4. I'm Jealous

1279 Kata
"Maaf, Nona Nidya masih singel kan?" tanya Ronald pada Nidya setelah berakhirnya kesepakatan kerjasama antara perusahaan Lasmana dengan perusahaan Ronald. Bagas mengernyitkan alisnya karena tidak suka dengan sikap rekan bisnisnya pada Nidya. "Iya Pak," balas Nidya sopan sambil menganggukkan kepala. "Baguslah klo begitu, mau saya kenalin sama anak saya, sebentar lagi dia yang menggantikan saya di perusahaan, saya yakin Nona Nidya cocok dengan putra saya," ucap Ronald tersenyum cerah. Ronald menyukai sikap sopan Nidya dan tentu saja keanggunan Nidya dengan jilbabnya, zaman sekarang susah mencari menantu idaman seperti Nidya. Bagas gusar mendengar perkataan Ronald, ia berusaha menahan emosinya dengan tetap bersikap tenang. Ia tak mau merusak citra diri dan perusahaannya hanya karena wanita yang belum pasti mencintainya. "Maaf Pak Ronald kami harus segera kembali ke kantor untuk menyiapkan berkas meeting dengan klien nanti sore, sekali lagi terima kasih atas waktu dan kerjasamanya," pamit Bagas dengan ramah, padahal di dalam hatinya bergejolak amarah yang besar. Selama perjalanan menuju kantor suasana di dalam mobil begitu hening, Nidya melirik bosnya sekilas yang tampak kelam, Nidya tak peduli dengan sikap dingin Bagas, ia mengeluarkan sepasang earphone dari dalam tasnya lalu memasangkan di telinganya, ia nikmati alunan musik sambil memejamkan mata, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk, melihat nama yang tertera pada layar ponselnya Nidya tersenyum lebar, seseorang yang selalu ia rindukan. "Assalamualaikum?" ucap Nidya dengan raut bersinar, Bagas melirik Nidya penasaran karena melihat raut wajah Nidya yang seketika tampak bahagia. "........" "Ok, sampai ketemu di hari Minggu, I love u to," Nidya memejamkan mata kembali sambil bersenandung lirih mengikuti lirik lagu yang ia dengar tanpa memperdulikan raut wajah Bagas yang memerah karena menahan emosi. Saat mendengar suara merdu Nidya Bagas terperangah tak percaya, suara merdu itu seketika menghipnotis Bagas hingga melupakan amarahnya, dengan ragu Bagas ingin meraih tangan Nidya dan menyatakan perasaannya. "Udah biarin tuh cewek yang ngejar loe, loe kan ganteng, tajir pula, tinggal tebar pesona aja," ego Bagas mengingatkan. Seketika tangan Bagas yang hampir meraih tangan Nidya kembali ia tarik. Tanpa sadar Bagas memukul setir mobil dengan kasar yang membuat Nidya membuka matanya, melihat wajah kelam Bagas, Nidya mengedarkan pandangannya ke luar, berusaha menikmati perjalanan yang terasa sangat lama itu. Sesampainya di area parkir kantor, Bagas melenggang pergi tanpa memperdulikan Nidya, Nidya hanya mengedikkan bahu tak mengerti dengan sikap bosnya yang memang sering berubah-ubah, padahal tadi sebelum meeting pria itu baik-baik saja. "Hai Ulfa!" sapa Nidya ramah melihat Ulfa yang sibuk di balik kubikel saat memasuki kantor. "Hai juga Nidya cantik, kenapa lagi si Bos?" balas Ulfa sambil menanyakan tentang bosnya dengan bahasa bibir. Nidya hanya tersenyum sambil tak acuh mengikuti langkah bosnya yang sudah menjauh. Bagas duduk di kursi kebesarannya lalu memutar kursi membelakangi Nidya, perasaannya kacau sejak bertemu Nidya kembali. Setiap ia berusaha ingin memulai berbicara tentang alasan Nidya pergi dulu, selalu berakhir gagal, bukannya bertanya justru Bagas memarahi Nidya atau memberinya pekerjaan tambahan. Ia selalu hilang akal saat berhadapan dengan Nidya. "Nid, sudah kamu siapkan berkas untuk kita meeting jam 7 nanti?" tanya Bagas memecah kesunyian. "Sudah Pak?" jawab Nidya singkat sambil mengangkat wajahnya dari layar laptop lalu menatap Bagas, Nidya mulai terbiasa dengan sikap bosnya yang moody. Nidya sudah tak memikirkan sikap Bagas yang terkadang tiba-tiba baik atau hanya dengan hitungan detik saja sudah berubah dingin seperti saat ini. "Oya mulai besok tolong jangan pakai baju yang terlalu menonjolkan lekuk tubuhmu," Bagas berdiri tepat di depan Nidya sambil menelisik penampilan Nidya. Nidya mengikuti pandangan Bagas yang mengarah ke tubuhnya mengamati pakaian yang ia kenakan, tak ada yang salah dengan dirinya, ia hanya memakai celana bahan, kemeja lalu ia rangkap dengan blazer, serta jilbab rapi masuk ke dalam. "Maksud Bapak?" tanya Nidya dengan nada kesal. Setahunya semua pegawai perempuan di sini berpakaian seksi bahkan tak sedikit yang memakai rok mini di atas lutut tapi mengapa hanya dia yang mendapatkan protes. "Emang ada yang salah dengan penampilan saya Pak?, saya sudah berusaha berpakaian sopan," tantang Nidya, kesabarannya mulai menipis menghadapi bosnya, kalau urusan pekerjaan tak masalah ia dimarahi dan diatur-atur tapi soal hal pribadi ia tak mau. Tanpa menghiraukan protes Nidya Bagas berbalik dan masuk ke dalam kamar pribadinya. Dengan kesal Nidya pun pergi menghampiri Ulfa yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. "Sibuk Fa?" tanya Nidya sambil mengintip kubikel Ulfa, karena kesal Nidya ke luar ruangan Bagas lalu menghampiri teman barunya, Ulfa yang memang satu lantai dengan kantornya. "Kenapa wajah kamu kusut banget, pasti bos kamu bikin ulah lagi ya?" selidik Ulfa dengan tersenyum, ia kenal betul watak kaku Bagas, makanya dari dulu waktu ditawari Abimana untuk menjadi sekretaris Bagas ia langsung menolak, ia juga yang menyakinkan Abimana agar Nidya lah yang lebih pantas menjadi sekretaris Bagas. "Pak Bagas itu orangnya moody ya, masak nggak ada sebab apa-apa tiba marah trus tiba-tiba baik lagi," terang Nidya dengan wajah kesal lalu kedua tangannya melipat untuk menumpu dagunya. "Nid kamu tuh kudu sabar menghadapi bos satu itu, maklum jomblo sejati, butuh belaian," bisik Ulfa di kalimat terakhirnya ia khawatir ada yang mendengar. Ulfa menarik kursi kosong di sebelahnya lalu menyuruh Nidya untuk duduk. "Apa yang ia lakukan padamu Nid, ceritakan padaku?" tanya Ulfa penasaran dengan suara hampir berbisik. Mulailah Nidya bercerita tentang permintaan bosnya yang menyuruh merubah penampilan. "Hahaha..." Tawa kencang Ulfa yang seketika Nidya bungkam dengan tangannya karena beberapa karyaman menoleh menatap heran pada mereka berdua. "Berarti kamu spesial Nid, selama ini bos nggak pernah protes tuh penampilan karyawannya," terang Ulfa masih menahan tawanya. Drdrdrdr...hp Nidya bergetar. Boss Bagas calling.... Nidya dengan lesu menunjukkan nama yang tertera pada layar ponselnya. Nidya lalu menjawab telpon Bagas sambil berpamitan pada Ulfa. Nidya menuju kantornya kembali dengan kepala tertunduk, rasanya ingin sekali ia maki-maki bosnya itu. "Untung ganteng coba nggak...," cibir hati Nidya saat sudah berada di hadapan Bagas. "Kamu siap-siap untuk meeting nanti, bawa baju ganti kan?" tanya Bagas tanpa sungkan. Nidya hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Klo gitu kamu pakai dulu kamar saya," ucap Bagas datar sembari memencet tombol remote untuk membuka pintu kamarnya. Nidya hanya pasrah mengikuti perintah bosnya, ia sedang malas berdebat sekarang. Karena semakin ia mendebat bosnya ia akan semakin memperoleh pekerjaan lebih banyak. Nidya ke luar dari kamar Bagas dengan pakaian yang tak jauh berbeda dengan pakaian sebelumnya, ia mengenakan celana bahan berwarna cream dan kemeja hitam rapi dengan gespernya. Bagas menghembuskan nafas kasar melihat penampilan Nidya, ia sungguh tak rela jika body seksi Nidya dinikmati laki-laki lain. Menurutnya pakaian yang dikenakan Nidya masih membentuk lekuk tubuhnya. Pukul 19.15 menit klien yang mereka tunggu pun datang, setelah berbasa-basi mereka langsung membicarakan hal inti kerjasama yang akan mereka sepakati. Meeting kedua berjalan lancar, mungkin karena Bagas dengan klien kedua ini hampir seumuran jadi perbincangan mereka terkesan lebih akrab. Berbeda dengan Nidya yang lebih banyak diam, perasaan bersalahnya pada klien di hadapannya membuatnya merasa tak nyaman. Jadi ia lebih memilih menjadi pendengar setia selama meeting berlangsung. "Maaf Pak Bagas, saya boleh berbincang sebentar dengan Nidya? kebetulan kami sudah lama kenal," ucap Deanova sopan pada Bagas sambil menyalami tangan Bagas. "Tentu saja, Silahkan!" jawab Bagas dengan senyum datar lalu beralih menatap Nidya tajam, Bagas melenggang pergi meninggalkan mereka berdua. Bagas memperhatikan Deanova dan Nidya yang tampak sedang berbincang serius dari dalam mobil, ia sengaja menunggu Nidya meskipun tadi Deanova sudah izin akan mengantarkannya pulang, cukup sudah hatinya terbakar cemburu. Bukannya Bagas tak mengerti, selama meeting tadi Bagas melihat Deanova berulang kali mencuri pandang pada Nidya secara diam-diam. Saat Bagas akan turun dari mobil ia melihat Deanova mencekal tangan Nidya dengan kasar. Dengan cepat Bagas menghampiri mereka. "Maaf, saya masih ada keperluan penting dengan Nona Nidya sebentar," ucap Bagas masih bersikap tenang lalu menarik lengan Nidya dengan paksa dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Rahang Deanova mengeras bersamaan dengan kepergian Bagas dan Nidya. __________________&&&_________________ Judul Buku : My Beloved Teacher Author : Farasha
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN