9. I Just Wanna Say

1241 Kata
"Tapi Pa, kenapa Papa tidak tanya aku dulu?" Tanya Bagas sambil mengikuti langkah Abimana masuk ke dalam ruangannya. "Kemarin kan Papa udah nanya pas kita sarapan, menurut Papa Nidya nggak sesuai dengan kriteria sekretaris kamu? yah Nidya biar sama Papa saja" jawab Abimana santai lalu duduk di sofa. Bagas menatap Nidya sekilas. Namun kedua mata mereka sempat beradu sejenak, Nidya segera memotong kontak mata mereka dengan kembali menatap layar laptopnya lalu pamit ke luar ruangan. "Maaf Pak, saya ke luar sebentar," pamit Nidya karena merasa tak nyaman berada di sana. "Kamu di situ saja!" balas Abimana yang dengan terpaksa Nidya kembali ke tempat duduknya. "Sejak kapan Papa satu ruangan dengan sekretaris Papa? Mbak Ulfa kan biasanya di ruangannya sendiri, kenapa Nidya di sini?" Cecar Bagas dengan perasaan bingung bercampur emosi. Selama ini meskipun Abimana sudah menganggap Ulfa seperti anak sendiri tapi tidak pernah sekalipun mereka se-akrab Abimana dengan Nidya. "Emang ada yang salah dengan sikap Papa?" Abimana bertanya balik yang seketika menjadi skakmat bagi Bagas. Bagas tak mampu lagi menjawab, ia tatap Nidya dengan tajam meskipun Nidya terlihat sibuk dengan pekerjaannya, Bagas yakin Nidya mendengar percakapannya dengan Abimana. "Untuk hari saja Nidya di ruangan Papa, tuh lihat barang-barang Ulfa belum di pindahkan," tunjuk Abimana ke luar ruangan yang tampak dari kaca, memang benar tempat Ulfa masih penuh dengan barang-barang Ulfa. Dengan geram Bagas ke luar ruangan Abimana, bagi Bagas mendebat Abimana sama saja mencari masalah besar. Dan pasti berujung kekalahannya seperti biasa. Setelah menendang meja di ruangannya Bagas mengacak rambut classy side-part nya dengan kesal, sekarang apa yang harus dia lakukan? jelas Nidya sudah tak mau bertemu ataupun berbicara dengannya lagi, sedangkan ia butuh penjelasan Nidya sekarang juga. "Mbak Ulfa ke ruangan saya sekarang!" Perintah Bagas dari sambungan telepon di mejanya. Sebelum memasuki ruangan Bagas, berulangkali Ulfa merapalkan doa dengan jantung berdegup kencang. Tok.. Tok.. Tok "Masuk!" Perintah Bagas. "Bismillah," rapal Ulfa dalam hati saat melangkah masuk ke dalam ruangan Bagas, Ulfa menelan ludahnya dengan keras saat melihat tampilan Bagas yang berantakan. Dingin AC semakin terasa membekukan saat tatapan tajam Bagas mengarah pada Ulfa, bagai busur panah yang siap membisik sasarannya saat itu juga. "Mbak Ulfa kenapa menatap saya seperti itu?" Tanya Bagas karena melihat ekspresi ketakutan dari wajah Ulfa. Ulfa hanya menggeleng lalu tersenyum dengan terpaksa. "Bacakan jadwal saya hari ini!" Perintah Bagas sambil menyalakan laptop di hadapannya. "Pukul 09.30 rapat bersama divisi marketing. Pukul 02.00 rapat direksi, dan terakhir pukul 04.30 kunjungan perwakilan dari Pt. Pratama yang akan diwakili oleh pak Deanova Sanders," terang Ulfa. "Ok, siapkan semua berkas untuk persiapan meeting dan berkas yang perlu saya tanda tangani hari ini," ucap Bagas sambil menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan secara perlahan. Seharian Bagas menenggelamkan diri dalam pekerjaan, ia sibukkan diri agar tak sempat memikirkan Nidya lagi, meskipun sesekali bayangan dan senyum Nidya hadir saat Bagas menatap meja dan kursi Nidya yang belum dipindahkan. Dengan gontai Bagas berjalan menuju lift, setelah menyelesaikan semua pekerjaannya Bagas akan pulang ke rumah orang tuanya dan ia harus menyiapkan jawaban yang logis untuk Mirna, mamanya. Setiap Bagas tak pulang ke rumah Mirna akan mencecar beribu pertanyaan hingga ia puas. Sebenarnya Bagas lebih nyaman tinggal di apartemen mewahnya ketimbang di rumah, namun Abimana tidak pernah mengizinkan kedua anaknya ke luar dari rumah sebelum berumah tangga. Bagas terdiam di dalam mobilnya, lewat kaca mobil pandangan Bagas fokus pada gadis mungil yang selalu menguasai ruang di hatinya. Ia tersenyum menatap gadis itu ke luar area parkir dengan motor maticnya. Ingatannya kembali ke masa lalu. Flashback On... "Miss, pulang bareng saya yuk?" Sapa Bagas saat melihat Nidya duduk sendiri di halte bus. Nidya hanya menggeleng sambil tersenyum, Bagas tak mau menyerah ia menepikan motor sportnya sambil melepas helm lalu meletakkan di atas tanki motornya di pinggir jalan lalu duduk di kursi sebelah Nidya. "Udah kamu pulang dulu aja sana!" ucap Nidya saat Bagas duduk di sampingnya dengan seringai jail. Bertemu dengan Bagas selalu berhasil membuatnya kesal. "Klo Miss nggak mau saya antar pulang, saya tunggu Miss di sini sampai busnya datang," balas Bagas dengan tersenyum sambil menatap wajah Nidya dari sampingnya. "Tumben Najwa kembaran kamu nggak bareng pulang bersamamu?" Tanya Nidya heran, karena selama ini mereka selalu bersama. "Najwa tadi dijemput supirnya!" Balas Bagas singkat. Rencananya kali ini harus berhasil, kemarin Bagas sengaja merusak motor matic Nidya dengan mengambil busi motornya. Dan tentu saja dengan bantuan Najwa, selain bersaudara mereka adalah pasangan yang solid dalam segala hal, meskipun saat melakukan kenakalan seperti saat ini. Lima belas menit berlalu, bus yang Nidya tunggu tak kunjung datang, Nidya mulai gelisah saat awan mendung berarak mulai menunjukkan akan turunnya hujan. Nidya ragu, masa iya ia harus pulang bersama siswanya sendiri, bisa jadi besok ia akan menjadi bahan bullyan teman-teman se-PKL nya jika ada yang melihat dirinya bersama Bagas. Sedang Bagas dengan santainya berdiri di samping Nidya sambil mengulurkan tangannya. "Ayo, Miss mau nunggu hujannya deras? Atau mau hujan-hujanan sekalian sama saya?" Ucap Bagas dengan tersenyum. Tanpa menunggu jawaban Nidya, Bagas menarik tangan Nidya menuju motornya dan dengan terpaksa Nidya menurutinya. Nidya merasa tak nyaman saat tubuhnya harus menempel di punggung Bagas, beberapa kali Nidya berusaha sedikit mundur tapi percuma saja tubuhnya akan kembali menempel. "Pegangan Miss!" Tangan Bagas menarik tangan Nidya bergantian, melingkarkan di perutnya. Nidya mulai kesal, saat dirinya akan protes seketika Bagas menambah kecepatan motornya sehingga membuat Nidya semakin mengencangkan pegangan di perut Bagas. Flashback Off Tin...Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Bagas. "Ngapain kamu bengong dari tadi di dalam mobil?" Tegur Abimana saat Bagas membuka kaca mobilnya. Bagas hanya tersenyum lalu mengangguk dan menjalankan mobilnya. *** Tanpa sadar Bagas berdiri tepat di depan kamar apartemen Nidya. Entah berapa lama Bagas berdiri mematung di sana, dengan tekat ia tekan tombol bel di depannya. Klek... Pintu terbuka, wajah cantik yang selalu ia rindukan kini berada tepat di hadapannya. "Ngapain Pak Bagas kemari, kita sudah tidak ada urusan lagi kan?" ucap Nidya dingin, Nidya hendak berbalik dan menutup pintu namun tangan Bagas menahan pintu itu dengan tatapan sendu. Melihat itu hati Nidya jadi terenyuh, ia berjalan masuk lalu diikuti Bagas. "Aku merindukanmu Nid, aku hanya ingin kau tau, aku merindukanmu," Bagas memeluk Nidya dari belakang dengan erat, seketika tubuh Nidya menegang, jantungnya berpacu lebih cepat mendengar pengakuan Bagas. "Lepasin!" Nidya meronta berusaha melepas pelukan Bagas, usaha Nidya sia-sia karena Bagas semakin mengeratkan pelukannya. "Biarlah seperti ini sebentar saja Nid.. Aku mencintaimu Nidya." Pengakuan Bagas membuat Nidya berhenti meronta. Air mata Bagas menetes mengenai tangan Nidya yang membuat tubuh Nidya membeku seketika. "Lima tahun aku tak bisa berhenti memikirkan kamu, lima tahun pula hatiku gelisah selalu bertanya, mengapa kau pergi meninggalkanku?" Luapan hati Bagas membuat hati Nidya semakin teriris, ia pun menangis dalam pelukan Bagas. "Sudah cukup! Aku tak mau mendengar apa pun lagi tentang kita, bukankah kau membenciku?" Nidya membalikkan tubuhnya lalu menatap ke dalam mata Bagas dengan senyuman sinis. Hatinya begitu sakit atas penghinaan Bagas yang dilontarkannya kemarin, lalu mengapa sekarang ia memberi pengakuan sebaliknya. "Apa kau tidak jijik dengan perempuan sepertiku yang sering tidur dengan bergonta-ganti laki-laki?" Nidya mengucapkannya dengan suara bergetar. Bagas menatap Nidya dengan nanar, perih di hatinya semakin menyakitkan saat kata-kata itu terucap dari bibir Nidya. Bagaimana bisa kemarin Bagas mampu mengucapkan kata menjijikkan itu pada wanita yang ia cintai. "Nid.. Maafkan aku." Bagas berusaha meraih tubuh Nidya yang seketika ditangkis Nidya. "Cukup Pak Bagas, kita tidak memiliki urusan apa pun lagi sekarang, status kita hanya sebagai bos dan karyawan!" Ucap Nidya tegas sambil menyeka air matanya dengan kasar lalu mendorong tubuh Bagas ke luar dari apartemennya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN