13. Seperti Bau Pandan

1936 Kata
Sekali lagi Aria dibuat takjub dengan pemandangan di depan mata. Saat ini ia berada dalam kamar mandi berniat memandikan Arsa. Bukan hanya kamar, kamar mandi yang berada dalam kamar Arsa pun luas dan memiliki fasilitas lengkap. Terdapat bak mandi besar yang bisa digunakan berendam 2 orang. Terdapat pula bilik berdinding kaca dengan shower air panas dan dingin. Dan terdapat pula bilik toilet berdinding kaca hitam dengan closet dari merk terkenal yang harganya mencapai puluhan juta. “Aku ingin berendam air dingin.” Aria tersentak, tersadar dari tenggelamnya pikiran. “Ah, i- iya,” sahut Aria kemudian menuntun Arsa masuk ke dalam bak mandi yang telah terisi air. “Pergilah. Jika sudah selesai aku akan memanggilmu.” “Ba- baik.” Aria mengangguk mengerti kemudian berjalan keluar dari kamar mandi. Aria tak tahu kenapa, padahal hawa di luar terasa dingin karena mendung tiba-tiba saja muncul. Tapi, Arsa justru ingin berendam air dingin. Aria mengenyahkan pikirannya itu dan memandangi seluruh isi kamar sampai tiba-tiba pandangannya jatuh pada sebingkai foto di atas nakas dekat jendela. Ia berjalan mendekat, mengambil foto itu yang mana merupakan foto Arsa bersama kedua orang tuanya. Dalam hati Aria memuji sosok kedua orang tua Arsa bahkan bergumam, “Sepertinya ketampanannya menurun dari kedua orang tuanya.” Ayah Arsa memiliki wajah tegas tapi tampan, sementara ibunya memiliki wajah cantik dan terlihat baik hati serta lemah lembut. Sementara itu dalam kamar mandi, Arsa menyandarkan punggungnya pada tepi bak mandi. Kedua tangannya terbuka, tersampir tepian bak mandi dan kepalanya menengadah menikmati sensasi dingin yang menusuk kulit. Tiba-tiba ingatan saat mengulum jari Aria terbersit membuat sesuatu yang mulai mengkerut setelah terkena dinginnya air, tiba-tiba kembali berdiri. Arsa pria normal, meski tak bisa melihat tapi ia bisa merasakan. Merasakan kecilnya jari Aria dan terasa sedikit kasar. Mungkin itu wajar karena selama ini Aria diperlakukan bak pembantu oleh ayah dan kakak tirinya. Arsa memejamkan mata dan kembali membuka matanya. Mau terpejam atau terbuka, tetap saja yang ada hanyalah kegelapan. Namun, dalam kegelapan itu terdengar suara Aria yang mengalun lembut. Deg! Arsa menekan dadanya saat merasakan getaran aneh di dalamnya. Jantungnya berdebar saat teringat suara Aria. Suaranya saat merasa takut, cemas, canggung, dan suaranya yang terdengar patuh setiap ia memintanya melakukan sesuatu. Sejak kapan? Sejak kapan Arsa merasakannya? Ia juga mulai memikirkan sesuatu yang tak seharusnya padahal sebelumnya bisa mengendalikan diri. Padahal, sebelum ia buta tingkat pertahanannya pada godaan wanita sangatlah sempurna, tapi saat ini ia merasa ada yang salah dengan diri dan tubuhnya. Tak lama kemudian, Aria memasuki kamar mandi setelah mendengar panggilan Arsa. Ia sengaja membiarkan pintu sedikit terbuka agar bisa mendengar panggilan Arsa dengan jelas. “Aku seperti … mencium bau sesuatu,” gumam Aria saat ia memberikan handuk pada Arsa. Meski kamar mandi itu begitu harum, tapi ia mencium bau sesuatu yang lain. Setelahnya ia membalikkan badan memberi kesempatan Arsa berdiri dari bak mandi untuk melilitkan handuk di pinggangnya. Arsa menelan ludah dan segera melilitkan handuk ke pinggang. “Hanya perasaanmu saja,” sahut Arsa. “Aku sudah selesai,” lanjutnya. Aria kembali berbalik kemudian membantu Arsa keluar dari bak mandi. Sepertinya memang hanya perasaannya saja mencium sedikit aroma bau pandan, pikirnya. Saat kembali ke kamar, Aria celingak-celinguk mencari lemari untuk mengambil pakaian ganti untuk Arsa. Namun, ia tidak menemukannya. Yang ia temukan hanya 2 pintu kaca es yang berada di sebelah sudut ruangan. “Apa bajumu disimpan di sana?” tanya Aria setelah membantu Arsa duduk di tepi ranjang. Alis Arsa berkerut. Mana ia tahu di sana mana yang Aria maksud. Ia tidak melihat apapun. “Pintu kaca es itu,” ujar Aria seakan tahu makna kerutan alis Arsa. Beberapa hari menghabiskan seluruh waktunya bersama Arsa membuatnya merasa mulai memahaminya walau hanya sedikit. Arsa mengangguk membuat Aria mengambil langkah menuju kaca es tersebut yang merupakan pintu walk in closet tempat seluruh baju, sepatu, serta aksesoris Arsa disimpan. Aria menggeser pintu kaca es tersebut dan hampir kembali menganga melihat isi di dalamnya. Ia menemukan banyak baju tergantung rapi. Puluhan sepatu juga tertata rapi dalam rak dan di sebelahnya terdapat etalase berisi puluhan jam tangan. “Aku juga sudah menyuruh Jonathan menyiapkan pakaianmu di sana.” Aria menoleh sekilas pada Arsa mendengar apa yang pria itu katakan. Kemudian perhatiannya tertuju pada baju-baju wanita yang tergantung rapi dekat jajaran puluhan kemeja dan jas Arsa yang tergantung. Aria mendekat memperhatikan baju-baju yang tergantung rapi itu dari dekat. Ada dress, kaos, celana panjang dan pendek serta rok, semua pakaian wanita lengkap ada di sana hingga under wear pun tersedia dan kesemuanya masih memiliki label. Merasa penasaran, Aria melihat beberapa label pakaian-pakaian itu dan terkejut saat melihat harganya yang rata-rata berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan. Aria mengambil sebuah dress bercorak bunga dan menempelkannya di depan tubuhnya. Tiba-tiba saja bibirnya bergetar disertai mata yang tampak basah. Ia merasa menjadi seperti Cinderella. Kehidupan menyedihkan dan menyakitkan yang selama ini ia alami, digantikan kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Seorang pangeran telah menyelamatkannya, membawanya ke dalam istana penuh kemewahan. “Sudah temukan pakaianku?” Aria tersentak. Ia segera mengembalikan dress yang ia ambil kemudian mengambil pakaian untuk Arsa. “Ma- maaf, membuatmu menunggu dan kedinginan,” ucap Aria saat telah berdiri di hadapan Arsa dengan membawa satu celana panjang dan sweater turtle neck warna abu tua untuk Arsa pakai. “Aku sudah menebak itu akan terjadi.” Aria terkejut mendengarnya. Namun, semburat kemerahan karena malu muncul menghiasi wajah. Arsa pasti sudah menebak bahwa ia akan kagum dan takjub dengan apa yang dilihatnya. Aria segera membuang muka saat Arsa mulai memakai celana dalamnya. “A- apa … semua pakaian-pakaian itu untukku?” tanya Aria yang sesekali melirik Arsa saat masih membuang muka. Bukan ingin mengintip, ia hanya ingin melihat jika Arsa sudah selesai, ia akan membantunya memakai celana. “Kau tidak menyukainya?” “A- apa? Ti- tidak. Bukan begitu. Aku hanya ….” Ucapan Aria menggantung. Bukan tidak suka, hanya saja ia merasa Arsa terlalu baik padanya dan memperlakukannya seperti seorang ratu. Ia takut perlakuan Arsa membuatnya salah paham, takut dirinya besar kepala karenanya. Ia tahu statusnya adalah istri seorang Arsa Leon tapi, tidak ada cinta di antara mereka. Mengakhiri pembicaraan itu, Aria membantu Arsa memakai celana juga sweater yang dipilihnya. Senyum simpul terpatri di bibir Aria setelah membantu Arsa memakai pakaian. Mau pakai baju seperti apa, formal maupun non formal, Arsa selalu terlihat tampan dan keren di matanya. Aria segera membalikkan badan saat merasakan wajahnya terasa panas. Jantungnya pun berdebar-debar. “Apa yang kau pikirkan, Aria?!” teriak Aria dalam hati. Arsa berdiri dan menabrak tubuh Aria saat hendak melangkah. Ia tidak tahu jika Aria berdiri di tempat. Alhasil kini posisi mereka seperti Arsa memeluk Aria dari belakang. Jantung Aria kian bergemuruh merasakan tubuh mereka yang menempel meski hanya beberapa detik. “Kukira kau pergi,” ucap Arsa. Aria membalikkan badan perlahan dan tak berani menatap Arsa. “Ka- kau … mau ke mana?” tanyanya dengan sesekali melirik Arsa sekilas. “Keluar, memanggil Jonathan.” Aria hanya diam kemudian menggandeng tangan Arsa membawanya keluar kamar. Sesampainya di luar, Jonathan telah berdiri di depan pintu. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan, Nyonya?” tanya Jonathan dengan setengah membungkuk dan tangan kanan berada di depan d**a. “Antar aku ke sana.” “Baik, Tuan.” “Istirahatlah. Ada tempat yang ingin aku kunjungi,” titah Arsa pada Aria. Aria menatap Arsa dengan pandangan tak terbaca. Ia kira Arsa akan mengajaknya seperti yang sudah-sudah. “Kau … mau ke mana?” Arsa hanya diam dan mengulurkan tangan ke depan sebagai isyarat agar Jonathan membantunya. “Aku akan segera kembali.” Hanya kalimat itu yang Arsa ucapkan sebelum ia melangkah pergi ditemani Jonathan. Aria tetap diam dalam posisi menatap punggung Arsa yang mulai menjauh. Ada sedikit rasa kecewa dalam d**a yang timbul. Namun, ia berusaha mengenyahkan pikiran itu. Ia merasa tidak berhak melarang Arsa pergi, tak berhak tahu apa yang Arsa ingin lakukan tanpa dirinya. Tak ingin semakin memikirkannya, Aria membalikkan badan dan kembali masuk ke dalam kamar. Di sisi lain di tempat lain, Marisa tak bisa berhenti memikirkan cara membalas Arsa, atau setidaknya menukar posisinya dengan Aria. Jika saja ia tahu siapa Arsa sebenarnya, ia akan dengan senang hati mau menikah dengannya. Arsa buta, jika ia menjadi istrinya ia bisa membodohi pria itu. “Aargh!” Marisa berteriak dan menggebrak meja. Ia benar-benar marah dan merasa begitu sial. Harusnya saat itu ia menyelidiki siapa Arsa sebenarnya. Sekarang, Aria pasti hidup dengan kemewahan, padahal harusnya ia yang ada di posisi itu. Prang! Marisa melempar gelas bekas minumnya membuatnya pecah dengan pecahan berserakan di lantai. Ia marah dan merasa iri dengan Aria berpikir harusnya ia yang berada di posisi Aria sekarang. “Marisa, apa yang kau lakukan?” Hengki datang karena mendengar suara benda pecah dan mendapati pecahan gelas berserakan. Ditatapnya Marisa dan mendapati putrinya itu dikuasai emosi terlihat jelas dari raut wajahnya. “Marisa tidak ikhlas, Yah! Harusnya Marisa yang menikmati kemewahan itu! Sekarang Aria pasti menertawakan kita, dia sekarang jadi istri konglomerat!” teriak Marisa. Ia seakan membayangkan Aria tertawa mengejek padanya, mengejeknya yang begitu bodoh telah menyiakan lelaki kaya raya seperti Arsa. Menertawakannya yang meski mendapatkan rumah dan seluruh aset ibunya, tapi ia hidup lebih bergelimang harta darinya. Hengki hanya diam di mana ia tampak memikirkan sesuatu. “Kenapa tidak mendatangi pria itu? Katakan saja kau menyesal dan bersedia menikah dengannya sebagai bentuk tanggung jawabmu. Bagaimanapun, dia buta karenamu, sejak awal kau lah yang ingin ia nikahi agar kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Katakan saja padanya kau menyesal dan telah menyadari kesalahanmu,” saran Hengki. Ia juga tak rela jika Aria hidup bahagia. Meski ia menang telah merebut semua milik Aria, sama saja ia kalah saat Aria telah hidup lebih darinya. Marisa hanya diam memikirkan saran yang ayahnya berikan. Ayahnya benar, ia tinggal bersandiwara dan berakting untuk membodohi Arsa. Lagipula pria itu buta, pasti tak akan sadar jika ia berpura-pura. “Apa ayah yakin, cara itu akan berhasil?” “Kita tidak akan pernah tahu jika tidak mencoba. Jika dia menerimamu, kita tinggal menyingkirkan Aria. Ayah yakin daripada bersama pria itu, Aria akan lebih memilih rumah ini dan segala peninggalan milik ibunya.” “Tapi, bagaimana jika pria itu menolak?” “Ayah tidak tahu pasti tujuannya ingin menikahimu sejak awal, tapi ayah pikir dia ingin membalas dendam sebab dia buta karena dirimu. Jika dia masih memiliki keinginan itu, dia pasti akan menerimamu. Tapi, apa yang bisa pria buta itu lakukan? Kita bisa membalik keadaan. Jika dia punya orang suruhan, kita juga bisa melakukannya, kita bisa menghasut orang suruhan atau kepercayaannya berpihak pada kita. Jika kau menikah dengannya, mengorbankan satu saja perusahaannya untuk menyingkirkannya tetap membuat kita kaya.” Hengki mengatakan kalimat panjang itu dengan mudah, seakan semua itu bisa terlaksana sesuai keinginannya. Ia tak berpikir meski Arsa buta, kebutaannya itu sama sekali tak membuatnya bodoh. Marisa tampak berpikir, menimbang-nimbang saran yang ayahnya berikan. Sampai tiba-tiba seringainya pun merekah. “Baiklah, aku akan melakukannya. Akan kubuat dia percaya padaku bahwa aku benar-benar menyesal. Dan saat kami menikah, bukan dia yang akan membalas dendam, tapi aku yang akan menguasai keadaan dan akan menguasai seluruh kekayaannya.” Kelakar tawa Marisa terdengar setelah mengucapkan kalimat terakhir. Sama seperti ayahnya, dirinya terlalu menganggap enteng Arsa karena pria itu buta. Ia lupa perbuatan kasarnya pada Arsa, lupa setiap hinaan dan cacian yang diberikannya. Mengingat apa yang telah ia lakukan, mungkinkah Arsa sudi menerimanya? Marisa terlalu terobsesi dan iri melihat Aria tampil sempurna dengan memakai gaun mahal nan cantik. Ia tidak ingin kalah dari Aria, harus jauh tinggi di atas Aria dan menjadikan Aria alas kakinya untuk ia injak-injak. “Kau hanya alsa kakiku, Aria, selamanya akan menjadi alas kaki yang tak berguna,” gumam Marisa disertai seringai bengis di bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN