Mada mengajak Thevy ke sebuah restoran yang tidak terlalu jauh dari rumah Thevy. Restoran yang bernuansa putih dan memiliki kesan ceria tersebut adalah salah satu restoran yang sering mereka kunjung. Selain karena makanannya enak, restoran ini pun memiliki area outdoor yang tampak sangat indah ketika malam hari karena lampu gantung yang berada di area tersebut.
“Kamu mau makan apa?” tanya Mada kepada Thevy.
“Spaghetti Aglio Olio sama mau jus alpukad,” jawab Thevy seraya menunjuk buku menu di hadapannya.
“Kamu nggak mau steak?”
Thevy menggelengkan kepala. “Nggak,” jawabnya. “Aku mau spaghetti aja.”
Mada menganggukkan kepala. Kemudian pria itu memanggil salah satu pramusaji untuk memesan makanan untuk mereka berdua.
Thevy mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Saat ini mereka mengambil meja yang berada di dalam ruangan karena cuaca sedang panas.
“Jadi, kemarin gimana fitting gaun pengantinnya?” tanya Mada.
“Nggak ada yang istimewa,” jawab Thevy.
Mada menatap Thevy dengan sebelah alis terangkat. “Kenapa gitu? Bukannya memilih gaun pengantin itu adalah hal yang sangat kamu tunggu-tunggu?”
Thevy menarik napas dalam. “Ya habis, kamu nggak datang. Jadi, berasa nggak istimewa sama sekali.”
“Maaf,” kata Mada tampak menyesal. “Aku kemarin beneran sibuk banget, Thev.”
Thevy menganggukkan kepala. “Iya, aku ngerti kok. Nggak apa-apa.”
Mada tersenyum kecil ke arah Thevy. “Thank you,” ucapnya. “Oh ya, undangannya besok udah jadi. Besok pulang dari kantor biar aku ambil sekalian.”
“Oke.”
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Thevy yang memang tengah kelaparan langsung saja memakan lahap pesanannya.
“Kamu jangan banyak begadang, Thev,” kata Mada.
Thevy yang sedang mengunyah makanannya hanya menganggukkan kepala.
“Kamu kudu banyak istirahat,” ucap Mada lagi. “Aku nggak mau kalau tiba-tiba nanti pas hari pernikahan kita kamunya malah sakit.”
Thevy tersenyum. “Oke,” katanya. “Kamu juga.”
“Siap,” balas Mada tersenyum ke arah Thevy.
“Habis ini kita ke toko buku, ya? Aku pengen lihat-lihat.”
Mada menganggukkan kepala. “Oke,” jawabnya.
***
Thevy berjalan menyusuri rak-rak yang berisi n****+ fiksi. Ia berniat membeli satu atau dua buku jika ada yang sekiranya membuatnya tertarik. Thevy memang memiliki hobi membaca buku. Namun, belakangan dirinya terlalu sibuk dengan urusan persiapan pernikahan dan juga sibuk menyelesaikan naskahnya hingga tidak sempat membaca n****+. Thevy berniat menimbun beberapa n****+ untuk dibacanya nanti ketika ada waktu luang.
“Thev,” panggil Mada yang berada di sampingnya. Thevy menoleh dan mendapati Mada tengah memegang sebuah buku. “Punyamu,” lanjut Mada menunjukkan buku berjudul Love Will Remember. Itu adalah n****+ milik Thevy yang terbit tahun lalu.
“Nggak gitu laku kayaknya,” ucap Thevy agak sedih.
Memang, n****+ tersebut tidak begitu laris di pasaran. Dalam satu tahun ini, tampaknya hanya terjual tidak sampai 1000 eksemplar. Thevy bisa memaklumi karena Thevy memang bukan seorang penulis terkenal yang novelnya langsung ludes sekali pre-order. Meskipun begitu, Thevy tetap senang karena dirinya juga memiliki fans setia yang selalu membeli n****+ karangan Thevy setiap kali Thevy meluncurkan n****+ baru.
“Kata siapa?” tanya Mada. “Ini ada yang beli satu.”
“Hah?”
“Bentar ya, aku ke kasir dulu,” ucap Mada seraya berjalan menuju kasir seraya membawa buku karangan dari Thevy.
“Mada,” panggil Thevy. “Nggak usah.”
“Udah kamu di situ aja, cari buku,” balas Mada menoleh ke arah Thevy.
Thevy menatap punggung Mada dengan senyum lembut. Mada memang selalu melakukan hal-hal kecil yang membuat Thevy merasa beruntung memiliki pria seperti Mada.
Sembari menuggu Mada kembali dari kasir, Thevy kembali menyibukkan diri melihat-lihat n****+ yang berada di rak. Thevy bukanlah pembaca yang hanya membaca genre n****+ tertentu. Bisa dibilang Thevy melahap segala macam genre selama menurutnya bagus.
Thevy mengambil sebuah n****+ bergenre fantasi. n****+ itu memiliki cover yang cantik. Perpaduan warna emas dan hitam membuat n****+ itu tampak menonjol dari n****+-n****+ di sampingnya.
“Kayaknya bagus,” gumam Thevy membaca blurb pada bagian sampul belakang n****+. Dari blurbnya, n****+ itu bercerita mengenai seorang penyihir perempuan yang sedang dalam misi memberantas monster kegelapan. “Beli ini, ah.”
Dengan membawa n****+ tersebut, Thevy berjalan menuju kasir. Thevy mengantre di belakang seorang pria. Kini kepalanya menoleh ke segala penjuru mencari keberadaan Mada. Ke mana perginya Mada? Apa dia sedang mencari buku lain untuk dibeli?
Setelah membayar buku yang tadi dibeli Thevy, ia langsung berjalan menyusuri rak-rak buku mencari keberadaan Mada.
“Mada ke mana?” gumam Thevy celingukan.
Thevy berbelok ke bagian rak yang menyajikan buku-buku yang berkaitan dengan hobi. Lalu, di sana Thevy melihat sosok Mada yang sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
“Aku sebentar lagi akan menikah. Jadi, aku harap kamu jangan gangguin aku lagi,” kata Mada pelan tapi, tidak cukup pelan hingga Thevy masih dapat mendengarnya.
Jantung Thevy kini berpacu cepat, mendengar perkataan Mada itu. Kini Thevy mempertanyakan siapa yang sedang Mada ajak berbicara? Apakah seorang perempuan? Selingkuhan Mada? Tidak. Thevy harus menyingkirkan pikiran buruk itu. Mada tidak mungkin berselingkuh darinya. Mada itu mencintai Thevy.
Mada menoleh ke arah di mana Thevy berada. Untuk sesaat Thevy dapat melihat ekspresi terkejut dalam raut wajah Mada. Namun, detik berikutnya, pria itu tersenyum hangat ke arah Thevy.
“Udah dulu, ya. Aku lagi di luar,” kata Mada kepada siapa pun di ujung telepon. Setelah itu Mada memutuskan sambungan telepon mereka lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. “Hai,” sapa Mada dengan memasang senyum manisnya.
“Siapa?” tanya Thevy dengan detakan jantung yang menggila. Thevy sungguh penasaran dengan siapa tadi Mada berbicara.
Mada menarik napas dalam. “Orang kantor,” katanya. “Banyak artikel yang harus aku sunting sebelum terbit. Padahal kan aku lagi sibuk ngurus pernikahan.”
Thevy memaksakan senyum lalu mengangguk. “Oh begitu,” katanya.
Mungkin tadi memang telepon dari salah satu teman Mada di kantor. Ya, Thevy harus mempercayai Mada. Thevy tidak boleh menyimpulkan sesuatu seenaknya hanya karena curiga tidak jelas.
“Iya,” balas Mada. “Kamu beli n****+ apa?” tanya Mada mendekat ke arah Thevy.
“n****+ fantasi.”
“Oh ya, omong-omong boleh minta tanda tangan?” tanya Mada seraya mengambil pulpen dan n****+ dari dalam kantong plastik yang dibawanya. Lalu Mada menyerahkan kedua benda itu kepada Thevy.
Thevy tersenyum kecil lalu mengangguk. “Boleh,” katanya mengambil n****+ miliknya lalu membubuhkan tanda tangan pada lembar yang berisi judul cerita.
“Makasih!” seru Mada riang. “Aku ngefans banget sama Kakak.”
Ucapan Mada itu membuat Thevy terkekeh. “Apaan, sih,” katanya. “Nggak usah norak, ya.”
“Kok norak,” balas Mada dengan senyum lebar. “Aku kan beneran ngefans sama penulis buku ini.” Mada membelai pipi Thevy lembut dan tersenyum kecil.
Thevy berdecak. “Gombal,” katanya.
Mada terkekeh pelan. “Beneran tahu!” ucapnya.
“Ya udah ah, ayo pulang,” kata Thevy.
“Kamu udah belanjanya?”
Thevy menganggukkan kepala. “Udah,” jawabnya.
“Ya udah, ayo aku anterin kamu pulang.”
Kemudian mereka berdua berjalan meninggalkan toko buku menuju parkiran mobil.
“Habis ini kamu mau balik kantor?” tanya Thevy menoleh ke arah Mada yang berada di sampingnya.
“Iya,” jawab Mada. “Nanti jam sore aku ada meeting. Terus ada kerjaan juga.”
“Nanti malam sibuk?”
Mada diam sejenak. “Belum tahu,” jawabnya. “Kenapa?”
“Kalau nggak sibuk, main ke rumah ya?”
Mada tersenyum kecil lalu menganggukkan kepala. “Oke,” jawabnya. “Nanti aku kabarin ya.”