong, perkenalkan namaku Hari Harsa, direktur utama HSK. Siapa namamu?”
Pria itu mengulurkan tangannya, mengajak Aria bekenalan seakan tak melihat keberadan Arsa yang berdiri di samping Aria.
“Dia istriku.”
Perhatian pria itu baru teralihkan saat Arsa membuka suara. Meski Arsa tak dapat melihat, ia mendengar dengan jelas seorang pria mengajak istrinya berkenalan.
Pria bernama Hari itu memperhatikan Arsa dengan seksama kemudian mengangkat dan menggoyangkan tangannya di depan wajah Arsa.
“Orang buta ini suamimu?” tanyanya bernada sarkas.
Aria menatap Arsa sekilas dan mengangguk sebagai jawaban.
“Haish, bagaimana bisa kau mau dengan lelaki buta sepertinya? Meski dia tampan, tapi dia buta. Dia pasti tidak bisa melakukan apa-apa.”
Rahang Arsa mengeras, tangannya pun terkepal kuat. Ia marah, andai saja ia bisa melihat pasti kepalan tangannya sudah melayang ke wajah pria itu.
Aria yang dapat merasakan kemarahan Arsa berusaha menenangkannya, menggenggam tangan Arsa kuat-kuat lalu mengajaknya pergi.
“Ma- maaf. Aku sangat minta maaf sudah menabrak anda. Tapi … kami permisi,” ucap Aria dan segera membawa Arsa pergi meninggalkan Hari.
“Ck, dasar sombong. Bagaimana bisa mereka membiarkan orang buta datang ke acara ini?” gumam Hari menggerutu. Ia kesal Aria mengabaikannya bahkan memilih pergi tanpa memberinya kode. Ia pikir Aria sama seperti wanita lain yang akan tergoda mendengar ia adalah seorang direktur.
Aria terus melangkah mencari kursi kosong. Ia pun menemukannya, berada di sisi ruangan tak jauh dari panggung.
“Maaf, itu semua salahku,” ucap Aria setelah ia duduk.
Arsa hanya diam, ia masih tenggelam pada kekesalannya. Ia marah pada Hari juga pada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian acara pun dimulai. Acara itu merupakan acara penyambutan pemilik LG yang baru. Acara khusus yang diadakan untuk memperkenalkan Arsa pada semua orang, pada para kolega LG bahwa ia adalah penerus sekaligus pemilik LG yang baru menggantikan ayahnya yang telah meninggal.
“Jadi, marilah kita sambut penerus sekaligus pemilik Leon Group yang baru, beliau adalah Tuan Arsa Leon Devanka.”
Suara tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan di mana semua orang terlihat celingak-celinguk tak sabar menunggu kehadiran tamu utama.
Aria yang terkejut saat pembawa acara memanggil Arsa, terlihat semakin gugup saat Arsa memintanya membawanya ke atas panggung.
Arsa menggenggam tangan Aria dan memberinya usapan lembut dengan ibu jarinya seakan memberi Aria sedikit ketenangan.
“Tidak apa-apa, tidak perlu gugup,” ujar Arsa.
Aria menatap Arsa dengan pandangan tak terbaca kemudian mengangguk lemah.
“Dia percaya padamu, Aria. Jangan mengecewakannya,” ucap Aria dalam hati untuk menyemangati diri sendiri. Ia pun kemudian menuntun Arsa naik ke atas panggung.
Suasana sempat hening saat Arsa menaiki panggung. Semua orang terkejut karena penerus sekaligus pemilik LG yang baru adalah seorang pria buta.
Di sisi lain, salah seorang tamu tak berhenti memperhatikan Arsa saat melihatnya berjalan dibantu seorang wanita ke atas panggung. Dan orang itu adalah, Gian.
“Dia … bukankah dia pria itu?”