Tak terasa sudah seminggu Nidya bekerja sebagai sekretaris Bagas, ia sudah mulai kebal dengan keusilan Bagas padanya. Namun Nidya berusaha bersikap netral saat terkadang Bagas memujinya meskipun dalam hatinya sedang berbunga-bunga, Nidya sadar Bagas sudah memiliki kekasih, dan ia pun sadar jika ia hanya sekeping masa lalu Bagas. Nidya menganggap keusilan Bagas hanya untuk menggodanya seperti dulu, saat ia masih menjadi muridnya. Nidya akui sampai detik ini perasaannya pada Bagas masihlah sama. Tidak pernah berubah.
Dengan langkah berat Nidya memasuki gedung kantornya ia yakin bos gantengnya pasti sudah stay di meja kerjanya. Nidya heran dengan bosnya yang gila kerja itu, setiap hari pulang bekerja paling cepat pukul 7 malam, malahan terkadang sampai pukul 10 malam, di hari Sabtu kemarin saja mereka pulang pukul 5 sore padahal semua karyawan sudah bubar di pukul 12 siang, mau tidak mau sebagai sekretarisnya Nidya selalu menunggu sampai pekerjaan bosnya selesai, untung saja apartemen Nidya dekat dengan kantor yang hanya berjarak sekitar 500 m dan Nidya hanya butuh 10 menit untuk sampai di apartemen dengan menggunakan motor maticnya.
Bagas pura-pura serius dengan pekerjaannya saat terdengar suara sepatu Nidya mendekat. Bagas memang gila bekerja tapi sekarang lebih gila lagi, ia sering sengaja berlama-lama di kantor hanya untuk bisa lebih lama bersama Nidya. Paling tidak bisa seharian memandangi wajah Nidya dengan sepuasnya.
"Assalamualaikum Pak Bagas!" Sapa Nidya ramah sebelum duduk di meja kerjanya, sebenarnya Nidya merasa tak nyaman harus satu ruangan dengan bosnya, ini murni permintaan Bagas yang tak bisa ditolak Nidya. Ulfa sendiri keheranan saat mengetahui Nidya dan Bagas berada dalam satu ruangan, padahal Bagas sebelumnya tidak pernah setuju jika ruangannya harus berbagi dengan sekretarisnya. Bagas tak suka jika privasinya terusik.
"Waalaikumsalam Nidya!" Balas Bagas singkat tanpa menoleh.
"Tolong bacakan agenda saya hari ini!" Perintah Bagas selang 15 menit setelah kedatangan Nidya.
"Baik Pak!" Sambil membuka buku agenda Nidya membacakan agenda Bagas hari ini yang sudah ia persiapkan dari kemarin.
"Ok, terimakasih," ucap Bagas setelah Nidya membacakan agendanya hari ini, ia harus menemui 2 klien sekaligus.
"Pak saya permisi dulu!" Izin Nidya saat istirahat jam makan siang. Namun saat Nidya hendak menyentuh gagang pintu Bagas memanggilnya.
"Kita makan di sini saja, saya sudah delivery order makanan, pukul 2 kita bertemu klien agar tidak telat dan kamu bisa salat di kamar pribadi saya!" Ucap Bagas tenang.
"Apa! Kamar Bapak?" Nidya syok dan berbalik menghadap Bagas dengan kesal.
"Iya kamar saya, kenapa kamu keberatan? Daripada kamu capek-capek turun ke lantai 3 untuk salat jadi lebih efisien kita salat di sini saja," jawab Bagas lalu mengeluarkan remote control dari laci mejanya, Nidya terkejut saat melihat rak buku di ruangan itu bergerak lalu terlihat sebuah pintu di belakangnya. Nidya mengikuti langkah Bagas memasuki ruangan itu, Nidya takjub dengan ruangan yang bernuansa putih dan bersih itu. Ruangan ini hanya terdiri dari ranjang berukuran King, kamar mandi, dan meja kerja. Di atas kepala ranjang terdapat lukisan abstrak yang cukup besar dan unik. Kamar ini mengingatkan kenangan 5 tahun silam saat dirinya menghabiskan tiga malam bersama Bagas di Bali.
Sreek.. Suara tirai besar membuyarkan kekagumannya. Dari kaca besar itu tampak kota Surabaya yang padat, Nidya membayangkan kerlap-kerlip lampu kota Surabaya saat malam hari pastilah sangat indah bila dilihat dari tempatnya berdiri.
"Saya sering menghabiskan waktu di sini!" Ucapan Bagas membuyarkan lamunannya. Nidya gugup seketika saat mendengar suara lembut Bagas.
"Kamu mau mandi dulu atau langsung wudhu? Handuknya ada di lemari." Bagas hanya melirik Nidya datar sambil melepas jas dan kemejanya lalu ia letakkan di atas ranjang. Melihat Bagas hanya memakai kaos sinlet yang mencetak d**a bidangnya jantung Nidya berdetak lebih cepat, ia segera menunduk mengalihkan penglihatan hingga Bagas menghilang di balik pintu kamar mandi.
Di bawah siraman air shower Bagas mereda gejolaknya yang tiba-tiba muncul, tadinya ia hanya ingin berwudhu karena merasa tubuhnya tiba-tiba panas ia memutuskan untuk mandi. Bagas heran mengapa setiap berdekatan dengan Nidya rasanya selalu seperti ini. Perasaan yang Bagas sendiri tak bisa mengidentifikasikannya. Bagas teringat kisah cinta masa lalunya bersama Nidya yang belum usai, ingin sekali rasanya Bagas menanyakan langsung pada Nidya namun ego seolah melarangnya.
Lima tahun silam...
"Miss Nidya?" Panggil Bagas sambil berlari mendekati Nidya dengan nafas memburu lalu membungkuk dengan kedua tangannya memegang lutut.
"Loh kamu kok di sini Gas? Mau ke mana? Terus sama siapa kamu?" Cecar Nidya dengan pertanyaan beruntun sambil memperhatikan Bagas yang masih mengatur nafasnya.
"Kita memang berjodoh ya Miss? Oya sekarang kan saya sudah bukan murid Miss lagi berarti boleh ya saya panggil Nidya saja?" Goda Bagas melihat wajah terkejut Nidya.
"Terserah kamu aja!" Balas Nidya cuek lalu bergegas pergi, menjadi muridnya hanya 1,5 bulan saja sudah membuatnya kerepotan dan sekarang ia malah bertemu dengan Bagas di Bandara Ngurah Rai Bali.
"Aku serius Nidya, kamu mau kan jadi istriku!" Ucap Bagas sambil menarik tangan Nidya lalu memeluknya.
"Kamu ini ya masih kecil ngomongin istri-istri mulu!" Balas Nidya sambil berusaha melepas pelukan Bagas. Namun Nidya pasrah saat usahanya mendorong tubuh jangkung Bagas gagal. Tanpa sadar Nidya tersenyum menikmati desiran halus dari sudut hatinya.
"Sini aku bawa!" Bagas melepaskan tas ransel Nidya dari lengannya lalu menarik tangan Nidya ke arah pintu ke luar bandara.
"Lepasin Gas, kita mau ke mana sih!" Nidya meronta berusaha melepaskan genggaman Bagas.
"Kamu ikut aja atau mau aku gendong?" Goda Bagas dengan seringai m***m, Nidya bergidik ngeri sambil menggelengkan kepalanya.
Sampailah mereka di sebuah resort mewah di kawasan pantai Kuta, menyadari hal itu Nidya panik dibuatnya. Namun kepanikannya surut saat Bagas mengantarkannya di sebuah kamar lalu meletakkan ranselnya di atas ranjang.
"Tiga hari ini kamu milikku Baby!" Ucapan Bagas bersmaan dengan pintu kamar yang tertutup. Nidya memang berencana menghabiskan liburan di Bali selama tiga hari sebelum ia kembali ke Kalimantan. Tak apalah liburan bersama muridnya hitung-hitung buat hiburan, pikir Nidya.
Sore itu Nidya dan Bagas menyusuri pantai dengan menyaksikan sunset, mereka selalu bergandengan tangan bagai sepasang kekasih. Dengan wajah baby face Nidya dan tinggi tubuh Bagas mereka tak tampak seperti sepasang guru dan murid. Mereka lebih pantas menjadi sepasang kekasih.
Setelah makan malam mereka kembali ke resort, mereka habiskan waktu dengan bercerita saat-saat mereka di sekolah. Namun saat Nidya beranjak pamit untuk beristirahat Bagas tiba-tiba menarik tangan Nidya yang mengakibatkan Nidya terjatuh tepat di atas tubuhnya. Mereka saling menatap lalu tanpa sadar bibir mereka menyatu saling mencecap, hati Nidya ingin menolak tapi raganya hanya pasrah dengan buaian Bagas yang membuatnya membumbung tinggi hingga akhirnya sesuatu yang paling berharga Nidya terampas oleh Bagas malam itu.
Saat menggeliat Nidya merasakan sakit di tubuh bagian bawahnya, tiba-tiba tangisnya histeris saat menyadari tubuhnya tanpa sehelai benangpun di balik selimut.
"Sayang ada apa?" Ucap Bagas terkejut saat mendengar tangisan Nidya.
"Kamu tenang, aku pasti akan bertanggung jawab Sayang, aku benar-benar mencintaimu!" Bagas memeluk tubuh Nidya berusaha menenangkan kepanikan Nidya. Semalam Bagas sungguh lepas kendali, ia memang berniat menjalin hubungan serius dengan Nidya, tapi untuk menikah Bagas pun belum siap, ia masih harus mengejar cita-citanya.
Flashback off...
Klek.. Pintu kamar mandi terbuka lebar, Nidya terpaku sesaat melihat Bagas ke luar dari kamar mandi hanya mengenakan selembar handuk yang melingkari pinggangnya. Ia buru -buru masuk ke dalam kamar mandi karena gugup. Bagas tersenyum simpul lalu memakai sarung dan kemejanya menyiapkan sajadah untuk mereka salat berjamaah. Bagas tahu setiap bekerja Nidya selalu membawa mukena sendiri makanya tadi ia berinisiatif mengajaknya salat di kamar pribadinya.
Setelah salat Nidya bergegas ke luar dari kamar pribadi Bagas sedangkan Bagas masih terlarut dalam doa panjangnya, Ia memohon ampunan kepada-Nya atas dosa-dosa yang telah ia perbuat. Apakah sebuah pertanda, dengan kehadiran Nidya di sampingnya Bagas memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya dulu?. Dan Bagas yakin semua adalah sebuah pertanda baik.
__________________&&&_________________
Judul Buku : My Beloved Teacher
Author : Farasha