PART 16 - PLAYBOY

1914 Kata
“Kalian saling kenal?” mbak Bella menatapku dan Ryuzaki bergantian. “Iya, kami beberpaa kali bertemu ya.” ujar Ryuzaki. Dapat kurasakan tangan Dewi menyenggol pinggangku. Aku menoleh kearahnya, dia tanpak ingin mengatakan sesuatu dengan mimik wajahnya, namun tidak aku pahami. “Oh ya, kami mau makan malam. Kalian mau ikut?” mbak Bella mengajak aku dan yang lainnya untuk bergabung bersamanya dan Ryuzaki. “Tidak usah mbak, kami harus buru-buru saat ini.” balas Dewi tiba-tiba. Aku tak paham mengapa ia menolak ajakan itu, padahal aku sangat ingin ikut makan bersama mbak Bella dan Ryuzaki. “Oh baiklah kalau begitu, mungkin lain kali ya. Kami pergi dulu.” Balas mbak Bella dengan senyuman manisnya. Mbak Bella terlihat sangat cantik malam ini bahkan lebih cantik dari saat aku bertemu dengannya terkahir kali. Ia menggunakan dress pendek diatas lutut berwarna putih tanpa lengan. Kainnya tampak ringan dan tampak begitu pas ditubuhnya. Kulitnya yang putih dan bersih terlihat semakin indah berpadu dengan pakaian yang ia kenakan. Ryuzaki berbalik sebentar dan menatapku. Ia melemparkan senyumannya padaku, akupun membalas senyumannya dan ia membalikan pandangannya lagi. "Wuah, cantik cewek yang tadi." ujar kak Andi saat mbak Bella dan Ryuzaki sudah menghilang di antara kerumunan orang. "Walau banyak wanita cantik, dihatiku cuma ada dek Mala. " ujar mas Tomo. "Belajar gombal dimana kamu Tom? Gak cocok tau gak, bikin geli dengarnya.” kak Andi mengusap lengannya menunjukan ekpresi kegelian. “Lah biarin, daripada kamu tidak ada yang digombalin.” balas mas Tomo. "Kalian apaan sih. Yuk kita makan aja, aku sudah laper nih. " ungkap Dewi sambil memegang perutnya. Kamipun pergi mencari tempat makan yang pas dengan mau kami. "Lewat sini aja." Dewi mengajak kami untuk berjalan berlawanan arah dengan jalan yang dilewati mbak Dewi dan Ryuzaki. Aku berpikir , mungkin dia tahu tempat makan yang enak dan murah. *** "Kenapa Mal? " Dewi naik keatas ranjang setelah membersihkan maskernya dan berbaring disebelahku.   "Gak ada Wi. " "Bohong. Kamu pikirin cowok Jepang itukan?" “Iya.. Aku memikirkannya.. Entah mengapa aku merasa begitu terikat padanya. Pria yang bahkan tak ku tahu nama lengkapnya.” pikiran ini cukup aku saja yang tahu. "Sudah lupain aja, dia sudah punya pacar. Cantik banget juga, sebelas duabelaslah cantiknya sama aku. " "Oh ya, siapa nama cowok Jepang itu, Mal?” tanya Dewi. “Ryuzaki.” jawabku. “Kalau dilihat-lihat ya Mal, si Ryuzaki itu ganteng, fisiknya juga oke, tipe-tipe yang seperti ini harus kamu waspadai, Mal. Pacarnya pasti banyak disana sini. Jadi  sudah kamu sama mas Toko saja. Dia cakep iya, baik iya, pinter iya, suka kamu juga iya. " Aku hanya diam saja tak membalas ucapan Dewi. Sepupuku ini sepertinya sudah menjadi pendukung  sejati mas Tomo  yang sangat berusaha agar aku dan mas Tomo dapat bersama. “Hati-hati aja Mal, siapa tau dia playboy.” lanjut Dewi. Dia sudah berbicara begitu banyak malam ini, dan mulai mengatakan hal-hal yang tak kupahami. “Play apa?” tanyakku pada Dewi. “P-L-A-Y-B-O-Y, Mala. Playboy.” Dewi mulai mnegeja kata yang terdengar asing untukku itu dan juga mempertegas ucapannya. “Playboy apaan Wi?” aku benar-benar tidak familiar dengan kata-kata yang masih baru ditelingaku ini. “Oh my God, sepupuku yang cantik. Playboy itu julukan buat pria-pria yang suka bermain-main aja sama cewek. Intinya suka mempermainkan perasaan cewek begitu, terus ceweknya banyak dimana-mana.” jelas Dewi. “Masa dia seperti itu? Kan kamu sendiri yang biilang ke aku kalau ketemu cowok harus ajak kenalan.” aku bukannya mau membela Ryuzaki, tapi akan lebih baik untuk tidak menuduh seseorang tanpa bukti yang pasti dan jelas. “Itukan dulu, Mal. Kamu terlalu polos jadi cewek, aku takutnya kamu gampang ditipu nanti sama cowok gak benar. Lebih baik sama yang benar-benar bisa jagain kamu aja.” Dewi memelankan suaranya, ia sepertinya terjebak dengan ucapannya sendiri. “Lebih baik kita gak menilai orang kalau kita belum benar-benar kenal orangnya, Wi. Siapa tau Ryuzaki tidak seperti yang kamu pikirkan.” “Iya kamu benar. Tapi aku kenal cowok sudah banyak Mal, dari produk luar sama produk lokal sudah banyak yang deketin aku. Jadi aku ngerti banget cowok yang  keliatan cuma main-main aja. Aku ingat banget cara dia liatin kamu pas dia udah pergi sam ambak Bella itu, dia kan noleh tuh terus senyum. Sudah fix itu dia sedang coba membuat kamu semakin tertarik sama dia.” Dewi berbicara dengan begitu cepat bak penyiar radio hingga membuatku merasa seperti sedang mendengarkan siaran radio secara langsung. “Mungkin itu kan hanya bentuk keramahannya dia aja ke aku, Wi.” “Aduh, capek aku ngomong sama kamu. Kamu gak ngerti-ngerti juga ucapnku.” Dewi memutar tubuhnya membelakangiku. Dia pasti merasa kesal padaku. Aku bukannya tidak mengerti ucapannya Dewi, aku hanya merasa bahwa Ryuzaki pria yang baik dan sedang berusaha untuk bersikap ramah padaku. Itu saja. "Oh ya, hampir aja lupa. Tadi mas Tomo bilang sesuatu gak saat kalian berdua didalam Biang Lala? "Dewi tiba-tiba membalikan tubuhnya kearahku.  "Ada." jawabku singkat sambil memperbaiki bantal kepalaku. "Dia bilang apa? " balas Dewi dengan cepat. "Dia bilang mau tunggu aku." Dewi bangkit dari tidurnya, membuat kasur kami bergetar. Ia kini duduk sambil menatapku. "Memangnya kamu bilang apa sampai dia bilang begitu?" "Aku bilang kalau aku mau fokus pada kuliahku saat ini. " kutatap Dewi dengan lesu, ini sudah pukul 10 malam, namun kantuk tak kunjung datang, malah lesu yang kurasa, mungkin ini efek karena tadi aku makan tidak sebanyak biasanya. "Tunggu... Tunggu... Jadi cerita awalnya bagaimana? Coba ceritain ulang? " Dewi memeluk bantalnya sambil menatapku penasaran. Dia tanpak seperti seorang anak yang sedang menunggu ibunya yang akan berdongeng untuknya. "Ya, mas Tomo ungkapkan perasannya ke aku terus kujawab kalau aku saat ini mau fokus belajar dulu. Begitu. " ungkapku jujur. "Oh... Terus dia bilang mau tunggu kamu sampai kamu siap berhubungan sama dia? Begitukah? " "Iya. Sudah ya Wi. Aku mau tidur aja. Sudah ngantuk. " aku benar-benar tidak ingin membahas hal ini, jadi lebih baik aku tidur saja. "Tunggu dulu Mal, satu lagi aku mau tanya." "Lain kali aja dibahas, Wi. " tolakku lalu cepat-cepat menarik gulingku dan menutup wajahku. Dewi menarik guling yang kupeluk dan menatapku dengan wajah memelasnya. "Satu aja, Mal. Lagi satu aja aku mau tanya... " "Ya udah, apa lagi? " aku tahu mungkin menolak Dewi karena ia mungkin akan melakukan ini sepanjang malam. Terus menerus memaksaku bercerita. "Oke, jadi kamu sebenarnya ada rasa gak sih sama mas Tomo? "  Dewi mendekatkan tubuhnya disebelahku. "Mas Tomo orang yang sangat baik, dia juga perhatian orangnya. Aku menyukainya tapi sebagai seorang kakak, tidak lebih Wi. " aku menghembuskan nafasku usai mengungkapkan perasaanku. Kalau mas Tomo mendengar ini mungkin  dia akan terluka. "Apa mungkin suatu saat kamu bisa menyukainya, Mal? Suka seperti layaknya wanita menyukai pria." tanya Dewi lagi. "Mungkin, tapi entahlah, Wi. Hanya waktu yang bisa menjawab." aku baru tersadar Dewi sudah bertanya lebih dari satu pertanyaannya. "Terus, kalau.... "  belum usai Dewi mengucapkan kalimatnya, aku segera memotongnya dengan cepat. "Sudah Wi. Katanya cuma 1 pertanyaankan. " kurebut gulingku ditangan Dewi dan segera memeluknya erat. "Ehm... Iya deh, iya." Dewi akhirnya berhenti juga berbicara dan berbaring disebelahku. Tak lama kemudian kudengar suara hembusan nafasnya yang cukup berat. "Akhirnya dia tidur juga... " pikirku. Dewi memang bisa tidur sangat cepat, saat awal-awal sekamar dengannya, aku sering dibuat berbicara sendiri  karena tidak menyadari bahwa ia sudah duluan tidur. Dia memang benar-benar gadis bantal.   *** Seperti biasa, hari ini aku sibuk di Home Stay. Hari ini ada seorang tamu yang komplain mengatakan air wastafel dikamarnya tidaklah lancar, alhasil pamanku sibuk mencari tukang pipa air karena tukang pipa air langganannya sedang sibuk mengurus pekerjaan lainnya. “Mal, mau ikut paman? Paman mau cari tukang service untuk perbaikan wasttafel dikamar tamu.” ajak pamanku. “Bli, aku ikut paman ya.” aku meminta ijin pada bli Komang dan segera bergegas mengikuti pamanku yang telah menunggu di parkiran Home Stay. Kamipun mulai mencari tukang service pipa air terdekat yang masih ada didaerah Kuta. “Katanya sih didekat sini ada.” ujar pamanku. Paman menggunakan kecepatan motor yang paling rendah  hingga orang yang berlaripun bisa menyalip motor kami. Sepanjang jalan aku tidak melihat apapun yang menunjukan ada tulisan service pipa air. “Apa kita gak ke PLN aja paman?” aku berpikir mungkin petugas PLN bisa membantu. “Gak usa. Ini juga masalahnya disambungan pipanya, Mal. Dulu sempat diperbaiki, sepertinya kumat lagi penyakitnya.” cerita pamanku. “Oh…” aku kembali menfokuskan pandanganku mencari tukang service pipa, namun yang tanpak didepanku hanya deretan resto, kafe dan toko lainnya yang tidak ada hubungannya dengan perpipaan. “Harusnya sih didekat sini ada, Mal. Tadi paman tanya teman katanya didekat sini ada yang bisa service.” pamanku mengentikan motornya dipinggir jalan tepat didepan sebuah salon yang tanpak sedang banyak pengunjungnya karena ada sekitar tujuh motor terparkir didepannya. Paman mengeluarkan handphone milkinya. Ia tanpak sibuk menekan-nekan tombol handphonenya. “Sebentar paman coba telepon teman paman lagi ya.” ujar pamanku lalu menaruh hadphonenya diatas telingannya.  “Ini teleponnya tidak diangkat-angkat” kata pamanku setelah cukup lama mencoba menelpon temannya. Ia kembali menekan tombol-tombol handphonenya dan mencoba untuk menelpon lagi.  Aku masih sibuk menatap sekelilingku, kupehatikan jalan pertigaan yang berada tak jauh dari tempaku dan paman berhenti saat ini. Seketika saat aku mengedipkan mata,  saat itu juga apa yang kulihat saat ini tanpak berbeda. Aku dapat melihat jelas dijalan pertigaan dekatku namun kini atmosfirnya berubah menjadi jingga. Aku sepertinya melohat potongan masa depan lagi. Aku melihat ada segerombolan anak-anak SMP yang sepertinya baru pulang sekolah. Ada enam anak yang laki-laki yang badannya berukuran tidak terlalu besar sedang berjalan bersama dan tanpak sedang bersenda gurau. Mereka terlihat ingin menyebrang jalan. Saat hendak menyebrang, dua anak berlari dengan cepat meninggalkan teman-temannya yang lain dibelakang tanpa memperhatikan jalanan dari arah timur. Nafasku tercekat saat melihat sebuah mobil open cup berwarna putih melaju kencang dari timur dan akan menabrak dua anak yang berlari duluan tadi. Ya Tuhan… Aku menutup mataku tidak berani sekaligus tidak tega melihat kejadian itu. Saaatku membuka mata, keadaan sudah berubah menjadi normal seperti biasanya. Aku sudah kembali ke masa ini. Tanganku bergetar melihat hal itu, bagaimana tidak, aku seperti baru saja melihat anak nyaris kecelakaan dan mungkin bisa terbunuh karena itu. Aku segera turun dari motorku dan hampir lupa bahwa paman bersamaku. “Mal, mau kemana?” tanya pamanki yang masih tanpak sibuk mencoba menghubungi temannya. “Mala, kesana ya, mau coba cari tukang servicenya.” jawabku mencoba setenang mungkin. Aku menyembunyikan telapak tanganku yang masih bergetar kebelakang agar tidak terlihat oleh pamanku. “Oh, iya. Hati-hati ya. Kamu jangan pergi terlalu jauh.” ucap pamanku. “Iya.” Aku segera menyebrang jalanan dan berjalan menuju deretan toko  yang berada didekat pertigaan jalan yang cukup ramai dilalui kendaraan ini. Aku melihat sekelilingku mencoba mencari anak-anak SMP yang seharusnya lewat sini, sekaligus mencari tukang service yang dibutuhkan pamanku. Kulihat pamanku dari kejauhan, ia tanpak sedang berbicara dengan seseorang di handphonenya. Mungkin temannya sudah mengakat telponnya. Aku masih fokus melihat sekelilingku. Aku tidak bisa menebak kapan waktu perkiraan akan terjadi kecelakaan  itu, tapi dari melihat kondisinya, hal itu sepertinya terjadi siang ini, namun aku tak tahu jam pastinya. Saatku memperhatikan seberang jalan, aku tanpa melihat sebuah café dipinggir jalan yang terlihat sangat nyaman dan mewah dengan cat temboknya yang berwarna cream dan cokelat, aku tanpa sengaja melihat sosok yang sangat kukenal wajahnya. Aku menggigit bibirku, menyadari bahwa pria itu sangat mirip dengan Ryuzaki. Pria itu sedang duduk di bangku luar café itu bersama dengan seorang wanita. Aku tidak dapat melihat wanita itu karena dia memunggungiku, tapi sepertinya dia bukan mbak Bella, karena warna rambutnya hitam panjang bukan pirang dan sedikit bergelombang. Inginku mendekat untuk melihat dan memastikan apakah itu benar Ryuzaki atau bukan. Tapi aku terlalu takut meninggalkan tempatku berdiri saat ini. Café itu berada disebrang jalan yang berlawanan dari tempatku saat ini, kalau aku kesana dan ternyata anak-anak yang kulihat tadi sudah tiba disini, akan sangat sulit untukku menolong mereka. Tawa pria yang terlihat mirip Ryuzaki itu mengembang begitu lebarnya. Mereka tanpak sedang membicarakan sesuatu yang sangat mengasikan. Terlihat akrab. Kalau itu benar Ryuzaki, mungkin benar ucapan Dewi bahwa dia adalah seorang playboy. Dia dalam waktu sebentar sudah jalan dengan wanita yang berbeda. Aku tidak mau berpikiran buruk padanya, namun semua yang kulihat ini membuatku berpikir sebaliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN