Bab 10

1300 Kata
Thevy menghabiskan hari-harinya di kamar. Ia sangat jarang sekali keluar kamar. Tentu saja kegagalannya untuk menikah membuatnya stres berat hingga hampir depresi. Bahkan, beberapa kali Thevy merasa kehilangan semangat untuk hidup. Berulang kali Thevy mempertanyakan untuk apa keberadaannya di dunia ini. Karena bagi Thevy, hidupnya sungguh tidak ada gunanya. Hal-hal yang membuatnya senang dulu sudah tidak lagi menyenangkan baginya. Jadi, Thevy tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan dengan hidupnya ini. Ketukan di pintu kamar Thevy membuatnya menoleh. Kini pintu terbuka sedikit. “Thev,” panggil suara Ibunya. “Ibu masuk, ya?” “Iya, Bu.” Ibunya membuka pintu lebih lebar lalu masuk ke dalam kamar. “Kamu udah makan?” tanya Ibunya. Thevy tersenyum kecil lalu mengangguk. “Udah, Bu.” Ibunya duduk di pinggir kasur. Tatapannya mengarah pada Thevy. “Sera tadi telepon Ibu, nanyain kabar kamu,” katanya seraya menyibakkan helaian rambut Thevy yang jatuh di sisi wajahnya. “Dia bilang ponselmu masih nggak aktif.” Thevy melirik ponselnya yang masih berada di atas nakas. Benda itu sudah tidak berfungsi lagi. Dan Thevy merasa tidak keberatan hidup tanpa ponsel. “Iya,” jawab Thevy. “Ponsel Thevy masih rusak.” “Nggak dibenerin?” “Nanti, deh, Bu.” “Ya udah,” balas Ibunya. “Ibu sama Ayah mau pergi ke rumah Tante Mindi. Anaknya sakit, mau jengukin. Kamu mau ikut?” Thevy menggelengkan kepala. “Nggak, Bu. Thevy di rumah aja.” “Sendirian?” “Iya.” “Nggak apa-apa?” Thevy tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. “Thevy kan bukan anak kecil lagi, Bu.” “Iya, ya. Kamu udah bukan anak kecil lagi,” balas Ibunya menatap Thevy dengan tatapan sendu. “Ibu nggak perlu khawatir. Thevy nggak akan kenapa-napa sendirian di rumah.” “Ya udah kalau gitu,” kata Ibunya. “Ibu mau siap-siap dulu sambil nunggu Ayah kamu pulang.” Thevy menganggukkan kepala. “Iya, Bu.” *** Thevy turun ke lantai satu, berniat untuk mengambil minum. Tiba-tiba saja pintu ruang tamu diketuk yang membuat Thevy menoleh ke sumber suara. Awalnya Thevy ingin mengabaikan siapa pun orang yang sedang bertamu itu, karena toh kedua orang tuanya sedang berada di luar. Tapi, suara pria dari arah teras yang sedang memanggil nama Thevy membuat Thevy menghela napas dalam lalu berjalan ke arah ruang tamu untuk membukakan pintu. “Kak Arlan,” sapa Thevy ketika mendapati kakak sepupunya itu berada di depan pintu. “Ada apa?” “Katanya kamu di rumah sendirian. Tadi, Ibu kamu nyuruh aku ke sini buat nemenin kamu.” Thevy menghela napas dalam. “Aku kan bukan anak kecil, nggak perlu juga ditemenin.” “Perlu lah,” balas Arlan. “Main, yuk?” “Hah?” “Keluar. Cari makan sama minum. Yuk?” “Nggak ah, aku—” “Aku laper, Thev. Belum makan dari tadi siang.” “Delivery aja kalau gitu.” “Nggak enak. Enak makan di tempat.” “Ibu masak kok. Ada makanan di rumah. Makan aja,” kata Thevy. “Aku mau makan steak. Ayo lah,” ucap Arlan. “Aku juga mau cerita sesuatu.” “Cerita apa?” tanya Thevy sebenarnya tidak begitu tertarik. “Nanti. Ayo buruan siap-siap. Aku tunggu di mobil, ya.” Thevy menatap punggung Arlan yang sudah mulai menjauh. Thevy benar-benar tidak ingin keluar rumah. Tapi, Thevy sendiri tidak tahu bagaimana caranya menolak ajakan Arlan. Arlan sendiri tampaknya tidak akan berhenti membujuk Thevy untuk pergi sebelum Thevy mengiyakan. Akhirnya Thevy masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci pintu ruang tamu. Thevy tidak berniat untuk ganti baju ataupun memoleskan make up ke wajahnya. Ia terlalu malas untuk melakukan hal itu. Thevy pun tidak peduli dengan penampilannya yang tampak berantakan. Setelah mengunci pintu ruang tamu, Thevy langsung berjalan menuju mobil Arlan yang terparkir di depan rumah Thevy. Sebelum Thevy memasuki mobil Arlan, seorang tetangga menyapanya. “Thevy, baru kelihatan,” sapa wanita yang tengah menggendong anaknya. Thevy tersenyum tipis. “Iya, Tante,” katanya. “Mau pergi? Sama siapa?” tanyanya seraya memanjangkan leher, mengintip ke arah dalam mobil di mana Arlan berada. “Pacar baru ya?” Perkataan itu sontak membuat hati Thevy nyeri. Bagaimana bisa mengatakan hal itu ketika Thevy baru saja gagal menikah? Memangnya dia pikir mendapatkan pacar setelah kegagalannya kemarin itu mudah apa? “Jangan salah pilih lagi, Thev. Kasihan orang tua kamu,” kata wanita itu menasihati Thevy. “Orang-orang pada gosipin yang nggak-nggak.” “Itu Kak Arlan,” balas Thevy dengan ekspresi datar. “Duluan, Tan.” Setelah mengucapkan itu Thevy langsung membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam. Dengan kesal Thevy membanting pintu mobil, agar wanita itu tahu jika ucapannya sangat menyakiti hati Thevy. “Itu siapa?” tanya Arlan menoleh ke arah wanita yang tadi berbicara dengan Thevy. “Nggak tahu,” jawab Thevy ketus. “Udah ah, ayo buruan pergi.” “Ah, oke,” kata Arlan seraya melajukan mobilnya meninggalkan rumah Thevy. *** Kini Thevy kembali memikirkan omongan tetangganya tadi. Thevy pun sangat sadar bahwa dirinya akan jadi buah bibir tetangganya karena gagal menikah. Itu adalah salah satu alasan Thevy kenapa dirinya malas keluar rumah. Thevy tidak ingin mendapati orang-orang menatapnya dengan tatapan kasihan ataupun tatapan penuh hujatan. Namun, dirinya tidak pernah benar-benar memikirkan perasaan orang tuanya yang harus bekerja di luar, berinteraksi dengan para kerabat dan tetangga. Kedua orang tua Thevy pasti banyak mendapat pertanyaan-pertanyaan tidak mengenakan mengenai anak perempuan mereka yang gagal menikah kemarin. Kedua orang tua Thevy pasti merasa sedih menerima pertanyaan-pertanyaan itu. Belum lagi, mereka juga pasti sangat malu. Thevy sungguh tidak berguna. Thevy merasa gagal menjadi seorang anak bagi kedua orang tuanya. “Steaknya enak tahu, Thev,” kata Arlan yang duduk berhadapan dengan Thevy. “Beneran nggak mau?” Thevy menatap steak yang berada di depan Arlan. “Nggak, makasih,” balasnya tidak merasa tergiur sama sekali. “Selain steak, deh. Pesen apa pun yang kamu mau,” ucap Arlan lagi. “Aku habis gajian lho. Aku traktir.” “Nggak pengen makan,” kata Thevy. “Terus, pengen apa? Belanja baju? Atau mau sepatu?” “Nggak,” balas Thevy. “Nggak perlu beliin aku apa-apa, Kak.” Arlan menghela napas dalam. “Aku cuma mau bantuin kamu, Thev. Mau hibur kamu. Aku kan ikut sedih juga kalau kamu sedih terus.” Thevy tersenyum tipis. Thevy sungguh merasa senang ada orang yang benar-benar peduli kepadanya. Tapi, Thevy sendiri nggak tahu apa yang dia mau. Jadi, apa pun yang Arlan tawarkan tampaknya tidak akan berefek banyak terhadap kebahagiaan Thevy. Thevy menoleh ke arah pintu restoran. Saat ini mereka tengah berada di restoran yang ada di salah satu mal di Surabaya. Selain ingin mengajak Thevy makan, Arlan tadi juga sempat bilang ingin mencari keyboard untuk komputernya di rumah. Jadi, Arlan membawa Thevy ke sini. Dari dulu Thevy memang anak rumahan. Ia jarang keluar rumah jika tidak diajak oleh Mada atau teman-temannya. Thevy pun merasa malas jika harus pergi sendirian. Dan kini, berada di ruang terbuka dengan banyak orang entah mengapa membuat Thevy semakin hampa. Rasanya keberadaan Thevy begitu kecil dan tidak berarti. Tiba-tiba dari arah pintu restoran Thevy melihat sosok lelaki berjalan memasuki dalam restoran. Sontak saja d**a Thevy terasa sesak. Jantungnya berdegup hebat dan menyakitkan. Thevy kenal betul pria itu. Dia adalah Mada. Ya, tidak salah lagi. Tatapan Thevy dan Mada bertemu. Mada yang tadinya berjalan mendadak saja berhenti. Mereka berdua tampak sama-sama membatu. Hingga tiba-tiba Thevy melihat seorang perempuan menggandeng tangan Mada. Dan perempuan itu adalah Fiona. Ya, Thevy tidak salah orang. Thevy yakin jika perempuan itu adalah Fiona, teman Monika. Mereka dulu pernah bertemu sekali. Apa mungkin perempuan yang Sera maksud, yang menikah dengan Mada di hari seharusnya mereka pernikahan, adalah Fiona? Tapi, bagaimana bisa? Thevy tidak tahu lagi kata yang tepat untuk menggambarkan hatinya yang sudah hancur menjadi kepingan-kepingan kecil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN