"Tumben loe datang ke sini?" Tanya David menepuk bahu Bagas sambil membawa segelas wisky lalu memposisikan duduk di sebelah Bagas, hampir tiga tahun Bagas tak pernah mendatangi club malamnya lagi, semenjak dirinya memutuskan ingin memperbaiki diri. Bagas mulai mengenal club malam semenjak perpisahannya dengan Nidya lima tahun lalu dan di club itu pula persahabatan Bagas dan David terjalin dengan sendirinya.
"Brow satu lagi ya!" Panggil David dengan suara kencang karena musik yang memenuhi club pada bartender yang sedang meracik minuman untuk pelanggan lain.
"Soda aja!" Ucap Bagas yang seketika membuat David tertawa kencang.
"Ya elah Gas jauh-jauh kemari loe cuma pesen soda!" Ejek David yang seketika membuat Bagas berdiri hendak meninggalkan tempatnya.
"Ok-ok, sorry Gas, gue akan nemenin loe sampai puas, kapan lagi loe berkunjung ke club gue lagi," David menarik lengan Bagas mendorongnya ke kursi yang semula Bagas duduki. David kenal benar bagaimana Bagas yang awalnya anak baik-baik hingga mengenal club malam, tapi David salut dengan prinsip yang Bagas pegang, ia tidak akan melakukan free s*x sebelum pernikahan. Tak seperti dirinya yang sudah terbiasa dengan ONS atau One Night Stand dengan entah sudah ia lakukan dengan berapa banyak wanita untuk memuaskan libidonya.
"Jangan bilang loe ke sini hanya gara-gara masalah cewek lagi," cecar David. Bagas menoleh sekilas tak perduli, lalu kembali mengamati pengunjung yang semakin malam semakin ramai. Ia menggoyangkan kakinya mengikuti irama yang menggema. Pikirannya mengulang kembali peristiwa sore tadi di apartemen Nidya, Bagas tak percaya dengan kebohongan yang Nidya katakan.
"Loe itu ganteng, smart, dan kaya raya ngapain hanya gara-gara cewek loe jadi seperti ini," teriak David mendekat ke telinga Bagas karena dentuman musik yang cukup keras.
"Gue cuma kangen aja sama loe, sobat gila gue," jawab Bagas sambil tersenyum lalu meneguk soda di hadapannya.
"Masih waras gue lah ketimbang loe," ejek David sambil memanggil seorang perempuan berpakaian seksi. Perempuan itu mendekat ke arah mereka dengan senyuman sensual.
"Loe temenin sahabat gue bentar ya!" perintah David pada perempuan itu dengan memberi kode lalu ia beranjak dari kursi menghampiri pelanggan yang lain. Bagas hanya bergeming saat perempuan itu mengajaknya ngobrol. Namun saat perempuan itu mulai menyentuh rahangnya Bagas bereaksi.
"Pergi kau wanita jalang, jangan ganggu gue!" bentak Bagas sambil menghentakkan tangan perempuan itu dari wajahnya dengan kasar. Perempuan itu terkejut dengan sikap kasar Bagas lalu ia pergi dengan santai.
"Apa benar Rizky anak gue, klo memang anak gue kenapa Nidya tak mencari atau menghubungi gue saat dia hamil?" saat ini hanya itu pertanyaan yang selalu muncul dibenak Bagas.
Flashback on...
Bagas mengerjapkan mata saat tangannya tak menemukan Nidya di sampingnya.
"Nid?" Panggil Bagas sambil menyingkap selimut lalu memakai boxernya. Setelah berulang kali memanggil nama Nidya tanpa jawaban Bagas mulai panik, ia mencarinya ke kamar mandi dan balkon namun sosok Nidya tetap tak ia temukan.
Sambil memakai kaos Bagas meraih ponselnya lalu mencari dalam kontak nama Nidya, berulang kali Bagas menelepon. Namun ponsel Nidya sedang tidak aktif. Bagas mengacak rambutnya dengan frustasi saat mengecek tas ransel milik Nidya yang sudah tidak ada di dalam lemari.
Bagas mengingat kembali percintaannya dengan Nidya semalam, mereka baik-baik saja bahkan semalam percintaan mereka lebih panas dari malam sebelumnya.
Berulang kali Bagas mengucapkan cinta pada Nidya setelah percintaan panas mereka, Bagas memeluk Nidya dengan erat hingga keduanya tertidur pulas. Bagas berjanji ia akan bertanggung jawab dengan semua yang telah ia lakukan. Bahkan Bagas berencana akan mengatakan dengan jujur hubungannya dengan Nidya yang sudah sejauh ini setelah pulang dari Bali kepada kedua orang tuanya.
Setelah kepergian Nidya yang tanpa jejak Bagas mulai mengenal club malam dan gank motor, kuliahnya pun sempat terbengkalai. Semua itu berakhir saat Najwa mendatanginya di club malam dalam keadaan mabuk berat, Bagas hampir saja meniduri wanita jalang yang ada di club itu.
Sejak kejadian tersebut Marni dan Abimana mencabut semua fasilitas mewah yang mereka berikan pada Bagas. Sejak itu pula sikap Bagas berubah 180° derajat, sikap ceria, jail, dan kritis Bagas berubah menjadi sikap kaku, datar, dan dingin pada semua orang.
Flashback off...
"Loe mau balik? Baru jam 2 pagi Gas," tanya David menghampiri Bagas yang sedang mengeluarkan dompet untuk membayar minumannya.
"Udah nggak usah bayar, sering-sering aja main sini ya!" David meraih dompet Bagas dan memasukkannya kembali ke dalam jas Bagas.
"Ok, thanks!" balas Bagas datar lalu berbalik menuju toilet yang memang searah dengan pintu ke luar. Setelah buang air kecil Bagas mematut dirinya yang kacau di depan cermin, ia akui wajahnya tampan, body juga seksi, karir tak diragukan lagi, tapi mengapa hatinya masih tertuju pada satu gadis saja. Banyak gadis diluaran sana tapi mengapa dirinya masih tertuju pada Nidya.
"Loe bukannya Bagas, bosnya Nidya?" ucap laki-laki mabuk yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
"Deanova?" gumam Bagas dengan terkejut melihat pria yang ia temui bersama Nidya.
Bruk... Deanova terjatuh di lantai karena mabuk berat, Bagas segera membopongnya ke luar club lalu menelpon David untuk menolongnya.
"Loe kenal Gas sama Deanova?" Tanya David sambil mengernyitkan alis.
"Kenal, dia rekan bisnis gue," jawab Bagas sembari mendorong paksa tubuh Deanova yang sempoyongan ke dalam mobilnya.
"Hahahaha... Gue heran deh, bisa-bisanya gue punya dua sahabat bucin semua," ledek David dengan tawa nyaringnya.
"Loe antar dia ke apartemennya, gue yang urus mobilnya, mumpung loe masih waras!" terang David dengan tertawa sambil mengirim lokasi alamat Deanova ke WA Bagas.
Di dalam perjalanan, berulang kali Deanova menyebut nama Nidya yang seketika membuat hati Bagas terbakar cemburu. Bagas menepikan mobilnya ke bahu jalan raya lalu mengamati wajah Deanova yang masih meracau, rasanya ingin sekali Bagas menurunkan Deanova di tengah jalan.
"Nid, kenapa kamu selalu menolak cintaku, tiga tahun aku menunggu tanpa balasan cintamu, bahkan aku tidak pernah mempermasalahkan tentang Rizky.. " racau Deanova yang seketika membuat tubuh Bagas menegang.
"Rizky siapa Dev?" tanya Bagas dengan hati berdebar, mungkinkah yang dikatakan Nidya benar, Rizky adalah putranya.
"Hahaha lupa gue klo lagi sama Loe Gas." setengah sadar Deanova memukul bahu Bagas dengan tertawa miris. Ia luapkan semua perasaannya, selama ini di depan Nidya ia selalu bersikap baik-baik saja.
"Gue seneng banget saat Rizky memanggil gue ayah, bahkan gue nggak pernah nanya atau mempermasalahkan tentang Rizky pada Nidya, gue bener-bener sayang sama Rizky, oya Rizky itu anak dari perempuan yang gue cintai, dia sekretaris loe," terang Deanova lalu menyandarkan kepalanya di jok mobil kembali. Tiba-tiba hening karena Deanova tertidur pulas akibat mabuk beratnya.
Beberapa kali Bagas memukul setir mobilnya karena kesal, setelah mengantarkan Deanova ke apartemennya Bagas menuju apartemennya sendiri, tak mungkin ia pulang dalam keadaan kacau, bisa-bisa Marni mamanya akan menghujaninya dengan beribu pertanyaan. Dan ia tidak siap untuk menjawabnya.
Sesampainya di apartemen, Bagas menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, kepalanya terasa berdenyut nyeri. Berlahan kesadaran Bagas hilang di telan mimpi.
"Nidya!" Teriak Bagas dengan keringat membasahi tubuhnya.
"Astagfirullahaladzim," ucap Bagas bergegas bangun dari tidurnya saat melihat jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 7 pagi. Ia melewatkan salat subuh pagi ini. Perasaan berdosa kian menguat saat ia teringat pertemuannya dengan Deanova di club semalam, ia menyesal mengapa harus mengunjungi tempat maksiat itu lagi.
***
Sesampainya di kantor Bagas tak menemukan Nidya bahkan meja dan barang-barang Nidya sudah tidak ada di tempatnya. Panik Bagas mendatangi kubikel Ulfa dengan tergesa.
"Mbak Ulfa, Nidya di mana?" Tanya Bagas panik, kini ia tak peduli lagi dengan tatapan penasaran karyawan lainnya.
"Mulai hari ini saya dan Nidya bertukar tempat Pak, Nidya di kantor Pak Abimana dan sayalah yang menggantikan Nidya sebagai sekretaris Pak Bagas," jawab Ulfa dengan perasaan takut saat wajah dingin Bagas berubah menjadi merah dan kelam karena menahan marah. Ulfa bergidik ngeri saat melihat tangan Bagas terkepal kuat, baru kali ini ia melihat amarah Bagas yang meluap.
"Siapa yang memberi izin?" Bentak Bagas yang seketika membuat empat karyawan di ruang itu terperanjat dari kursinya lalu dengan segera mereka menyembunyikan diri di balik kubikel masing-masing.
"Saya yang meminta Nidya bertukar posisi dengan Ulfa," jawab Abimana ke luar dari kantornya dengan tersenyum lebar bersama Nidya yang berdiri di sampingnya dengan kepala tertunduk.