Thevy tersenyum puas melihat dekorasi pernikahannya. Setelah melewati segala macam hal yang membuat stres dan frustrasi, salah satunya mempersiapkan pesta pernikahan, akhirnya hari yang Thevy tunggu-tunggu akan tiba. Ya, besok adalah hari pernikahan Thevy dan Mada. Sungguh, Thevy sangat senang sekaligus gugup. Akhirnya besok Thevy akan resmi menjadi istri dari Mada, pria yang sangat Thevy cintai.
Pesta pernikahan Thevy akan diadakan di rumah orang tuanya. Awalnya keluarga Mada menyarankan untuk menyewa gedung untuk acara resepsi. Namun, menurut Thevy akan lebih menghemat biaya jika pesta pernikahan mereka diadakan di rumah orang tua Thevy. Lagian, rumah orang tua Thevy memiliki halaman yang cukup luas yang bisa menampung banyak tamu. Jadi, akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan pesta di rumah orang tua Thevy.
Thevy menghubungi Mada. Untuk beberapa saat Thevy menunggu Mada mengangkat panggilan teleponnya. Namun, hingga dering terakhir, panggilan Thevy tak kunjung diangkat oleh Mada.
“Apa Mada sedang sibuk?” gumam Thevy menatap layar ponselnya.
Belakangan, Mada jadi agak susah dihubungi. Mada bilang dia sedang sibuk-sibuknya mengurus segala macam mengenai pesta pernikahan mereka. Selain itu Mada juga harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum dirinya mengambil cuti setelah menikah. Meskipun Thevy pun juga sibuk mengurus pesta pernikahan mereka, tapi, Thevy masih punya waktu untuk sekadar menanyakan kabar Mada. Apa jangan-jangan Thevy masih kalah sibuk dari Mada?
Ponsel yang berada di genggaman Thevy bergetar. Buru-buru Thevy melihat nama kontak yang terpampang di layar. Thevy sempat berpikir jika itu adalah Mada. Namun, ternyata itu adalah panggilan dari Nadin.
“Hai,” sapa Thevy mengangkat panggilan dari sahabatnya itu.
“Hai, calon pengantin,” balas Nadin terdengar senang. “Apa kabar?”
Thevy terkekeh pelan. “Baik, Din. Sangat baik,” katanya tersenyum lebar.
“Syukur deh,” kata Nadin. “Jadi, bagaimana persiapannya buat besok?”
Thevy mengamati tenda dan dekorasi yang sudah sebagian terpasang. “Sudah siap sekitar sembilan puluh persen,” jawabnya. “Kamu beneran nggak bisa datang?”
“Aku kan udah di Jakarta, Thev. Beneran nggak bisa datang,” katanya.
Thevy menghela napas dalam. “Rasanya nggak akan lengkap kalau nggak ada kamu, Din,” ucapnya.
“Aw..., aku terharu banget dengernya,” balas Nadin. “Aku beneran minta maaf ya, Thev, karena nggak bisa datang besok. Aku cuma bisa doain semoga semuanya lancar, nggak ada halangan apa pun. Juga, semoga kamu dan Mada langgeng sampai maut memisahkan.”
Thevy tersenyum kecil mendengar doa dari Nadin. “Amin,” balasnya. “Makasih, Nadin. Aku beneran berharap kamu ada di sini.”
“Aku juga berharap aku ada di sana nemenin kamu, Thev,” kata Nadin pelan. “Ini kan malam terakhir kamu sebelum jadi istri orang.”
“Tahu nggak sih, rasanya aneh banget bayangin aku jadi istri orang. Rasanya deg-degan tapi aku juga ngerasa seneng dan nggak sabar.” Thevy tersenyum kecil mengingat betapa dirinya beruntung bisa menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan pria yang dicintainya yang juga mencintainya. Karena Thevy tahu bahwa tidak semua orang di dunia dapat mendapat keberuntungan yang sama. Tidak semua orang bisa menikah dengan orang yang mereka cintai ataupun mencintai mereka.
Terdengar kekehan pelan dari ujung telepon. “Aku bisa bayangin sebahagia dan segugup apa kamu sekarang, Thev. Mada beneran beruntung banget dapatin kamu. Secara kamu cinta mati sama Mada.”
“Aku juga beruntung dapatin Mada,” balas Thevy. “Secara dia juga cinta mati sama aku.”
Nadin tertawa riang. “Ya..., ya..., percaya deh,” katanya. “Oh ya, besok jangan lupa kirimin foto kamu pas pakai gaun pengantin ya, Thev? Aku pengen lihat kamu dalam balutan gaun pengantin dan riasan pengantin.”
“Oke, siap,” kata Thevy tersenyum lebar.
“Ya udah, kamu buruan istirahat. Jangan begadang. Kan nggak lucu kalau pas hari pernikahanmu kamu malah punya mata panda.”
“Iya, Nadin. Bentar lagi juga mau tidur,” balas Thevy.
“Oke kalau gitu, selamat menjalani mimpi indah, Thevy.”
“Thank you, Nadin.”
Setelah berpamitan akhirnya Thevy memutuskan sambungan telepon mereka. Senang rasanya bisa mengobrol dengan Nadin. Thevy merasa agak sedikit lega. Meskipun begitu detakan jantungnya yang menggila tidak kunjung reda. Thevy tidak tahu bagaimana mengatasi kegugupannya ini.
Thevy kembali mendial nomor Mada. Namun, mendadak saja nomor Mada jadi tidak aktif. Hal ini membuat Thevy mendadak gelisah.
“Kenapa nggak aktif, sih?” gumam Thevy menatap layar ponselnya dengan bingung. “Apa saking sibuknya sampai nggak sadar ponsenya mati?”
Thevy menarik napas dalam. Detak jantungnya mendadak semakin cepat. Rasa gugup dan panik mulai menjalar ke setiap bagian tubuh Thevy. Thevy sungguh berharap bisa berbicara dengan Mada. Thevy ingin berbagi rasa bahagia dan gugupnya kepada pria itu. Berharap dengan begitu rasa gelisahnya bisa sedikit mereda. Namun, ponsel Mada yang mendadak tidak aktif malah membuat rasa guugup Thevy semakin menjadi.
“Semuanya akan berjalan dengan lancar,” gumam Thevy seraya mengatur napasnya.
***
Sejak pagi-pagi sekali keluarga besar Thevy sudah mulai sibuk. Dari sibuk mengecek dekorasi pernikahan, memastikan bahwa menu makanan tersaji lengkap dan tepat waktu, dan memastikan semuanya yang berhubungan dengan acara hari ini berjalan dengan lancar.
Thevy sendiri sudah mulai dirias pukul setengah enam pagi. Akad nikah direncanakan akan dilaksanakan pukul sepuluh. Dan sejak semalam, rasa gelisah dan gugup yang Thevy alami malah semakin menjadi. Terlebih, sejak semalam Mada masih tidak bisa dihubungi. Ponsel pria itu pun masih tidak aktif.
Thevy menatap pantulan wajahnya di cermin. Kini wajahnya sudah dipoles dengan make up yang membuatnya tampak berbeda. Thevy merasa lebih cantik dan agak tidak percaya jika dirinya bisa berubah menjadi sosok yang berada di cermin.
Setelah selesai dengan make up dan rambut, Thevy segera mengganti piyamanya dengan gaun pengantin berwanarna putih gading model mermaid. Gaun itu memperlihatkan lekuk tubuh Thevy. Bagian lengan dan d**a yang dihiasi manik-manik membuat gaun itu tampak sangat cantik. Thevy pun terlihat mempesona dan anggun dalam balutan gaun tersebut.
Thevy tersenyum kecil melihat pantulan dirinya di cermin. Kini Thevy terlihat seperti pengantin sungguhan. Sungguh, rasanya masih seperti mimpi mengenakan gaun pengantin seperti ini. Thevy sungguh sangat bahagia.
“Sudah selesai,” kata salah satu perempuan yang membantu Thevy merias wajahnya. “Cantik banget.”
Thevy tersenyum. “Terima kasih,” katanya.
“Ayo, aku bantu buat ke depan.”
Thevy mengangguk.
Dengan hati-hati Thevy melangkah meninggalkan kamar. Di depan kamar kini sudah ada Sera yang tersenyum riang menatapnya.
“Kak Thevy cantik banget,” puji Sera menatap kagum ke arah Thevy.
“Makasih,” balas Thevy tersenyum senang. “Kamu juga kelihatan cantik banget, Ser.”
“Thank you,” ucap Sera tersenyum lebar.
Saat ini Sera tengah mengenakan kebaya berwarna krem yang membuat kulitnya tampak cerah.
“Ayo aku bantu,” kata adiknya itu.
Lalu dengan bantuan dua orang Thevy berjalan menuju ruang tamu. Thevy duduk di sofa yang berada di sana menunggu kedatangan Mada beserta keluarganya. Berulang kali Thevy melirik ke arah jam dinding yang terpasang di ruang tamu, berharap Mada segera datang meskipun jam sepuluh masih setengah jam lagi.
“Gugup?” tanya Sera yang duduk di sofa di samping Thevy.
Thevy menganggukkan kepala. Ia menarik napas dalam guna menghilangkan perasaan gugup di dalam dadanya.
“Santai aja, Kak. Kak Thevy kan hanya perlu duduk manis aja di sana,” kata Sera menunjuk kursi pelaminan yang berada di halaman rumah.
Thevy tersenyum kecil lalu mengangguk. “Iya,” katanya seraya mengamati orang-orang yang sedang hilir mudik di sekitar Thevy. Kini semua orang tampak sedang sibuk. Tak terkecuali kedua orang tuanya yang saat ini tengah memberi instruksi kepada beberapa orang untuk mengatur ini dan itu.
“Tamunya udah banyak yang datang,” ucap Sera menatap halaman rumah yang sudah berdiri tenda dengan dekorasi indah dengan bunga dan ornamen pernikahan.
“Aku jadi makin gugup,” kata Thevy. “Sera, bisa tolong hubungi Mada? Coba tanyain dia dan keluarganya udah dalam perjalanan apa belum.”
Sera mengangguk. “Oke,” katanya. “Bentar, aku ambil ponselku dulu di kamar ya, Kak.”
“Iya,” jawab Thevy.
Setelah itu Sera bangit lalu pergi ke kamarnya di lantai dua. Ponsel Thevy sendiri berada di kamar di lantai satu yang tadi digunakannya untuk berias. Thevy merasa terlalu merepotkan kembali ke kamar itu untuk mengambil ponselnya.
Thevy mengamati orang-orang yang mulai berdatangan. Kebanyakan orang-orang itu adalah kerabat dekat dan juga teman-teman Thevy. Beberapa dari mereka menyempatkan diri menghampiri Thevy untuk memberinya selamat serta pujian karena kecantikan yang terpancar dari Thevy.
“Kak,” panggil Sera yang sedang berjalan ke arah Thevy. “Nomor Kak Mada nggak aktif.”
Ucapan Sera itu membawa gejolak tidak mengenakan di dalam d**a Thevy. Perasaan gelisah dan takut menjalari tubuh Thevy yang membuat jantungnya berdegup menyakitkan.
“Nggak aktif?” tanya Thevy memastikan ucapan Sera tadi.
Sera menganggukkan kepala.
Thevy melirik ke arah jam di dinding. Saat ini sudah pukul sepuluh pas. Seharusnya Mada beserta keluarganya sudah sampai di sini. Apa mungkin terjadi sesuatu dengan Mada?
Buru-buru Thevy bangkit dari posisi duduknya. Dengan susah payah ia berjalan menuju kamar di mana ia meninggalkan ponselnya. Thevy harus segera menghubungi Mada atau keluarganya.
Thevy menyambar ponselnya yang berada di atas meja. Segera ia mendial nomor Mada yang ternyata memang sedang tidak aktif. Thevy melirik ke arah Sera yang sedang memasuki kamar.
“Gimana, Kak?” tanya Sera.
Thevy menggelengkan kepala. “Nggak aktif,” jawabnya.
“Kak Thevy tahu nomor orang tua Kak Mada? Atau nomor sepupunya? Keluarganya?”
“Aku punya nomor Mamanya,” kata Thevy seraya mencari nama kontak Mama Mada lalu menghubunginya. Panggilan Thevy tersambung. Namun, Mamanya tidak kunjung mengangkat panggilannya.
“Nomornya aktif?” tanya Sera lagi.
“Aktif,” kata Thevy. “Tapi nggak diangkat,” tambahnya.
Seorang wanita paruh baya memasuki kamar. Wanita berjilbab itu adalah tante Thevy, adik dari Mamanya.
“Thev, Mada dan keluarganya mau bakal datang jam berapa? Ini sudah jam sepuluh lebih,” katanya.
“Masih di jalan mungkin, Tan,” balas Thevy.
“Oh, ya udah kalau gitu. Orang KUA juga udah datang soalnya,” kata Tantenya Thevy yang kemudian keluar dari kamar itu.
Thevy mencoba kembali menghubungi Mamanya Mada. Tetapi panggilannya lagi-lagi tidak diangkat.
“Kenapa nggak diangkat, sih?” gumam Thevy makin panik.
“Tenang, Kak. Mungkin emang masih di jalan. Tungguin aja,” ucap Sera mencoba menenangkan Thevy.
Thevy hanya bisa mengangguk lemah dan berharap jika Mada dan keluarganya memang sedang dalam perjalanan ke rumah Thevy.
Akhirnya Thevy mengetikkan pesan kepada Mamanya Mada, berharap beliau segera membuka pesan itu lalu menghubungi Thevy.
Ma, udah sampai mana? Nomor Mada nggak aktif. Hati-hati di jalan, ya, Ma.
Kirim.
Thevy menatap buket bunga pengantin yang didominasi oleh bunga mawar putih. Buket itu tampak sangat indah. Thevy mengambil buket bunga itu lalu membelainya.
“Sera, tolong bilang ke Ibu sama Ayah kalau keluarga Mada mungkin agak terlambat,” kata Thevy menoleh ke arah Sera. “Aku nggak mau Ibu sama Ayah khawatir.”
“Oke,” balas Sera. “Tapi, apa Mamanya Kak Mada udah balas pesan Kak Thevy?”
Thevy menggelengkan kepala. “Belum. Mungkin mereka memang masih di jalan,” katanya mencoba berpikir positif.
“Iya,” kata Sera seraya berjalan meninggalkan kamar itu.
Thevy kembali mengamati pantulan dirinya di cermin. Sosok yang saat ini tengah menatapnya tampak begitu cantik. Senyum kecil terukir di bibir Thevy. Ia berharap Mada pun beranggapan bahwa Thevy tampak sangat cantik.
Ponsel yang berada di genggaman Thevy bergetar. Buru-buru ia mengangkat panggilan yang ternyata dari Mada. Untuk sejenak Thevy merasakan perasaan yang sangat lega.
“Sayang, kamu udah sampai mana? Udah ditungguin,” kata Thevy segera setelah mengangkat panggilan dari Mada.
“Thevy,” panggil Mada dengan suara serak dan lirih. Mendadak saja Thevy merasakan perasaan tidak enak yang membuat perutnya melilit tidak nyaman. “Maaf. Aku dan keluargaku nggak bisa datang.”
“Nggak datang?” tanya Thevy dengan terbata-bata. “Maksudnya nggak datang gimana?”
“Aku jelasin besok, ya. Besok aku akan nemuin kamu dan keluargamu. Aku benar-benar minta maaf,” kata Mada tidak menjelaskan apa-apa.
“Mada?” panggil Thevy dengan suara bergetar. “Kamu kenapa?Ada apa sebenarnya? Ini hari pernikahan kita, Mada. Bagaimana bisa kamu nggak datang?” Air mata kini sudah berjatuhan dari mata Thevy.
“Aku benar-benar minta maaf, Thevy,” kata Mada lagi dengan suara lirih.
“Mada? Aku mohon, jangan kayak gini,” kata Thevy merengek. “Aku—”
Belum sempat Thevy meneruskan perkataannya, Mada sudah telebih dulu memutuskan sambungan telepon mereka. Dengan tangan bergetar Thevy mencoba mendial nomor Mada. Namun, nomor Mada kembali tidak aktif. Sontak saja Thevy terduduk di lantai. Badannya kini terasa sangat lemas.
“Jangan lakuin hal ini ke aku, Mada,” kata Thevy di sela isak tangisnya. “Ini hari pernikahan kita.”