"Loh ngapain Pak kita berhenti di sini?" tanya Nidya heran saat Bagas memarkirkan mobilnya di depan sebuah butik pakaian muslimah. Tanpa menanggapi pertanyaan Nidya Bagas membuka pintu mobil untuk Nidya dan mengajaknya masuk ke dalam butik tersebut. Nidya mengikuti langkah Bagas memasuki pintu kaca butik tersebut dengan kesal. Nidya mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut butik yang memamerkan baju-baju branded, Nidya sesekali menelan ludah saat melihat bandrol yang tertera pada baju yang ia pegang, semuanya mahal tak sesuai dengan ukuran kantongnya.
Bagas kembali ke tempat Nidya setelah menyuruh pegawai butik mengambil setumpuk baju pilihannya.
"Bapak mau membelikan baju buat pacarnya?" tanya Nidya penasaran dengan heran karena melihat banyaknya pakaian di tangan pegawai butik yang berada di sebelah Bagas.
"Mbak tolong pilihan baju buat pacar saya ini, saya mau tunik dan celana bahan saja!" perintah Bagas pada karyawan butik. Nidya hanya diam membeku saat karyawan butik itu menempelkan baju ke tubuhnya.
"Enak aja ngaku-ngaku pacar nembak aja nggak pernah apalagi jadian," gerutu Nidya dalam hati dengan kesal karena sikap Bagas yang seenaknya, ia benar-benar tak habis pikir Bagas akan senekat ini.
"Mulai besok kamu kerja pakai baju yang aku belikan, besok kalo masih kurang kita belanja lagi," ucap Bagas dingin tanpa ekspresi, kini mereka telah berdiri tepat di depan apartemen Nidya.
"Bapak mau mampir dulu?" balas Nidya pura-pura berbasa-basi menawari Bagas untuk mampir namun bukan Bagas namanya kalau tidak berhasil membuat Nidya kesal.
"Memang aku sengaja mampir," jawab Bagas sambil berbisik mendekat ke telinga Nidya, seketika jantung Nidya berpacu lebih cepat, wajahnya terasa memanas.
"Mari Pak." Nidya membuka pintu dan membiarkannya terbuka saat Bagas masuk ke dalam apartemennya. Apartemen yang Nidya beli cukup luas. Namun masih tampak kosong, masih banyak perkakas dalam kardus tertata di sudut ruang tengah, Bagas duduk di ruang tengah, ia memperhatikan seluruh ruangan yang terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga yang bersambung dengan ruang makan, dan dapur dengan detail.
"Maaf Pak apartemen saya masih berantakan belum sempat menatanya," ucap Nidya sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja depan Bagas.
"Terima kasih Nid," jawab Bagas sambil tersenyum lalu menyesap kopi yang masih panas itu.
"Aduh senyumnya, bisa-bisa aku jatuh cinta lagi nih," gerutu hati Nidya sambil menikmati senyuman manis itu, baru pertama kali ini Bagas tersenyum manis padanya sejak mereka bertemu kembali.
Setelah menghabiskan secangkir kopinya Bagas bergegas pamit, ia tahu batasan diri jangan sampai terjerumus lagi dalam dosa besar. Dulu hubungannya bersama Nidya terjalin dengan jalan yang salah, kali ini Bagas tidak akan melakukannya lagi.
"Kamu milikku," ucap Bagas lalu melenggang pergi meninggalkan Nidya yang membeku di tengah pintu apartemennya.
****
Pagi itu Nidya tetap berpenampilan seperti biasanya tanpa memperdulikan Bagas yang bersikap dingin padanya.
Hampir setengah hari ruangan itu sepi tanpa suara, Bagas menyibukkan diri mengecek semua berkas yang akan ia tanda tangani, sedang Nidya juga tenggelam dalam pekerjaannya, kata-kata Bagas semalam tak membuatnya resah karena ia yakin Bagas memiliki kekasih, kali ini Bagas pasti menjahilinya lagi.
"Bapak mau kemana?" tanya Nidya heran saat melihat Bagas membereskan berkas lalu memasukkannya ke dalam tas, tidak mungkin Bagas pulang di jam awal seperti ini.
"Kamu boleh pulang, saya ada urusan!" jawab Bagas dingin tanpa menoleh ke arah Nidya lalu ke luar kantor menuju lift. Nidya bersorak senang dalam hati saat tubuh Bagas hilang bersama lift, akhirnya ia bisa pulang lebih awal di hari Sabtu, ia sudah rindu dengan kekasih kecilnya yang hampir dua minggu tak ia temui.
***
"Tumben kamu jam segini udah pulang?" tanya Marni curiga saat melihat Bagas menaiki tangga menuju kamarnya.
"Capek Ma, ingin istirahat," jawab Bagas tanpa bersemangat. Marni tak acuh dengan jawaban Bagas lalu kembali menonton acara televisi kesayangannya di ruang keluarga.
Jam 7 malam Marni memanggil Bagas untuk makan malam bersama, jarang-jarang anak sulungnya bisa makan malam bareng keluarga di rumah, biasanya minim jam 10 Bagas baru pulang dari kantor.
"Mas, jalan-jalan yuk, ini kan malam Minggu masak Mas sih di rumah aja?" ajak Hasna, adik Bagas satu-satunya itu dengan manja.
"Males ah, masak Mas jalan sama anak SMA entar Mas dikira jalan sama brownis dong, nggak level ah!!" jawab Bagas sambil melanjutkan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Ma bantuan aku ngerayu Mas Bagas dong, aku pengen jalan sama Mas Bagas kan udah lama banget tuh kita nggak jalan kayak dulu, Mas kan kerja mulu," rengek Hasna meminta bantuan Marni, mamanya.
"Udahlah Gas turuti adik kamu, Hasna cuma kangen sama kamu," sahut Marni sambil menatap tajam pada Bagas tanda perintah yang tak bisa ditolak.
"Ok, sana ganti baju dulu, jangan pakai celana pendek!" perintah Bagas yang langsung di jawab Hasna dengan tangan di kening tanpa siap seperti pada komandannya.
"Dasar Hasna," ucap Abimana dengan tersenyum.
"Oya Gas gimana dengan pekerjaan Nidya, bagus kan?" tanya Abimana yang seketika membuat wajah Bagas muram.
"Bagus kok Pa!" jawab Bagas singkat tak bersemangat. Abimana dan Marni saling memandang, pasti ada sesuatu yang telah terjadi di kantor.
Setelah makan malam Marni mengirim pesan Whatssapp kepada Ulfa, Marni tersenyum bahagia saat membaca jawaban pesan Ulfa. Abimana hanya menggelengkan kepala menyadari tingkah istrinya yang memang selalu usil dan ingin tahu.
"Sudahlah Sayang biarlah mereka melakukan pendekatan sendiri, kita tidak usah ikut campur urusan mereka," ucap Abimana tenang lalu duduk di sebelah istrinya mengecup kening Marni sekilas.
"Pa Ma, kami pergi dulu ya?" pamit Hasna menghampiri Abimana dan Hasna lalu mencium pipi kedua orang tuanya.
"Jangan nakal, jangan buat Mas kamu marah," pesan Marni pada anak gadisnya.
"Siap laksanakan!" jawab Hasna yang di barengi tawa kedua orang tuanya.
"Naik motor Mas?" tanya Hasna dengan mata berbinar. Bagas mengangguk lalu mengusap lembut rambut Hasna dengan sayang. Saking sayangnya Hasna tak pernah sekalipun dekat dengan cowok seumurannya, Bagas akan langsung menginterogasi teman cowok Hasna yang datang ke rumah. Hasna pun tak pernah protes karena Bagas juga selalu memanjakannya.
***
Saat Bagas dan Hasna membeli minuman di foodcorn tak sengaja Bagas melihat Nidya menggandeng seorang anak laki-laki berusia sekitar 4 tahunan.
"Bentar Dek, Mas ke toilet dulu!" pamit Bagas, ia berdiri mendekat ke arah Nidya namun langkahnya terhenti saat melihat seorang laki-laki yang ia kenal mendekat dengan di tangannya membawa sebuah balon lalu meraih anak itu dan menggendongnya. Mereka tampak akrab dan bahagia, laki-laki itu Deanova partner bisnis yang ia temui kemarin.
Dengan perasaan hancur Bagas berbalik kembali ke arah Hasna lalu mengajaknya pulang dengan paksa. Sepanjang menuju area parkiran mall Hasna mengomel tiada henti namun bagi Bagas omelan Hasna bagai angin lalu, pikirannya masih kacau dengan apa yang ia lihat barusan.
"Mama aku mau es cream cokelat," suara lucu seorang anak kecil membuyarkan lamunan Bagas saat di area parkir.
"Pak Bagas!" sapa laki-laki yang bersama Nidya, laki-laki itu mendekat dan menyalami Bagas, Bagas membalas uluran tangan Deanova namun pandangannya masih fokus menatap Nidya yang juga terlihat kaget dengan pertemuan tak terduga ini.
"Ayah, ayo pulang aku ngantuk," rengek anak kecil itu yang seketika membuat Deanova berpamitan.
"Mas ayo pulang kok tambah bengong sih!" ajak Hasna dengan kesal sambil menarik tangan Bagas. Bagas menatap Nidya dengan tatapan tak percaya sedangkan Nidya menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca, ingin rasanya ia berterus terang dengan semuanya.
"Ma ayo!" panggil anak kecil itu yang seketika memutus kontak mata di antara mereka.
__________________&&&_________________
Judul Buku : My Beloved Teacher
Author : Farasha