Aria menatap takjub pada rumah besar di hadapannya. Rumah itu begitu megah dan besar, halamannya juga begitu luas. Rumah itu bak istana dan itu adalah rumah Arsa.
“Ini … rumahmu?” tanya Aria seraya menoleh menatap Arsa dari samping kemudian kembali menatap bangunan indah di hadapannya. Seperti yang Arsa katakan semalam, pria itu mengajaknya pergi ke suatu tempat dan siapa kira, tempat yang dimaksud adalah rumah utamanya yang berada di ibu kota.
“Ini rumah utama, rumah peninggalan ayah dan ibuku. Dan rumah yang kemarin kita tempati hanya salah satu rumah yang aku miliki,” ungkap Arsa.
Aria tak bisa mengalihkan pandangan dari Arsa. Ini semua seperti mimpi.
“Kau tidak ingin masuk?” ucap Arsa membuat Aria tersentak dari lamunan. Aria tenggelam dalam lamunannya memikirkan status Arsa yang tak pernah ia kira.
”I- iya, ba- baiklah.” Dengan langkah pelan Aria menuntun Arsa menaiki beberapa anak tangga yang membawanya ke teras yang luas. Dan saat hampir mencapai pintu yang besar dan tinggi, pintu itu terbuka dari dalam dan di sana, sudah berdiri beberapa orang yang menyambut.
“Selamat datang kembali di rumah, Tuan,” sambut 4 orang wanita berpakaian maid juga 2 pria berpakaian serba hitam saat Aria dan Arsa masuk ke dalam rumah.
Keenam orang itu berdiri di sisi kanan dan kiri dan menundukkan kepala sebagai bentuk hormat pada Arsa, sang majikan.
Aria menghentikan langkah di antara masing-masing 3 orang yang berdiri di sisi kanan dan kirinya. Ia merasa seperti seorang putri raja yang disambut oleh para ajudan setia. Selesai mengagumi penyambutan yang diterimanya, pandangannya mengedarkan ke segala arah. Rumah itu begitu luas dan besar, interiornya juga menyilaukan mata. Aria yakin, nilai interior di ruang tamu sendiri lebih dari puluhan juta.
“Sudah siapkan kamarku?” ucap Arsa pada para pelayan di rumahnya.
“Sudah, Tuan. Sesuai permintaan Tuan, kami sudah menyiapkan kamar anda di lantai bawah,” jawab salah seorang pria yang merupakan kepala pelayan di rumah itu. Pria itu bernama Jonathan, berusia 50 tahun dan sudah mengabdi pada kedua orang tua Arsa sebelum Arsa lahir.
“Mari.” Jonathan mempersilakan Arsa dan Aria menuju kamar yang sudah disiapkannya. Arsa sengaja meminta Jonathan memindah kamarnya yang sebelumnya di lantai 2 mengingat kondisinya sekarang.
Aria berjalan bersama Arsa di belakang Jonathan. Selama berjalan Aria tak berhenti menatap kagum pada setiap sudut rumah yang dilewatinya.
“Rumah ini … sangat besar,” ucap Aria seolah tanpa sadar.
“Kau menyukainya?” sahut Arsa.
“Aku tak bisa berhenti kagum dan takjub. Rumah ini seperti istana,” balas Aria sesuai apa isi hati dan pikirannya.
“Kau bisa tinggal di sini bahkan memilikinya.”
Seketika Aria menghentikan langkahnya dan menatap Arsa dari posisinya.
Arsa setengah menoleh. “Ada apa?” tanyanya.
Aria hanya diam masih tenggelam dalam pikiran. Ia tak mengerti kenapa Arsa mengatakan hal itu seakan pria itu berniat memberikan rumah itu padanya.
“Ke- kenapa kau bilang begitu?” tanya Aria dengan suara pelan.
“Kau adalah istriku, milikku adalah milikmu. Jadi, rumah ini juga adalah rumahmu.”
Aria tertegun hingga terpaku. Bagaimana bisa Arsa berpikir semudah itu?
“Tuan, Nyonya.”
Aria tersentak mendengar panggilan Jonathan. Pria itu telah berdiri di depan sebuah kamar dengan pintu bercat putih. Ia pun kembali melanjutkan langkahnya menghampiri Jonathan.
“Ini kamar anda, Tuan,” ucap Jonathan saat membuka pintu kamar baru Arsa.
Untuk kesekian kalinya lagi-lagi Aria dibuat kagum. Kamar Arsa begitu luas dan rapi, luasnya lebih dari luas kamar mereka di rumah sebelumnya.
“Kau boleh pergi,” perintah Arsa pada Jonathan saat ia dan Aria telah memasuki kamar.
“Baik, Tuan,” sahut Jonathan kemudian keluar kamar dan menutup pintu. Kini, di kamar itu hanya ada Arsa dan Aria di mana Aria kembali mengedarkan pandangan ke setiap penjuru ruangan.
“Kamar ini benar-benar luas,” gumam Aria takjub. Bukan hanya luas, kamar itu juga begitu rapi dan beraromakan mint.
“Kau boleh berkeliling jika kau mau. Aku akan menyuruh Jhonatan menemanimu,” ujar Arsa.
“A- apa? Ti- tidak perlu,” sahut Aria. Jika Arsa yang menemaninya, mungkin ia akan menpertimbangkannya. Hanya saja, Arsa tak bisa melihat, jika berkeliling hanya berdua bisa-bisa ia tersesat.
Tiba-tiba perhatian Aria tertuju pada jendela yang tertutup. “Aku akan membuka jendela,” ucapnya kemudian mengambil langkah. Disibaknya gorden kemudian membuka jendela besar itu. Dan hal pertama yang ia saksikan adalah, indahnya taman yang dipenuhi tanaman dan bunga. Aria pun terpaku menatap luasnya taman serta berbagai tanaman dan bunga yang ada.
“Ini … indah sekali,” gumam Aria.
Arsa berjalan berniat menyusul Aria berbekal pendengarannya yang tajam. Kedua tangannya terulur ke depan sebagai sensor serta tameng jika terdapat sesuatu di depannya.
Aria menoleh, dan melihat Arsa hampir menabrak ranjang, ia segera menghentikannya.
Aria meraih tangan Arsa dan menggenggamnya. “Aku di sini,” ucapnya.
“Apa kau menemukan sesuatu yang menarik perhatianmu?”
Aria mengangguk dan menoleh ke arah jendela kemudian mengajak Arsa melangkah. “Taman itu benar-benar indah,” ucap Aria memberitahu Arsa apa yang membuatnya takjub.
“Taman itu milik ibuku. Saat ibuku masih hidup, beliau yang merawat bunga dan tanaman-tanaman itu,” ujar Arsa.
“A ….” Hanya gumaman tak jelas yang lolos dari mulut Aria di mana ia tak melepas pandangan dari cantiknya bunga di taman itu yang memukau. Namun, tiba-tiba saja raut wajahnya berubah sendu.
“Dulu ibuku juga memiliki taman kecil di belakang rumah. Tapi, sekarang sudah tidak ada. Aku tidak memiliki waktu mengurus bunga-bunga milik ibuku bahkan taman itu telah ayah Hengki ubah menjadi kolam,” ujar Aria disertai senyum miris. Ia merasa bersalah pada ibunya karena tak bisa menjaga peninggalan kesayangannya. Tapi, saat itu ia tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Hengki berbuat semaunya.
“Ingin melihatnya lebih jelas?”
Tak berapa lama kemudian, Aria dan Arsa telah berada di taman tersebut. Arsa duduk di ayunan sementara Aria memperhatikan setiap jenis bunga yang ada. Ada sekitar 10 jenis anggrek, 15 jenis bunga mawar, serta banyak lagi.
“Ibu Arsa pasti sangat menyukai bunga,” gumam Aria.
Tiba-tiba perhatian Aria jatuh pada bunga mawar floribunda berwarna merah. Ia terpukau hingga seolah tanpa sadar tangannya terulur ingin memetiknya setangkai. Ia seakan sampai terlupa jika bunga itu memiliki duri.
“Ahsss!” Aria memekik pelan saat jari telunjuknya tertusuk duri bunga nan cantik itu. Alhasil, setitik darah pun timbul.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Arsa mendengar pekikan ringan Aria.
Aria berjalan menghampiri Arsa, duduk di samping Arsa membuat ayunan itu sedikit bergoyang. “Tertusuk duri mawar. Aku seperti terhipnotis, mawar itu begitu cantik,” ujar Aria dengan menatap jari telunjuknya.
“Ceroboh. Berikan tanganmu,” perintah Arsa.
Aria menatap Arsa dengan kedipan mata pelan. Namun, tetap menuruti perintahnya dengan mengangkat tangannya di depan wajah suaminya itu.
Tangan Arsa terangkat dan berhasil menggenggam tangan Aria. “Jari mana yang terluka?”
“Jari … telunjuk.”
Tepat setelah Aria menjawab, Arsa memasukkan telunjuk Aria ke dalam mulutnya, mengulumnya dan menghisapnya kemudian meludah setelah merasakan rasa asin dari darah yang keluar.
Mata Aria melebar, degup jantungnya bergemuruh tak dapat dikendalikan, terlebih, saat Arsa mengulangi apa yang ia lakukan.
Arsa kembali meludah setelah isapan keduanya. “Apa masih mengeluarkan darah?” tanya Arsa.
Aria terdiam tak segera menjawab. Ia masih terkejut dengan apa yang Arsa lakukan. Ia baru tersadar saat Arsa hendak kembali mengulang apa yang dilakukannya.
“Su- sudah, darahnya sudah berhenti,” ucap Aria cepat dan menarik tangannya.
Aria tertunduk menatap jari telunjuknya di mana wajahnya tampak merah padam dan terasa panas hingga telinga. Padahal lukanya tak seberapa, darah yang keluar pun hanya setetes.
Jantung Aria berdegup kencang. Ia melirik Arsa lewat ekor mata dan kembali tertunduk dalam dengan menggenggam tangannya di depan d**a. Tindakan Arsa benar-benar membuatnya tak dapat berpikir jernih bahkan menatap Arsa sekedar dari samping membuatnya seakan ingin menjerit.