PART 17 - KECELAKAAN

1808 Kata
Kuperhatikan sekelilingku, masih belum tampak anak-anak sekolah yang akan menuju kesini, kemungkinan bukan dalam waktu dekat ini mereka akan tiba disini. Rasa penasaranku pada sosok pria yang dari jauh dari terlihat seperti Ryuzaki itu semakin menjadi. Aku hanya perlu menyebrang jalan sebentar untuk memastikannya dari jauh lalu menyebrang kembali ketempat ini. Sepertinya tidak akan memakan waktu lama. Aku akhirnya menunggu jalanan lebih sepi dan segera menyebrang jalanan. Saat tiba disebrang jalan, aku perlu berjalan sekitar 8 meter lagi untuk sampai didepan Café yang bernama La Vole itu. Aku berjalan berlahan medekati dan membalikan tubuhku agar wajahku tidak terlihat oleh orang-orang yang berada di café itu. Saat kurasa cukup dekat untuk memastikan siapa pria yang kulihat dari seberang jalan, aku segera menolehkan kepalaku, menajamkan pandanganku dan ya…. Dia benar Ryuzaki. Pria yang sedang tampak begitu bahagianya mengobrol dengan wanita itu adalah Ryuzaki. Aku tidak seharusnya merasa kesal karena aku bukan siapa-siapanya. Aku juga tidaklah sebanding dengan para wanita cantik yang mengelilinginya. Aku lebih baik melupakan ini, dan segera kembali kejalan yang tadi. Saat  hendak menyebrang jalan, segerombolan anak SMP sedang berjalan menuju tempat dimana aku melihat mereka akan menyebrang di visionku. Aku menatap mobil dan motor yang terus berlalu lalang tanpa henti menyulitkanku untuk menyebrang. Kalau aku terlambat akan sangat berbahaya bagi anak-anak itu. Ya Tuhan… Seharusnya aku tidak menyebrang jalan saja tadi. Untuk pertama kalinya aku begitu menyesal dengan hal yang telah aku putuskan. Sekarang sangat sulit bagiku untuk menyebrang dan aku tak tahu lagi bagaimana aku mencegah hal buruk yang akan terjadi pada anak-anak itu. Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Aku segera berteriak sekencang mungkin dari jauh untuk memanggil anak-anak itu. “Adik-adiik!!!” teriakku tanpa mempedulikan orang sekitar yang menatapku saat ini. “Adik-adik!” aku berteriak kembali, namun  segerombolan anak-anak SMP itu tidak melihatku. Mereka masih tampak asik berbicara. “Adik-adik!!” teriakku untuk ketiga kalinya sambil melambaikan kedua tanganku. Seorang anak diantara kelompok itu sepertinya melihatku, dan memberitahukan pada teman-temannya. “Diamlah disana! Diamlah Disana! Jangan menyebrang dulu!” aku berteriak sekencang yang aku bisa, berharap anak-anak itu mau menurutiku. Hanya satu anak yang memperhatikanku dan melarang teman-temannya untuk menyebrang sedangkan anak-anak sekolah yang lain benar-benar tidak mempedulikan ucapanku sedikitpun. Mungkin mereka mengganggapku orang aneh yang sedang mengganggu mereka. Saat jalanan sudah sedikit sepi, aku segera menyebrang jalan dengan hati-hati yang ternyata saat itu juga diikuti oleh dua anak sekolah yang kulihat di visionku. Mereka berdua berlari menyebrang jalan dari arah berlawan denganku. Ya Tuhan ini saatnya… Seperti potongan masa depna yang kulihat, sebuah mobil open cup putih melaju sangat kecang dari arah timur, aku yang baru setengah menyebrang jalan tanpa memikirkan apapun  bahkan tanpa memikirkan keselamatanku, aku segera berlari mendorong kedua anak yang akan ditabrak itu kearah trotoar dan yang terakhir kudengar  adalah suara teriakan anak-anak sekolah dan teriakan orang-orang disekitarku. Kepalaku merasakan sakit yang sangat dan pandanganku mulai mengabur, aku melihat orang-orang yang berkumpul didekatku dan mengatakan sesuatu yang tak mampu kedengar. AKu merasa seperti kehilangan tenagaku dan pandanganku berlahan-lahan mulai menggelap, semakin menggelap , menggelap dan akhirnya aku tidak melihat dan mengingat apapun lagi. *** “Ingat ya Nir, jangan sampai menjadi beban untuk paman dan bibi disana…”  Tiba-tiba aku tersadar sesaat setelah mendengat suara ibuku yang terasa begitu jelas menggema ditelingaku. “Ibu…” ucapku. Bibirku terasa kering dan aku merasa tidak sekuat biasanya untuk bebricara. “Ibu…” ungkapku lagi. “Bu… Mala sudah bangun, bu!” aku mendengar suara Dewi didekatku dan langkah kaki yang berlarian masuk kedalam ruangan putih tempatku berbaring saat ini. Aku berlahan menatap sekelilingku walau pandanganku masih kabur. Aku tahu aku berada dirumah sakit saat ini. ”Ya Tuhan, aku sudah merepotkan bibi dan pamanku.” “Cepat panggil dokter atau perawat, Wi.” aku menoleh kearah kananku dan melihat bibiku sudah berdiri disebelah ranjangku didepan sebuah tirai putih yang tanpaknya merupakan pembatas tempatku dengan ranjang lainnya. “Nir, kamu bisa dengar suara bibi?” bibiku menggenggam jemariku. Aku dapat merasakan betapa hangattangannya. “Iya bi..” jawabku pelan. Aku tidak ingin terdengar lemah seperti ini, namun aku terlalu tidak kuat untuk melakukan yang lebih. “Ya ampun, Nir. Ibu takut kamu kenapa-kenapa. “ bibiku mulai menangis. Aku semakin merasa bersalah melihat hal ini. “Maaf..” bibiku menghapus air matanya dan menggenggam jemariku dengan erat lagi. Seorang dokter dan perawat datang menghampiriku . “Bisa dengar suara saya?” tanya dokter pria paruh baya yang sedang memeriksaku kini. “Kamu masih ingat nama kamu ?” tanya dokter itu lagi padaku sambil menyenter kedua mataku dan memintaku untuk mengikuti cahaya senter yang ia gerakan kiri dan kanan. “Iya.” ucapaku terbata-bata. “Bagaimana keadaanya, pak Dokter?” tanya bibiku saat dokter sudah selesai memeriksa keadaanku. “Kami akan pastikan setelah melakukan CT Scan. Pasien juga harus terus dipantau paling tidak selama 24 jam kedepan.” “Jadi apakah keponakan saya akan baik-baik saja kan, dok?” tanya bibiku lagi. “Saya juga berharap begitu, saya belum bisa memastikan saat ini. Setelah laporannya keluar saya akan segera mengabarkan ibu ya.” “Terim kasih pak dokter.” bibiku menunuduk mengucapkan terim kasih pada dokter sebelum dokter itu meninggalkan ruanganku. “Mal, kamu gak amnesia kan? Kamu masih ingat kita kan?” Dewi mendekatiku dan duduk dibangku sebelah kanan ranjangku. “Tak, Aku baik-baik saja.” balasku semampuku. “Awas infusnya, Wi”  bibiku meminta Dewi untuk lebih berhati-hati saat ia memeluk tanganku. Aku baru menyadari bahwa aku diinfus, aku tak banyak merasakan apapun saat ini selain sakit dikepalaku. Kusentuh berlahan bagian dahiku dan merasakan kain perban yang sudah membungkus kepalaku. Sepertinya luka dikepalaku cukup parah. “Wi, kamu jaga Nirmala dulu ya. Ibu keluar sebentar.” bibiku yang masih pakai baju kerjanya keluar dari kamarku dengan terburu-buru. “Kamu mau sesuatu, Mal?” tanya Dewi yang sepertinya baru pulang kuliah. Ia juga masih memakai baju yang ia gunakan untuk berkuliah pagi ini. “Gak Wi.” jawabku. Aku masih merasakan kantuk dan ingin rasanya untuk tidur kembali namun kucoba tahan. “Paman kemana, Wi?” aku tak melihat pamanku sedari tadi. “Bapak lagi makan siang, baru aja pergi sebebelum kamu bangun. Kak Andi belum pulang kuliah.” wajah Dewi masih dipenuhi rasa kekhawatiran “Pasti sakit banget ya, Mal?” tanya Dewi. “Lumayan.” jawabku. "Kamu sudah makan siangkan?" "Sudah kok, Mal." jawab Dewi. Suara pintu kamarku terdengar lagi, ada seseorang yang sepertinya masuk. Aku mencoba melihat siapa yang masuk kedalam kamar, ternyata itu adalah bibiku. “Nir, bibi barusan tanya, nanti sore kamu akan lakukan CT Scan, untuk pastikan keadaanmu baik-baik saja.” Bibiku mengusap rambutku. Ia tanpak mencoba menahan air matanya. “Bi, jangan kasi tahu ibu soal ini ya.” mohonku. “Tapi, Nir. Ibumu harus tahu keadaanmu.” “Aku tak mau ibu khawatir, bi. Kali ini saja, kumohon.” Bibiku menghembuskan nafasnya dalam-dalam, permintaanku seakan begitu berat untukya. “Baiklah.” ucap bibiku menyetujui permintaanku. Aku mendengar suara pintu terbuka lagi, namun aku tidak bisa melihat siapa yang masuk kedalam karena pandanganku terhalangi oleh tubuh bibiku dan juga Dewi. “Permisi…” aku mengenal suara itu. “Eh iya, silahkan.” ucap bibiku dengan ramah. “Nir, ini yang tadi tolong kamu, membawa kamu kerumah sakit bersama bapak yang tabrak kamu tadi.” Saat bibiku bergeser, memberikan ruang pada pria yang datang. Sosok Ryuzakilah yang kulihat. Ia berjalan mendekati ranjangku dengan membawa keranjang buah-buahan. Dari tatapannya, aku melihat tatapan iba disana. “Senang bisa melihat kamu sudah sadarkan diri.” ucapnya. “Terima kasih sudah membawaku kesini.”balasku. “Saya kebetulan sedang berada didekat sana jadi saya mencoba menolong sebisa saya.” balas  Ryuzaki. Berlahan aku mulai mengingat  bahwa Ryuzaki memang berada didekat sana, mungkin dia juga tanpa sengaja mendengarku berteriak dengan anak-anak sekolahan itu dan menyaksikan kecelakaan yang menimpaku. “Saya yakin kamu pasti butuh istirahat. Saya akan jenguk kamu nanti lagi ya.” tanpa diduga Ryuzaki mengusap punggung tangan kananku lalu memohon ijin untuk pergi kepada Dewi dan bibi Ayu. Dewi dan bibiku menatap tubuh Ryuzaki yang berjalan hingga akhirnya pria itu keluar dari kamar perawatanku ini. Aku tak terlalu memikirkan Ryuzaki lagi hari ini. Aku memikirkan bagaimana perasaan bibi, paman dan sepupuku disini yang pasti sedih karena ulah merepotkanku ini. Belum lagi biaya yang harus mereka dibayarkan, ini pasti mahal. “Bi, maafkan Nirmala.” aku benar-benar menyesal atas apa yang telah terjadi. “Kenapa kamu  minta maaf, Nir. Namanya musibah ya tidak ada yang maukan. Bibi yakin kamu juga pasti tidak mau mengalami hal seperti ini.” Bibiku menggenggam erat tangan kananku dengan kedua telapak tangannya. “Nanti Nirmalah akan nabung untuk ganti biaya rumah sakit ini.” “Apaan sih, Mal!” Dewi terlihat marah mendengar ucapanku. “Kenapa ngomong begitu, Nir. Kamu fokus kesembuhanmu dulu. Soal biaya kamu tidak usah khawatir, bibi punya.”suara bibiku sedikit meninggi membalas ucapanku. “Orang tua dari anak-anak sekolah yang kamu tolong tadi juga datang kesini. Mereka mau membantu biayai rumah sakit kamu, begitupun dengan bapak yang menabrak kamu. Kalaupun mereka tidak mau membiayai rumah sakit kamu, bibi sama paman masih sanggup.” lanjut bibiku dengan intonasi suara yang sama. “Tuh kamu dengarkan. Kamu jangan pikirin biaya-biaya lagi.”Dewi memelankan suaranya. Ia berjalan berpindah duduk disebelahkan kiriku dan meminta bibi untuk duduk dibangku disebelah kanan ranjang. “Kamu belum makan siangkan? Kamu makan dulu ya.” bibi memngangkat sebuah nampan stainless yang ditaruh diatas meja tak jauh dari ranjang. “Wi, bantu Mala duduk dulu.” Aku berusaha untuk bangun dan membuat posisiku menjadi duduk diatas ranjang. Dewi membenarkan selimutku dan menarik sebuah meja kayu kecil dan meletakannya diatas tubuhku. Meja ini ternyata digunakan untuk menaruh makananku. Aku dapat melihat sepiring nasi putih, sayur bening, daging yang terlihat dimasak bumbu dan telur rebus. Tak lupa juga ada buah pisang yang melengkapi makanan siangku. Melihatnya saja aku semakin merasa bahwa aku memang berada dirumah sakit. “Mau disuapin, Mal?” tanya Dewi. “Aku bisa sendiri, Wi.” aku berusaha memegang sendok dan menyendok sayur bening yang disediakan untukku. Rasanya enak namun sedikit kurang garam menurutku. Setelah suapan pertamaku, aku melanjutkan dengan suapan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya berlahan-lahan hingga makan siangku habis tak tersisa. Aku harus makan yang banyak agar sembuh dan cepat pulang dari rumah sakit ini, supaya tidak merepotkan yang lainnya. “Wi, tunggu beberapa menit baru kasi minum obatnya ke Nirmala ya” pesan bibiku pada Dewi. “Ibu pulang dulu, kamu jaga Nirmala sendirian tidak apa-apakan? Ibu mau ganti baju dulu.” “Iya bu” balas Dewi sambil membentuk ok dijarinya. “Nir, bibi pulang dulu ya sebentar ya, nanti balik lagi.” bibiku berpamitan juga padaku lalu mengambil tas kerjanya. Suara sepatu kerja yang bibi sedang gunakan membuat suara langkahnya menggema terdengar jelas diruangan ini.   Dewi mulai berbicara mengenai betapa terkejutnya ia saat mendapatkan kabar mengenai kecelakaan yang kualami. Aku hanya menggangguk beberapa kali mendengar ucapannya. Lalu tak lama ia membantu meminum 3 macam obat yang diresepkan untukku. “Aku keluar sebentar gak apa-apakan, Mal? Kebelet.” Dewi berjalan ditempat menggoyang tubuhnya, terlihat seperti sedang berusaha menahan diri. “Iya Wi. Ke toilet aja.” balasku singkat, tak tega melihat sepupuku itu. Dewi segera berlari cepat keluar dari kamar dan tak lama setelah Dewi keluar, aku mendengar suara pintu terbuka lagi. “Apa Dewi secepat it uke toiletnya?” pikirku. Ternyata bukan Dewi, melainkan Ryuzaki yang kembali datang menghampiriku. Ia tersenyum kearahku dan tanpa kuminta, ia segera duduk dikursi disebelah ranjangku. “Dewi katanya ke toilet, jadi aku akan menemanimu.” senyuman Ryuzaki terlihat berbeda seperti yang kulihat sebelum-sebelumnya. Ada kesedihan yang tergambar jelas diwajahnya dan senyumannya tampak sedikit dipaksakan. “Kau menunggu disini dari tadi?” tanyaku penasaran. Aku berpikir saat ia menyerahkan buah tadi padaku, ia sudah pulang meninggalkan rumah sakit. “Iya, aku menunggu disini…” kalimat itu keluar begitu mudahnya dari bibir Ryuzaki. “Mengapa ia melakukan ini?” “Mengapa ia mau menungguku?” berbagai pertanyaan mencuat begitu saja di pikiranku. Ini jelas kondisi yang tak bisa kupahami. “Mengapa ia tiba-tiba menjadi seperti ini padaku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN