PART 14 - PERTEMUAN KETIGA

1619 Kata
Pertemuan pertama menyisakan kesan, pertemuan kedua menyisakan tanya dan pertemuan ketiga menyisakan rasa. Tak ada yang bisa menerka rasa apa yang akan tertinggal.. Sedihkah? Marahkah? Candukah? atau mungkin Cinta? *** “Mala baik-baik saja bu, keadaan ibu, Anggun dan Surya bagaimana? Sehat-sehat semuanya kan?” aku begitu senang bisa berbicara dengan ibuku hari ini. Aku meminjam handphone Dewi untuk menghubungi ibu karena aku baru menyadari bahwa sudah lebih tiga hari aku tidak berbicara dengan ibu. “Iya, semuanya sehat-sehat Nir. Kamu sedang apa sekarang?” suara ibuku terdengar sama gembiranya denganku. “Ini baru selesai makan siang, bu. Ibu lagi apa? Sudah makan siang?” “Sudah kok, baru saja. Sekarang sedang jaga warung,” “Oh Anggun sudah pulang sekolah bu? Kalau Surya?” aku benar-benar merindukan kedua adik-adikku itu terutama Surya, si bungsu yang selalu manja padaku. “Anggun belum pulang, kalau Surya lagi tidur siang. Dia setiap hari tanyain kamu terus, mana mbak Mala, kok belum pulang, begitu terus setiap hari.” ujar ibuku meniru gaya berbicara adikku yang belum genap berusia 4 tahun itu. “Nanti mala teleponnya agak sore ya bu, supaya bisa bicara sama Surya. Oh iya , tangan ibu masih sering sakit-sakitan?” tanyaku lagi. Aku benar-benar khawatir pada kesehatan ibuku yang kian bertambah usianya kian bertambah juga penyakitnya. “Sudah lebih baik sekarang, sudah beberapa hari ini gak sakit lagi. Ibu sudah periksakan di puskesmas juga, kata dokternya ini asam urat. Jadi ibu harus jaga makan dari sekarang.” “Dapat obat gak bu?” aku cukup tahu asam urat bukanlah penyakit yang bisa langsung membahayakan jiwa, namun kalau dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan komplikasi asam urat dan bisa berbahaya bagi keselamatan. “Dapat, obatnya minum 2 kali sehari. Ini sisa beberapa tablet lagi, mungkin 2 hari lagi habis. Kata dokter yang paling penting ya ibu harus jaga makan, supaya tidak kumat-kumat.” “Iya ibu jaga makan ya, perbanyak juga minum air putihnya, air hangat lebih baik bu. Pokoknya ibu harus sehat-sehat terus ya sampai Mala balik ke Lombok.” aku benar-benar berharap agar ibu dan keluargaku di Lombok dalam keadaan sehat-sehat. Saat ini aku harus menabung dulu, jadi saat balik nanti bisa bawa cukup uang untuk ibu dan adik-adikku. “Iya, Nir. Kami masih aktif belajarkan?” ibuku tahu kalau aku telah memutuskan untuk menerima tawaran bibiku untuk mencoba ikut tes masuk perguruan tinggi negeri disini tahun ini. Selain bertanya keadaanku, setiap menelpon pasti ia selalu tanyakan mengenai perkembangan belajarku. “Masih kok bu. Tenang saja. Doain aja supaya saat tes nanti Mala bisa lulus ya bu.” “Pasti ibu doain. Ibu mau lihat anak ibu pakai itu apa namanya itu yang jubah hitam itu lo saat lulus biasanya dipakai.” suara ibuku yang terdengar begitu polos membuatku tersenyum mendengarnya. “Namanya toga bu.” jawabku “Ah iya, itu lah toga. Ibu kan mau lihat kamu pakai Toga terus ibu foto, ibu pajang dirumah.” “Aku kuliah aja belum bu, ibu sudah pikirkan lulusnya.” ucapku menahan tawa. Dapat kudengar dengan jelas suara tawa ibuku yang menggema di handphone. “Iya kan namanya harapan, Nir. Doa ibu itu.” mendengar suara ibu yang penuh gembira terasa seperti memberi energi baru untukku. Aku harus lebih rajin lagi belajar, agar bisa mengabulkan impian ibuku ini. “Sudah dulu ya bu, nanti Mala telpon lagi.” aku takut menghabiskan pulsanya Dewi, walau aku tahu Dewi pasti tidak akan keberatan bila pulsanya habis karena kupakai, namun tetap saja aku merasa sungkan untuk menggunakan handphone ini seenaknya. “Iya, ingat terus pesan ibu ya, kamu harus jaga diri baik-baik disana. Jangan merepotkan yang lain.” Ini pesan yang tak pernah dilupakan ibuku saat aku menelponnya dan segera kuiyakan seperti biasanya juga. Tak lama setelah menutup panggilan telpon, aku segera mengembalikan handphone yang kugunakan pada Dewi dan bergegas kembali ke Home Stay. Sebenarnya kata bibi aku tidak perlu harus selalu ada di home stay, namun karena tidak ada kegatan siang ini, akan lebih baik aku gunakan waktuku untuk membantu di home stay. Aku juga tidak ingin membiarkan bibiku memberiku uang begitu saja, tanpa banyak yang kukerjakan. Dari halaman home stay aku bisa langsung melihat ruang tunggu yang berjarak hanya sekitar 10 meter. Aku melihat ada tamu yang sepertinya baru masuk, 2 orang. Dari belakang, sepertinya kedua tamu itu adalah dua orang pria. Mereka menggunakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek selutut, yang satu terlihat tidak membawa apapun dan yang satunya membawa tas ransel cukup besar dan juga papan selancar berwarna putih bergaris biru. Aku menunggu bli Ade mengantarkan tamu itu menuju kamarnya, baru aku segera menuju ke ruang tunggu. Tak lama kemudian bli Ade kembali seorang diri. “Tamunya orang mana, bli? tanyaku  pada bli Ade, aku berpikir seandainya orang Eropa, Amerika atau Australia mungkin bagus untukku bisa ngobrol dengan mereka sekaligus mengasah kemampuan Bahasa Inggris yang sangat pas-pasan ini. “Orang Jepang.” ujar bli Ade. “Oh…”aku tidak ada minat sedikitpun belajar bahasa Jepang, jadi ya sudahlah, aku akan belajar dengan tamu lainnya saja, mungkin akan datang tamu baru lagi mengingat home stay ini tidak pernah sepi tamu. Walau home stay ini tidaklah sebesar hotel, namun home stay milik bibi dan pamanku ini cukup terkenal dan banyak tamunya dari berbagai negara, bukan hanya orang Indonesia saja, malah sebenarnya sangat jarang orang Indonesia yang menginap disini, lebih banyak orang asing. Melalui hal ini, aku belajar banyak mengenai karakteristik para tamu dari bli Ade dan bli Komang, misalnya saja tamu dari Jepang, mereka sangat menilai kebersihan kamarnya, ingin kamar yang memiliki sirkulasi udara yang baik  dan tidak menyukai ruangan yang lebab, mungkin hal ini tidak berlaku bagi semua ramu yang berasal dari Jepang, tapi kebanyakan yang kesini seperti itu kata bli Ade. Baru saja membahas tamu Jepang, tamu yang baru masuk kamar tadi kini keluar, namun hanya seorang diri. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terlalu jauh. Nanti mungkin akan terlihat saat ia keluar melewati ruang tunggu. Pria bertubuh cukup tinggi itu seperti kukenal wajahnya, saat ia semakin mendekat aku merasa seperti tidak mempercayai apa yang kulihat kini. Pria yang berjalan itu adalah Ryuaki. Aku memicingkan mataku, untuk memastikan bahwa aku tidak melihat orang lain dan ternyata benar itu adalah Ryuzaki. “Apa aku harus lari bersembunyi saja agar tidak terlihat olehnya?” “Tapi mengapa aku harus bersembunyi? Aku tidak melakukan kesalahan apapun.” Ryuzaki berjalan semakin dekat, dan membuatku semakin bingung harus melakukan apa. Kulirik bli Ade yang tengah sibuk mencatat laporan dibuku, ia pasti tidak menyadari kalau salah seoran tamu akan berjalan kesini. Segara kurapikan bajuku yang sehari-hari kugunakan disini. Kupastikan bahwa rok kain selutut berwarna biru yang tampak senada dengan kaos polo berwarna putih yang kugunakan ini benar-benar rapi. Tak lupa aku merapikan rambut sebahuku yang hari ini kuurai karena tadi pagi baru saja keramas, biasanaya aku mengikatnya agar terasa lebih nyaman saat bekerja. Langkah Ryuzaki berhenti saat melihatku. Ia sepertinya menanadai wajahku dan masih mengingatku. “Gadis sandal kuning?” tanyanya sambil melangkah lagi kearahku. Ucapannya sontok membuatnya terperangah tak percaya karena aku sebenarnya beharap kalau ia masih mengingat namaku, namun sepertinya ekspetasiku terlalu tinggi. Sudah cukup bagus ia masih mengingat bahwa sandalku berwarna kuning bukan warna hitam, biru, putih atau warna lainnya. “Ryuzaki…” balasku seramah mungkin dan sesantai mungkin. Aku langsung menyebut namanya, agar ia menyadari bahwa aku masih mengingat namanya. “Kamu mengingat nama saya?” dari ekspresi wajahnya, terlihat kalau dia terkejut namun juga senang. “Iya, aku ingat.” jawabku singkat. Andai ia tahu bahwa aku tidak bisa melupakan nama itu sejak berkenalan dengannya.   Mendengar percakapanku, bli Ade segera bangkit berdiri dan memberikan senyuman pada Ryuzaki yang dibalas dengan senyuman juga oleh Ryuzaki. “Kamu menginap disini?” tanyaku saat ia sudah berdiri diam didekatku. “Saya tidak menginap disini ya, tapi teman saya yang menginap. Saya hanya antarkan dia saja.” suara dan logat khas dari Ryuzaki membuatku bisa menandainya bahkan dengan menutup mataku sekalipun. “Oh begitu.” balasku. Kulihat bli Ade tampak sedikit bingung saat melihat aku berbicara santai dengan Ryuzaki. Mungkin setelah ini ia akan banyak menanyaiku. “Kalau kamu? Menginap disini?” tanya balik Ryuzaki padaku. Tangannya sedari tadi  tak henti memutar-mutar kunci motor atau kunci mobil yang ia pegang. “Tak, saya bekerja disini.” jawabku cepat. “Oh… Mungkin kita bisa sering bertemu ya kalau begitu.” pria ini benar-benar memiliki senyuman yang sangat menenangkan dan membuat orang lain ingin tersenyum juga saat melihatnya. “Iya…” tanpa kusadari kumnyelipkan rambutku dibelakang telinga dan membalas senyumannya. “Saya mau kembali ke tempat saya dulu ya, Nirmala.” Aku segera menatap wajah Ryuzaki saat pria ini menyebutkan namaku. Ryuzaki mengingat namaku ternyata. Iya, dia mengingat namaku. Dia mengucapkan dengan benar walau terdengar tidak terlalu jelas saat melafalkann huruf ‘r’ dinamaku. Itu tidak masalah untukku, ia bisa mengingat namaku saja benar-benar sudah lebih dari cukup. Menciptakan rasa gembira yang membuatku ingin tersenyum terus kearahnya. “Oh oke, bye. “ aku sebenarnya ingin lebih banyak berbicara dengannya, namun aku tidak mungkin menahannya. Siapa aku sampai ingin menahannya. Ryuzaki melangkah keluar ruang tunggu, melewati taman hingga sampai dihalaman home stay. Aku melangkah berlahan hingga sampai didepan pintu masuk ruang tunggu dan melihanta menaiki sebuah motor berwarna hitam yang tak kutahu apa jenis atau merknya karena aku memang tidak terlalu hafal tipe-tipe motor. Ryuzaki melihat kearahku dan melambaikan tangannya. “Apa pria Jepang memang seramah ini?” pikiranku mulai bertanya-tanya tak jelas. Aku melambaikan tanganku juga sebelum akhirnya Ryuzaki menggunakan helmnya dan menghidupkan mesin motornya. Iapun pergi meninggalkan home stay. “Teman kamu, Mal?” bli Ade tiba-tiba bertanya saat aku telah usai memperhatikan halaman. “Aaah, sepertinya begitu bli.” jawabku ragu. Apa aku dan Ryuzaki sudah bisa dikategorikan sebagai berteman padahal kita baru bertemu? Atau hanya orang asing yang sekedar bertegur sapa. “Maksudnya? Kalau bukan teman gak mungkin bisa saling kenal dan bisa mengobrol seperti tadikan.” ucapan bli Ade membuatku berpikir sejenak. “Begitu ya bli? Jadi aku sudah berteman dengannya.” “Kok malah tanya balik sih Mal. Kan kamu yang kenalan sama tamu yang tadi. Ya, artinya sudah berteman.” ujar bli Ade dengan logat Balinya yang sangat kental. Disaat aku masih memikirkan ucapannya, bli Ade sudah tampak sibuk mencatat kembali. Aku memikirkan ucapan bli Ade, jadi aku hitungannya sudah berteman dengan Ryuzaki. Memikirkannya saja sudah membuatku merasa senang. Siapa yang tahu bagaimana selanjutnya, namun yang pasti pertemuan ketiga ini membuatku sadar bahwa aku ingin lebih mengenal pria itu tadi sebagai seorang teman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN