“Pakai baju ini saja, Mal?” Dewi menyerahkan baju terusan berwarna biru terlihat begitu manis. Panjangnya sekitar selutut dan berlengan pendek. Aku menyukainya, namun terkesan terlalu berlebihan jika harus menggunakan itu hanya untuk pergi jalan-jalan sore ini.
“ Aku pakai baju ini saja ya.” aku menunjuk baju yang sedang kugunakan saat ini, kaos hitam dengan jeans.
“Masa pakai kaos terus sih, Mal. Udah pakai ini aja.” Dewi masih memaksaku untuk menggunakan baju terusan biru yang benar-benar terlihat cantik itu.
“Aku pakai ini, jadi model baju kita tidak akan berbeda jauh.” aku memperhatikan baju lain yang baru dikeluarkan Dewi dari dalam lemari. Baju terusan berwarna kuning yang terlihat mirip dengan baju biru yang Dewi tunjukan padaku.
“Aku akan pakai ini saja.” Ucapku untuk kedua kalinya.
“Oke baiklah…” Dewi akhirnya menyetujui ucapanku.
“Tapi kamu gak boleh menolak kalau aku akan make up in kamu ya.” lanjut Dewi sambil mengangkat lipstiknya.
“Oke baiklah.” Aku tidak ingin berdebat dengan Dewi, lagipula sepupuku terlihat sangat senang ketika sedang merias wajah seseorang, mungkin dia memiliki pation lebih dalam rias merias wajah.
***
Tepat pukul 5 sore mas Tomo sudah datang menjemput. Ya, aku memutuskan untuk pergi bersamanya setelah mati-matian dipaksa Dewi, aku menerima itu dengan syarat Dewi akan ikut pergi bersamaku begitupun dengan kak Andi.
Mas Tomo menatapku dengan intens lalu tersenyum lebar kearahku. “Cantik…” ujarnya.
“Terima kasih.” balasku singkat.
Kamipun bersiap pergi setelah meminta ijin pada bibi dan paman. Karena akan dijaga oleh dua orang pria, jadi bibiku tanpak tidak masalah untuk mengijinkanku jalan-jalan bersama.
Kali ini aku akan bergoncengan dengan mas Tomo dan Dewi bersama kak Andi. “Pegangan ya.” ujar mas Tomo. Aku memegang bagian kursi motor, terlalu enggan untuk menyentuh pria yang terlihat sangat rapi dengan kemeja kotak-kotak merah berlengan pendek dan jeans yang ia gunakan. Ia terlihat lebih muda dan santai hari ini dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Kamipun pergi menuju pasar malam yang katanya memiliki banyak hiburan dan makanan yang cukup murah dan enak. Aku belum pernah ketempat ini sebelumnya, jadi aku sangat penasaran seperti apa tempatnya, apakah akan sama seperti pasar malam di Lombok atau tidak.
Setelah melewati perjalan selama 30 menit, kamipun sampai ditempa tujuan kami. Tempat ini benar-benar ramai. Begitu banyak motor yang sudah berjejer dengan rapi di parkiran motor. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah yang dipenuhi kebahagian dan tanpak tanpa beban. Ini benar-benar tempat yang pas untuk beersantai.
“Ayo…” mas Tomo memanggilku saat aku masih terpana dengan suasan disini.
“Kita mau makan dulu atau jalan-jalan dulu?”tanya Dewi. Dewi terlihat seakan sudah mengetahui tempat ini.
“Kita jalan-jalan dulu saja, nanti malaman baru makan.” balas mas Tomo yang jalan didepanku bersama kak Andi, sedang aku dan Dewi mengikuti mereka dari belakang.
Saat mulai memasuki pasar malam ini, aku semakin dibuat terpana melihat wahana permainan yang terlihat cantik dengan lampu warna-warni yang berpadu indah dengan malam.
“Mau main itu?” mas Tomo menunjuk biang lala besar yang sudah memiliki banyak antrian. Aku tidak heran mengapa orang-orang ingin menaiki permaina itu karena pasti akan sangat menkjubkan untuk melihat pemandangan Bali dari atas sana.
“Mau…” balas Dewi cepat sambil mendorongku mendekat kearah mas Tomo. Ingi kusegera protes ke Dewi karena tindakannya, tapi ia malah melotot kearahku seakan memberikan perintah untuk naik berdua dengan mas Tomo.
Aku menolak dan menggelengkan kepalaku. Kami berdua tidak berbicara dan berusaha memahami satu sama lain melalui mimic wajah kami.
“Aku akan naik sama Dewi, ya mas.” jawabku cepat. Dewi melotor kembali kearahku, dan segera kutarik tangannya dan kugenggam tangannya erat.
“Masak akum au naik berdua sama Tomo. Orang piker kita apaan nanti.” protes kak Andi padaku dan Dewi.
“Ya, gak apa-apa kan kak.” aku pikir tidak ada yang salah kalau kak Andi dan mas Tomo naik biang lalu itu berdua.
“Gak ah, aku tunggu dibawah aja. Kalian aja yang naik kalau begitu.” kak Andi tampaknya benar-benar tidak ingin menaiki biang lalu itu berdua.
“Tuhkan Mal…” Dewi berbisik ditelingaku.
“Aku sama kak Andi aja, Mala sama mas Tomo.” Dewi mencoba memberi jalan keluar untuk hal yang sedang kami bahas.
“Itu bagus.” ujar mas Tomo. “Aku juga tidak ingin naik berdua sama Andi.” Lanjutnya.
Aku sepertinya kalah suara, akhirnya aku mengikuti perkataan yang lainnya. Kamipun mulai mengantrai untuk memberli tiket dan menikmati wahana biang lala ini.
“Ini tingginya berapa ya?” tanya Dewi sambil menatap biang lala yang menjulang tinggi didepan kami.
“Berapa ya, mungkin sekitar 8-10 meter.” balas kak Andi.
“Ini kuat gak ya?” tanya Dewi lagi.
“Mudah-mudahan saja kuat.” balas mas Tomo.
“Kamu jangan mikir aneh-aneh Wi.” kak Andi menunjuk kening Dewi hingga kepala Dewi bergoyang kebelakang.
“Iiihhhh, nanti makeup aku rusak, tau!” Dewi memukul lengan kak Andi dengan keras.
Beberapa orang menoleh kearah kami, mereka pasti mendengar keributan yang dibuat oleh kedua kakak beradik ini. Melihat itu kak Andipun segera diam dan meminta Dewi untuk mengecilkan suaranya. “Bikin malu aja.” ujarnya pada Dewi, yang membuat Dewi seakan ingin membentaknya.
“Silahkan…” bapak penjaga dibiang lala akhirnya memanggilku untuk masuk kedalam tabung biang lala, setelah menunggu sekitar 10 menit lebih.
“Pelan-pelan.” mas Andi dengan sigap memegang tanganku saat aku handak naik kedalam tabung yang ternyata bergoyang saat aku hendak masuk.
“Iya mas.” karena takut terjatuh, akupun memegang tangan mas Tomo yang membuat Dewi mulai menggodaku dari belakang.
“Ehhmm…ehmmmm…” aku tahu jelas bahwa Dewi senagja melakukan hal itu, membuatku merasa canggung saja.
Pintu tabung ditutup oleh pak penjaganya dan mulai bergerak berlahan yang menimbulkan goyangan yang cukup kencang. Membuatku terkejut kembali dan reflek memegang lengan mas Tomo yang duduk dibangku disebelahku.
“Gak apa-apa kok.” Mas Tomo mengusap lenganku yang sontak membuatku menarik tanganku. Aku merasa tidak nyaman jika diperlakukan seperti ini. Kulirik kearah mas Tomo beharap dia tidak tersinggung atas apa yang aku lakukan, dan sepertinya ia baik-baik saja.
Kudengar suara Dewi yang berdebat lagi dengan kak Andi sata hendak masuk kedalam tabungg. Aku benar-benar tak habis pikir bagaimana mungkin mereka bisa terus menerus berdebat saat bersama ditempat hiburan seperti ini.
“Memang ya , mereka saudara tapi kaya musuhan begitu.” ujar mas Bayu yang sepertinya mendengar keributan yang diciptakan Dewi dan kak Andi.
“Iya…” balasku singkat.
Roda biang lalapun mulai berputar berlahan, membuat goncangan tabung semakin keras. “Jangan banyak gerak mas.” ucapku pada mas Tomo saat ia beberapa kali memperbaiki posisi tempat duduknya.
“Maaf ya, mas grogi duduk disebalah dek Mala begini.”ujar mas Bayu.
“Kenapa harus grogi mas, santai aja.” balasku lalu kembali fokus memperhatikan pemadangan yang terpapar didepan kami. Langit sudah berubah menjadi lebih sedikit kemerahan, benar-benar tanpak indah.
“Sangat indah ya…” aku menoleh kearah mas Tomo untuk menunjuk pemandangan yang ada didepan kami.
“Iyaa…” mas Tomo terus memandangku, ia bahkan tidak melihat apa yang kutunjuk padanya.Tatapan begitu dalam.
“dek Mala berminat punya pacar, gak?” kalimat itu tiba-tiba keluar dari bibir mas Tomo, kalimat yang tak pernah kuduga akan dinyatakan olehnya.
“Mengapa mas Tomo berkata demikian? Apa ia sedang menyatakan perasaanya padaku? atau itu hanya pertanyaan biasa” pikiranku mencoba mencerna makna ucapan mas Tomo padaku.
“Haaah? Aku? gak mas.” ucapku cepat dan mengalihkan pandanganku kembali pada pemandangan dari atas biang lala ini.
“Aku mau fokus kuliah dan bekerja dulu, mas.”lanjutku.
“Oh… Iya-iya , mas ngerti. Mas tunggu sampai dek Mala siap saja ya.”
“Ini mas sedang menyatakan perasaan padaku?” akhirnya aku mengeluarkan pertanyaan yang sedari tadi hanya menari dipikiranku saja.
“Kamu polos banget sih Mal. Iya, mas suka sama dek Mala.” mas Tomo mengusap rambutku lembut dan tertawa pelan. Aku tak mencoba melepaskan tangan mas Tomo dari kepalaku. Aku hanya menatap wajahnya yang terlihat sedikit memerah.
“Mas tidak akan paksa Mala, mas akan tunggu sampai Mala siap ya.” Aku belum siap mendengar pernyataan seperti ini, terlalu tiba-tba. Aku juga selama ini menganggap mas Tomo hanya sebagai seorang kakak untukku tidak lebih dari itu.
Apa aku harus menolaknya dan berkata jangan menungguku? Aku mungkin akan sangat melukai perasaanya kalau mengatakan hal itu. Aku terus menatap wajah mas Tomo, mencari kata yang tepat untukku ungkapkan agar tidak menyinggung atau membuat perasaanya terluka.
“Silahkan keluar. Terima kasih.” pintu biang lala kami terbuka dari luar. Bapak penjaga mempersilahkan kami untuk keluar.
Aku bahkan belum mengatakan apapun pada mas Tomo, namun aku harus segera keluar dari tabung biang lala. Mas Tomo tidak mengatakan apapun padaku. Atmosfir kami berubah menjadi sedikit canggung saat keluar dari tabung biang lala ini.
“Silahkan keluar, terima kasih.” aku mendnegar lagi bapak penjaga biang lala baru membuka pintu dan meminta pengunjung setelahku untuk keluar.
“Bagaiamana?” Dewi segera menarik tanganku dan dengan cepat bertanya.
“Apanya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Iiihhh… Ya yang tadilah, Diatas sama mas Tomo, bagaimana?”tanya Dewi yang kini mengecilkan suaranya agar tidak terdengar oleh kak Andi dan mas Tomo yang sudah berjalan didepan kami.
“Sekarang kita makan aja ya?” tanya kak Andi kepada kami berdua.
“Oke kak.” balasku dan Dewi.
“Jadi bagaimana, Mal?” Dewi mengulangi pertanyaannya lagi.
“Tidak bagaimana-bagaimana, Dewi.”
“Jangan bohong, pasti mas Tomo mengatakan sesuatu padamu kan?” bisik Dewi lagi.
“Nanti saja sampai dirumah aku cerita ya…” janjiku padanya. Kupikir disini bukanlah tempat yang tepas untuk membahas hal ini ditambah lagi mas Tomo sedang ada bersama kami.
Saat hendak berjalan menuju stand-stand makanan yang begitu banyak memberikan pilihannya, tanpa kuduga aku bertemu dengan mbak Bella, tamu yang memakai jasa pamanku sebagai tour guide mereka selama di Bali. Ia menyapaku terlebih dahulu.
“Nirmala?” panggilnya dan berjalan mendekatiku.
“Mbak Bella?” ucapku semangat. Aku begitu senang melihatnya, ia adalah gadis yang sangat baik, ramah dan juga cantik. Aku yakin banyak orang yang tidak akan menolak jika harus menghabiskan waktu bersamanya.
“Sendiri mbak?” tanyaku sambil melihat sekelilingnya, aku mencoba mencari sosok mbak Audrey, mbak Nita dan mbak Andien.
“Gak sendiri, lagi sama temenku tuh.” mbak Bella menunjuk seorang pria yang tampak tengah membeli seusuatu di stand minuman. Pria itu menggunakan celana pendek hitam dan kemeja lengan pendek biru. Aku tidak dapat melihat wajahnya karen ai membelakangi kami.
“Oh.. “ jawabku singkat.
“Nirmala sama siapa?” tanya balik mbak Bella padaku.
“Sama sepupuku dan temanku, mbak” aku mulai memperkenalkan Dewi, kak Andi dan mas Tomo pada mbak Bella.
“Mereka berdua anaknya paman Bayu, yang sudah antarkan mbak kemarin.
“Oh… Kalian anaknya pak Bayu? Aduh, pak Bayu itu baik banget. Nanti tolong sampaikan salamku padanya ya.”
“Iya mbak.” balas Dewi dan Kak Andi dengan senyuman ramah.
“Ini Bella.” Seorang pria tiba-tiba mengahampiri kami dan berdiri disebelah mbak Bella dan memberikan minuman soda kaleng untuknya.
“Ini temanku yang tadi kubilang.” Mbak Bella mencoba mengenalkan temannya itu pada kami dan aku begitu terkejut melihat pria yang bersamanya saat ini. Aku jelas mengenalnya, aku baru bertemu dengannya tadi siang, dia adalah Ryuzaki. Entah bagaimana mereka berdua bisa saling kenal, tapi kurasa hubungan mereka cukup dekat satu sama lain. Terlihat bagaimana mbak Bella menyentuh pundak Ryuzaki dan mengambil minuman yang baru saja diberikan padanya.
“Eh, Nirmala.” pria Jepang ini tampak terkejut melihatku. “Kita bertemu lagi.” tambahnya dengan senyuman khas yang tak hilang dari wajahnya.
“Iya…” balasku singkat dan memaksakan untuk membalas senyumannya.
“Mengapa terasa tidak nyaman begini? Mengapa rasanya begitu tidak nyaman saat melihat pria yang baru kukenal ini bersama wanita lain.”