Pagi ini Thevy memaksakan diri untuk bangkit dari kasur. Ia sudah berjanji kepada Ayahnya untuk ikut mengantar Sera ke stasiun. Semalaman Thevy tidak bisa tidur. Lebih tepatnya Thevy takut untuk tidur. Thevy takut bermimpi bertemu dengan Mada. Thevy takut jika pertemuannya dengan Mada di mimpi membuatnya kembali mengharapkan pria itu. Thevy tidak ingin menumbuhkan harapan apa pun untuk Mada. Thevy ingin segera pergi dari bayang-bayang Mada. Tapi, tentu saja itu adalah hal sulit yang tampaknya mustahil untuk Thevy lakukan sekarang ini.
Thevy tidak repot-repot untuk berdandan. Ia bahkan tidak menyisir rambutnya yang tampak berantakan. Thevy hanya menguncir asal-asalan rambutnya. Thevy tidak perlu membuat siapa pun terkesan dengan penampilannya.
“Udah siap?” tanya Ayahnya kepada Thevy yang baru saja tiba di teras rumah. Adiknya sudah berada di dalam mobil.
“Iya,” jawab Thevy menganggukkan kepala.
“Ya udah, masuk mobil. Biar Ayah yang kunci pintu.”
Thevy mengangguk lalu berjalan memasuki mobil. Ia duduk di kursi belakang. Sedangkan Sera duduk di kursi depan, di sebelah sopir.
“Mau tukeran tempat duduk?” tanya Sera.
Thevy menggelengkan kepala. “Nggak perlu,” jawabnya seraya membuang pandangan ke arah luar jendela.
Beberapa hari yang lalu halaman rumah ini berdiri sebuah tenda pengantin. Orang-orang tampak sibuk berkunjung ke rumahnya untuk memberi selamat. Tapi, sayangnya pernikahan Thevy dengan Mada tidak pernah terjadi. Thevy hanya seorang pengantin perempuan yang tidak memiliki pasangan. Bayangan menyakitkan itu membawa gelombang mengerikan yang menerpa jatungnya. Membuat detakan jantug Thevy terasa nyeri.
Tak lama kemudian Ayah Thevy masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah. Dalam perjalanan, Ayah Thevy serta adikya selalu mencoba untuk mengajak Thevy berbicara. Mereka tampaknya berusaha untuk mengalihkan pikiran Thevy dengan obrolan ringan. Thevy hanya menanggapi seadanya karena dirinya merasa tidak punya energi lebih untuk sekadar berbicara.
“Kak,” panggil Sera seraya menoleh ke belakang. “Kalau Kak Thevy free, main aja ke Semarang. Nginep di kostku. Nanti aku ajak jalan-jalan di Semarang. Banyak tahu tempat bagus di sana.”
“Iya,” jawab Thevy seadanya.
“Jangan iya-iya aja, beneran lah, Kak. Main ke Semarang.”
“Iya, Ser. Kapan-kapan,” balas Thevy.
“Yah, boleh kan, Kak Thevy main ke Semarang?” tanya Sera kepada Ayahnya.
“Boleh, kok. Kalau mau malah Ayah mau nganterin. Sekalian tengokin kamu di sana,” kata Ayahnya.
“Nah, bagus itu. Nanti kita jalan-jalan keliling kota Semarang, ya, Yah.”
“Iya,” kata Ayahnya dengan senang.
Padahal, sebelumnya Thevy sangat susah mendapatkan izin untuk pergi keluar. Apalagi ke luar kota. Namun, sekarang Ayahnya dengan gampangnya memberinya izin. Bahkan menawari untuk mengantar Thevy ke tempat tujuan. Padahal Ayahnya bisa dibilang orang sibuk. Mungkin itu adalah salah satu cara untuk menghibur Thevy.
Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di stasiun. Sera langsung berpamitan dengan Ayahnya dan Thevy. Sera sempat memberi Thevy semangat dan berharap Thevy bisa segera baik-baik saja.
“Thev,” panggil Ayahnya. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari stasiun. Thevy masih duduk di bangku belakang karena terlalu malas untuk pindah tempat duduk.
“Ya, Yah?”
“Kamu jangan sedih terus,” kata Ayahnya. “Ayah tahu kalau saat ini kamu sedang hancur-hancurnya. Tapi ingat, Nak, ini bukan akhir dari segalanya. Tuhan itu maha baik. Mungkin ini salah satu cara Tuhan menjauhkan kamu dan keluarga kita dari apa pun yang menyakitkan kelak yang berhubungan dengan Mada. Semuanya pasti akan jauh lebih baik nantinya.”
Thevy menatap sedih arah luar jendela. “Mungkin,” balasnya lirih. “Tapi, kenapa harus Thevy yang ngalamin hal ini, Yah? Thevy nggak pernah berlaku buruk sama Mada ataupun orang lain. Tapi, kenapa Thevy dipelakukan seperti ini?”
Thevy tak kuat menahan air matanya. Kini air mata itu berjatuhan di pipinya. Dadanya kembali terasa sakit dan sesak.
“Nggak apa-apa, Nak. Apa pun yang terjadi, baik atau buruk, semuanya adalah ujian dari Tuhan. Kamu hanya perlu sabar. Nanti, Tuhan pasti akan ngasih kamu hal yang jauh lebih indah dari apa pun yang sempat hilang ataupun rusak.”
Sulit rasanya mempercayai hal seperti itu ketika saat ini Thevy sedang dalam titik terendahnya. Yang ada di pikiran Thevy adalah segala hal buruk yang terjadi di hidupnya. Rasanya tidak ada ruang untuk sebuah harapan indah. Tidak ada.
“Thevy udah bikin malu Ayah sama Ibu,” kata Thevy pelan seraya mengusap air mata yang jatuh ke pipinya.
“Nggak, kamu nggak pernah bikin malu Ayah ataupun Ibu. Kami bangga sama kamu, Thev. Kamu anak yang baik, nggak pernah macam-macam. Kamu pantas mendapatkan yang yang lebih dari Mada. Ayah nggak akan rela jika kamu berakhir sama pria macam Mada,” kata Ayahnya dengan nada menenangkan. “Jangan sekalipun nyalahin diri kamu sendiri. Ayah sama Ibu nggak masalah dengan apa pun yang terjadi. Bagi kami, kamu dan Sera adalah segalanya. Jadi, Ayah dan Ibu berharap kamu bisa segera bangkit. Ayah dan Ibu akan selalu ada buat kamu, Nak.”
Thevy sungguh sangat beruntung memiliki orang tua yang pengertian dan sayang kepadanya. Mereka melakukan segala hal yang mereka bisa untuk membuat Thevy baik-baik saja.
“Makasih, Yah,” kata Thevy di sela isak tangisnya.
“Iya,” balas Ayahnya. “Ayah yakin kamu pasti kuat menjalani ujian ini.”
Thevy menganggukkan kepala. Ya, Thevy harus kuat.
***
Thevy menatap ponselnya yang berada di atas nakas. Ponsel itu mati, rusak. Thevy sempat membanting ponselnya itu ketika Mada menghubunginya. Dan Thevy merasa tidak keberatan jika benda itu tidak lagi berfungsi. Toh paling isinya dari orang-orang yang akan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan Thevy dan Mada. Sungguh, Thevy sangat menghindari hal-hal itu. Thevy tidak akan kuat jika harus ditanya-tanya oleh orang-orang mengenai hal tersebut.
Suara ketukan di pintu membuat Thevy menoleh. Kini dilihatnya sosok pria yang tengah tersenyum ke arah Thevy.
“Pergi yuk?” ajak pria itu.
Thevy menghela napas dalam lalu menggelengkan kepala. “Nggak. Aku sedang nggak pengen keluar.”
“Nggak capek mengurung diri terus di kamar?” tanya pria itu berjalan memasuki kamar Thevy.
Pria yang saat ini berada di kamar Thevy adalah Arlan, kakak sepupu Thevy, anak dari Om Ardi.
“Nggak,” jawab Thevy lesu.
“Aku traktir deh,” kata Arlan lagi.
“Aku malas keluar, Kak.”
“Semangat Thev, semangat,” ucap Arlan.
Thevy tersenyum lemah lalu mengangguk. “Iya, semangat kok,” jawabnya berbohong. “Kamu ke sini sama siapa? Sama Om dan Tante?”
Arlan mengangguk. “Iya. Papa sama Mama habis beli durian. Orang tuamu kan suka sama durian.”
Thevy tersenyum tipis. “Yah, sayang banget aku nggak doyan durian.”
“Aku juga nggak doyan. Aku heran kenapa pada suka buah yang maunya nggak enak itu.”
“Kak,” panggil Thevy menatap ke arah Arlan yang saat ini sedang duduk di kursi depan meja kerja Thevy.
“Apa?”
“Kak Arlan bulan depan mau nikah kan?” tanya Thevy yang membuat Arlan menganggukkan kepala. “Maaf ya, aku kayaknya nggak bakal datang. Aku nggak bisa—”
“Iya, Thev, nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin,” potong Arlan. “Kamu fokus aja ke diri kamu sendiri. Anggap aja bulan depan nggak ada acara apa-apa. Oke?”
Thevy takut menghadiri acara pernikahan. Baginya, kini acara pernikahan tampak seperti mimpi buruk. Thevy masih merasa trauma.
Thevy tersenyum. “Selamat ya,” kata Thevy dengan tulus. Dalam hati Thevy berdoa agar Arlan tidak benasib sama dengannya. Ia tidak mau orang lain bernasib sepertinya.
“Iya, makasih, Thev,” balas Arlan tersenyum ke arah Thevy. “Dan jika kamu butuh bantuan buat menghajar Mada, bilang aja. Bakal kusanggupin.”
“Nggak perlu. Aku nggak mau lagi berhubungan dengan dia dalam hal apa pun.”