Thevy merasa kehilangan pijakan. Dunia di sekelilingnya mengabur. Ucapan Mada tadi terus terngiang di kepalanya. Sekuat apa pun Thevy berusaha mengenyahkannya, kata-kata Mada tetap saja tercetak jelas di pikirannya.
“Thev,” panggil suara dari arah belakangnya. “Kamu kenapa, Nak?”
Thevy menoleh dan mendapati Ibunya berjalan ke arahnya dengan raut wajah khawatir.
“Bu,” panggil Thevy lirih. d**a Thevy rasanya sangat sesak yang membuatnya kesulitan bernapas.
“Astaga, ada apa?” tanya Ibunya seraya terduduk di sebelah Thevy lalu memeluknya.
“Mada nggak bakal datang,” ucap Thevy dengan susah payah.
“Mada nggak datang?” Ibunya menatap Thevy dengan bingung.
Thevy menggelengkan kepala. Kini tangis Thevy kembali pecah. Ia menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu. Mencari kenyamanan di sana. Berharap bahu ibunya cukup kuat untuk menopangnya yang tengah kesakitan.
“Sabar ya, Nak,” ucap Ibunya lirih. Thevy dapat mendengar Ibunya pun menangis. Hal ini membuat hati Thevy yang sudah hancur semakin berserakan.
Seharusnya ini adalah hari yang membahagiakan baginya dan juga keluarganya. Seharusnya hari ini Thevy tersenyum penuh kelegaan karena ini adalah hari pernikahannya. Nyatanya, kebahagiaannya hilang dengan sangat cepat hanya karena ucapan singkat Mada. Pria itu bukan hanya menyakitinya. Dia juga menyakiti hati Ibu Thevy dan keluarganya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sungguh, Thevy masih berharap jika ini adalah mimpi. Thevy tidak keberatan jika ini adalah mimpi buruk. Karena jika seperti itu, yang perlu lakukan adalah bangun lalu semuanya kembali normal. Thevy tidak sanggup merasakan nyeri di dadanya.
Thevy merasakan kesadarannya menurun. Suara musik di luar sana terdengar begitu jauh. Sekelilingnya terasa berputar lalu mengabur. Hingga akhirnya tubuh Thevy melemas di pelukan Ibunya dan tidak sadarkan diri.
***
Thevy mengerjapkan mata. Ditatapnya langit-langit kamar. Kini, ia merasakan dadanya terasa sesak dan nyeri. Seakan ada sebuah beban yang sangat berat menggelayutinya. Lalu, ingatan akan Mada yang mengatakan tidak bisa hadir di acara pernikannya membuat jantung Thevy berdenyut sakit. Apa semua itu hanya mimpi buruk?
“Thevy,” panggil suara di sampingnya.
Thevy menoleh dan mendapati Ibunya duduk di samping tempat tidur. Wajah Ibunya tampak khawatir. Thevy dapat melihat jejak air mata di pipi Ibunya. Sontak saja air mata mulai menggenang di mata Thevy. Kini Thevy tahu bahwa semua kejadian buruk tadi bukanlah mimpi yang bisa dilupakan begitu saja. Mada benar-benar meninggalkannya.
“Thevy nggak jadi nikah,” kata Thevy dengan suara serak. Air mata kembali jatuh ke sisi wajahnya. “Maafin Thevy, Bu. Thevy bikin malu.”
“Nggak apa-apa, Nak,” balas Ibunya seraya mengusap lembut rambut Thevy. “Udah, nggak apa-apa.”
Thevy hanya bisa kembali menangis. Isak tangisnya terdengar memilukan. Perasaannya begitu hancur. Bagaimana bisa Mada setega itu kepadanya? Bagaimana bisa orang yang sangat Thevy cintai menghancurkan hatinya hingga menjadi kepingan-kepingan kecil? Bagaimana bisa semua hal buruk ini terjadi kepada Thevy?
Thevy pikir hari ini dirinya akan dilimpahi kebahagiaan dengan harapan-harapan indah tentang masa depan yang akan dibangunnya bersama dengan Mada, pria yang dicintainya. Namun, kebahagiaan dan harapan-harapan itu hancur begitu saja tanpa Thevy bisa cegah. Thevy sungguh tidak berdaya menghadapi kehancuran dunianya ini. Thevy tidak tahu bagaimana menjalani hidupnya tanpa Mada. Karena baginya, Mada adalah dunianya. Dan kini dunia itu luluh lantak.
***
Thevy terbangun dari mimpi buruknya. Di dalam mimpi, Thevy bertemu dengan Mada yang tengah mengenakan setelan jas hitam. Mada tampak gagah dan tampan. Sayangnya Mada yang berada di mimpi Thevy terlihat dingin. Pria itu tampak tidak suka melihat kehadiran Thevy. Berulang kali Thevy menanyakan kenapa Mada bersikap tak acuh kepadanya, tapi sayangnya Mada sama sekali tidak menjawab. Pria itu hanya diam, mengabaikan Thevy. Hingga akhirnya Thevy berteriak-teriak menyerukan nama Mada dan berusaha mendapatkan perhatiannya kembali. Namun, Mada masih tetap mengabaikannya. Malah, pria itu berjalan pergi meninggalkan Thevy. Dengan susah payah Thevy mengejar Mada. Sayangnya, langkah kaki Thevy terlalu lambat. Sampai tiba-tiba Thevy tidak melihat Mada lagi. Pria itu menghilang di ujung jalan meninggalkan Thevy sendirian. Thevy merasa hampa dan sedih. Meskipun itu hanya sebuah mimpi, tapi Thevy masih dapat merasakan kekosongan pada dirinya karena mimpi tersebut.
Thevy menatap sekeliling ruangan. Saat ini dirinya sedang berada di kamarnya. Perlahan Thevy bangkit dari posisi tidur. Kepalanya terasa berat dan pusing. Badannya pun lemas.
Kalau tidak salah hitung, ini sudah ketiga kalinya Thevy terbangun dari tidurnya—entah pingsan. Dan setiap kali terbangun, perasaan berat penuh beban dan kesedihan selalu menerjangnya. Seolah Thevy diingatkan jika dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Thevy menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dadanya masih terasa sesak dan nyeri. Tampaknya hari-hari Thevy akan penuh dengan perasaan menyakitkan ini.
Thevy menyeret kakinya untuk turun dari kasur. Ia bangkit berdiri yang langsung membuat kepalanya pusing. Segera Thevy berpegangan pada kepala tempat tidur agar tidak terjatuh. Dan ketika dirasa sudah kuat, Thevy langsung berjalan ke meja rias. Kini ditatapnya pantulan wajahnya yang tampak sangat berantakan. Make up yang tadinya membuat wajah Thevy terlihat lebih cantik sekarang malah membuat wajah Thevy terlihat menakutkan. Thevy mirip seperti badut.
Tadi Thevy tidak sempat untuk membersihkan make up di wajahnya ataupun mengganti gaun pengantinnya. Thevy tampak seperti lelucon menyedihkan ketika melihat dirinya sendiri di cermin. Bagaimana bisa Thevy berakhir seperti ini?
Kini sengatan rasa sakit dan malu kembali menghantam Thevy. Air mata pun berjatuhan di kedua pipinya. Segera Thevy menghapus air mata itu. Thevy lelah menangis terus. Thevy pun lelah merasakan sakit di hatinya.
Dengan menahan tangis dan rasa nyeri pada dadanya, Thevy bergerak untuk mengambil kapas dan pembersih wajah. Thevy ingin segera menyingkirkan wajah badutnya. Thevy muak dengan sosoknya sendiri yang balas menatapnya di cermin. Karena perempuan itu terlihat begitu menyedihkan sekaligus mengerikan. Thevy tidak tahu bagaimana bisa dirinya menjadi sosok tersebut.
Setelah membersihkan make up di wajahnya dan melepaskan gaun pengantinnya, Thevy langsung pergi ke kamar mandi untuk mandi. Thevy tidak mempedulikan guyuran air dingin yang membasuh tubuhnya. Sengatan rasa dingin yang menusuk kulitnya tidaklah berarti dibandingkan rasa sakit yang sedang mendera hatinya.
Seusai mandi dan membersihkan diri, Thevy langsung mengenakan piyama. Ia kembali menatap pantulan wajahnya di cermin. Thevy masih tampak berantakan. Wajahnya sembab karena terlalu banyak menangis.
Tiba-tiba pintu kamar Thevy terbuka. Thevy melihat seseorang mengintip dari balik pintu.
“Kak,” panggil Sera seraya membuka pintu lebih lebar. “Boleh masuk?”
Thevy tersenyum lemah lalu menganggukkan kepala.
Perlahan Sera berjalan memasuki kamar. Adik Thevy itu langsung duduk di kasur. Tatapannya mengarah kepada Thevy.
“Kak Thevy mau makan? Atau minum?” tanya Sera tampak khawatir.
Thevy menarik napas dalam lalu menggelengkan kepala. Memang, seharian ini Thevy belum sempat makan atau bahkan minum. Ajaibnya Thevy tidak merasakan lapar ataupun haus sama sekali.
“Ibu sama Ayah tidur?” tanya Thevy ikut duduk di tempat tidurnya.
Sera menganggukkan kepala. “Iya kayaknya,” jawabnya. “Kak Thevy baik-baik saja?” tanyanya. “Tentu saja nggak baik-baik saja. Aku yang nggak ngalamin sendiri aja jadi ikut sakit,” tambah Sera tiba-tiba. “Rasanya aku pengen menghajar Kak Mada!”
Thevy diam sejenak. Meskipun Mada sudah membuat hati Thevy hancur berantakan, tapi Thevy masih tidak ada keinginan untuk menghajar pria itu sampai babak belur. Thevy hanya ingin memaki pria itu dengan kata-k********r. Lalu, setelahnya Thevy ingin tahu alasan masuk akal apa yang membuat Mada membatalkan pernikahan mereka.
“Selama aku pingsan tadi, dia beneran nggak datang ke sini?” tanya Thevy masih menaruh harapan kepada Mada meskipun sudah jelas pria itu telah menyakitinya.
Sera menggelengkan kepala. “Nggak,” katanya. “Tadi, Om Ardi sama Kak Arlan setelah tahu kalau Kak Mada nggak hadir, sempat pergi ke rumah Kak Mada. Tapi, pihak keluarga Kak Mada nggak ada yang mau nemuin mereka. Bahkan, pihak keluarga Kak Mada ngusir Om sama Kak Arlan.”
“Om Ardi sama Kak Arlan diusir?”
Sera menganggukkan kepala. “Iya,” katanya. “Dan sepertinya Kak Mada sedang ada acara di rumahnya. Tetangga mereka bilang acara pernikahan.”
“Pernikahan?” Thevy menatap Sera dengan jantung berdetak kencang.
“Iya,” jawab Sera pelan. “Sebenarnya Ayah sama Ibu ngelarang buat ngasih tahu Kak Thevy demi menjaga hati Kak Thevy, tapi, aku rasa Kak Thevy harus tahu.”
Tanpa sadar air mata sudah menetes di kedua pipi Thevy. “Apa?” tanyanya tanpa suara.
“Kak Mada menikah dengan perempuan lain. Kami nggak tahu siapa.”
“Nggak mungkin,” kata Thevy susah payah. Thevy masih susah mempercayai ucapan adiknya itu.
Sera menggigit bibir bawahnya. Adik Thevy itu tampak sedang menahan tangisnya. “Kak Mada pria berengsek,” katanya.
Thevy kehabisan kata-kata. Bagaimana mungkin Mada menikah dengan wanita lain di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka berdua? Apa yang sebenarnya terjadi?