Rachel menatap sebuah almamater yang berada di atas ranjang miliknya. Gadis itu menghela napasnya pelan.
"Sean Erlangga, apa kau benar-benar peduli padaku?"
Gadis itu segera melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya dan segera pergi ke Kafe milik Vincent, tempat di mana ia bekerja.
Ia baru saja membuka pintu flat miliknya dan langsung di dikejutkan oleh keberadaan seseorang yang berada di baliknya. Orang itu terlihat masih mengenakan kemeja sekolahnya dengan kedua lengannya yang sengaja ia lipat hingga siku.
Rachel melotot. "A-apa yang kau lakukan di sini?!"
"Ah, aku baru saja ingin mengetuk pintunya,” ucapnya tanpa menggubris ucapan Rachel barusan.
"Pergilah, aku sibuk,” ucap Rachel. Namun baru saja ia hendak melangkahkan kakinya, orang itu langsung mendorong tubuhnya kembali ke dalam dan langsung menutup pintunya.
"Hei!! A-apa yang kau lakukan?!! Sean!"
"Aku lapar. Buatkan aku sesuatu,” ucap Sean sembari melepas sepatunya. Kemudian ia membalikkan tubuh Rachel dan mendorong punggung gadis itu supaya berjalan.
"Aku bukan pelayanmu!!" protes gadis itu sembari sesekali menoleh ke belakang.
Tanpa memedulikan ucapan Rachel, Sean mendorong gadis itu ke dapur. Ia dengan mudah mengetahui letak dapur karena letaknya yang tidak jauh dari ruang tamu. Bahkan dari ruang tamu pun akan terlihat, karena flat Rachel memang kecil.
"Cepat masakkan aku sesuatu." titah pria itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Rachel. Ia juga bahkan membawa tas milik Rachel yang tersampir di salah satu bahu gadis itu.
"Belilah makanan jika kau lapar, bodoh!! Aku bukan pelayanmu!!" teriak gadis itu dari dapur seraya memandangi Sean yang kini tengah duduk di sofa sembari memperhatikannya dari sana.
"Buatkan saja aku makanan. Aku akan membayarmu jika perlu,” ucap pria itu santai.
Rachel melotot. Kemudian ia berbalik dan segera melangkahkan kakinya dan mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam kulkas.
"Dia itu!! Dia pikir aku siapa?! Aku bukan pelayannya!" gerutu Rachel sembari mencuci sayuran.
Sean memperhatikannya. Pria itu terkekeh pelan.
Tiga puluh menit kemudian Rachel sudah selesai memasak. Ia meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja di ruang tamunya. Gadis itu menatap Sean sebal.
"Makanlah,” ucapnya ketus.
"Waahh... Kau pintar memasak. Sepertinya enak,” puji Sean kemudian segera meraih sumpit.
Rachel mendengkus seraya melirik jam dinding yang terpajang di sana. Ia terkejut saat menyadari kalau jarum jam itu sudah hampir menunjuk ke angka enam.
"Astaga!! Aku terlambat!!" teriaknya kemudian segera menyambar tasnya yang berada di sofa.
Ia hendak berlari namun sesuatu menahan pergelangan tangannya. Gadis itu menoleh dan mendapati
Sean menatapnya. "Kau di sini saja,” ucapnya.
"Apa?! Aku harus bekerja! Sekarang aku jadi terlambat gara-gara kau!!" Rachel mencoba melepaskan tangan Sean namun tenaganya tidak sebanding.
"Tidak bisakah kau libur satu hari saja, hm? Kau ingin meninggalkanku di sini? Aku bisa memanggil teman-temanku kemari jika aku mau,” ucap Sean. Kemudian ia segera menarik tangan gadis itu hingga terduduk di sebelahnya.
Rachel tampak berpikir. Flat kecil miliknya akan hancur jika teman teman Sean sampai benar-benar datang.
"Aish.. tapi aku harus bekerja! Bagaimana jika aku dipecat?!" teriaknya frustrasi.
"Itu bagus,” ucap Sean enteng kemudian memasukkan nasi kedalam mulutnya.
Rachel melotot.
"Hei!!"
Kemudian Sean menoleh padanya. "Bukankah itu bagus? Itu artinya kau tidak perlu bekerja di sana lagi, dan kau juga tidak perlu pulang saat larut malam."
"Lalu bagaimana aku bisa hidup, bodoh! Kau ingin aku mengemis di jalanan?" Rachel melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Aku bisa membantumu,” ucap pria itu di tengah aktivitas makannya.
"Tsk! Membantu apa yang kau maksud?! Aku tidak percaya padamu, Sean Erlangga."
Sean terkikih mendengar jawaban Rachel.
"Hei.. flat milikmu sempit sekali. Kenapa kau tidak tinggal saja di apartemen,” ucap Sean sembari mengedarkan pandangannya.
"Aku tidak punya uang,” ucap Rachel tanpa mengubah posisinya.
"Pakai saja uangku."
Sontak Rachel langsung menoleh pada Sean. "Apa maksudmu?!"
Pria itu juga menoleh padanya. "Kau bisa memakai uangku. Tinggalah di apartemen. Aku yakin kau pasti tidak cukup nyaman berada di sini."
"Simpan saja uangmu. Aku akan melakukannya dengan tenagaku sendiri,” ucap Rachel. Ia kembali menolehkan kepalanya ke arah jam dinding miliknya.
Sudah hampir pukul enam.
Gadis itu mendengus dan menatap Sean tajam. Pria itu masih makan. Sepertinya ia memang sengaja mengulur waktu.
"Aku sudah terlambat, Sean Erlangga! Jadi bisakah kau menghabiskan makananmu dengan cepat?!" suruh Rachel dengan sebal.
Sementara yang disuruh hanya menunjukkan wajah tanpa dosanya dan kembali memakan makanannya seakan akan dengan gerakan slow motion dan itu membuat Rachel semakin jengah.
Ddrrtt... Ddrrtt...
Tiba-tiba ponsel milik Rachel bergetar. Ia langsung merogoh tasnya dan mengambil benda tipis itu.
Kak Vincent
Rachel baru saja hendak menerima panggilannya namun dengan gerakan cepat Sean merebut benda itu dari tangannya. Pria itu menatap layar ponsel Rachel.
"Hei!!" Protes Rachel sembari berusaha merebut kembali ponsel miliknya. Namun karena Sean lebih tinggi darinya, pria itu memiliki keuntungan. Ia bisa dengan mudah menjauhkan ponsel milik Rachel yang masih bergetar itu dengan tangannya yang ia angkat ke udara.
"Kak Vincent? Siapa dia?” tanyanya begitu setelah membaca nama yang tertera di layar ponsel milik Rachel.
"Pemilik kafe tempatku bekerja. Cepat kembalikan ponselku!!" Ucap Rachel sembari tetap mencoba meraih-raih ponselnya.
"Kau menyebut atasanmu sendiri dengan sebutan kakak,” ucap Sean sembari menaikkan sebelah alisnya.
"Dia menyuruhku memanggilnya begitu!! Aish.. Cepat kembalikan!!"
Sean menghela napasnya. Kemudian ia segera menggeser tombol merah pada ponsel Rachel.
Rachel melotot. "Apa yang kau lakukan?!" Rachel berhasil mengambil kembali ponselnya dan menatap Sean tajam.
Kemudian Rachel menatap layar ponselnya. "Kak Vincent pasti bakalan marah."
Kemudian ia segera mencari kontak Vincent dan segera menelponnya. Ia hendak memberikan penjelasan padanya. Rachel sudah beberapa hari datang terlambat ke Kafe dan hari ini adalah yang paling parah karena ia sudah terlambat lebih dari 30 menit.
"Jangan menghubunginya," titah Sean.
Rachel hanya membalas tatapan pria itu tak kalah tajam. Kemudian kembali memfokuskan indra pendengarannya pada panggilannya.
"Ah, halo— HEI!!!"
Ucapan Rachel berubah menjadi bentakan begitu Sean merebut ponselnya. Lagi. Pria itu bahkan mematikan panggilannya.
"Ku bilang jangan menghubunginya,” ucap Sean.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan, hm?! Apa kau sedang membuatku dipecat dari pekerjaanku?!"
"Ya. Aku ingin kau dipecat dari sana."
Rachel tertawa renyah.
"Kau gila, Sean!" Rachel berusaha merebut kembali ponselnya namun Sean memasukkan benda itu kedalam kantung celananya. "Setidaknya biarkan aku bekerja di sana! Aku memerlukan uang untuk kehidupanku!"
"Kau butuh istirahat, Rachel. Dan aku tidak bisa membiarkanmu bekerja. Apalagi setelah kejadian tadi siang."
"Tskk! Kejadian tadi sama sekali tidak berpengaruh padaku!"
Sean menunjukkan smirk-nya. "Benarkah? Lalu bagaimana dengan pertemuan dengan mantan pacarmu? Kau yakin kau baik-baik saja."
Hal itu membuat Rachel bungkam. Gadis itu tahu siapa yang Sean maksud.
Bohong jika Rachel mengatakan baik-baik saja. Jelas pertemuannya dengan Andrean saat di UKS cukup mempengaruhinya. Ani, itu bukan pertemuan. Andrean sendiri lah yang menemuinya.
Dan itu akan semakin membuatnya kehilangan konsentrasinya saat bekerja, seperti kemarin.
Tapi tunggu!
'Darimana dia tahu kalau Andrean mantan pacarku?' batin gadis itu.
"Aku sudah tahu semuanya. Dan aku tahu kalau kau tidak baik-baik saja. Jadi kau lebih baik tidak bekerja dan beristirahat saja di sini. Lagipula kau setiap hari pulang larut malam. Kau butuh istirahat,” ucap Sean. Pria itu menaruh sumpit disebelah mangkuk nasi. Ia sudah menghabiskan makanannya.
"Lalu sekarang kau mau apa? Kau bukan siapa-siapa dan kau tidak berhak mengatur kehidupanku,” ucap Rachel. Gadis itu kemudian beranjak dari posisinya dan pergi menuju pintu flatnya.
Sean segera mengejarnya. "Kau mau kemana?” tanyanya sembari menahan pergelangan tangan Rachel hingga tubuh gadis itu berbalik menghadapnya.
"Menurutmu?"
"Jangan bekerja."
"Siapa kau berani mengaturku?" Rachel menghempaskan tangan Sean. Kemudian ia segera pergi meninggalkannya.
***
Rachel keluar dari ruangan Vincent dengan langkah gontai. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke dapur.
"Kau terlambat lagi hari ini. Apa temanmu yang kemarin malam mengganggumu lagi?” tanya seorang wanita yang sedang berada di sana. Kemudian segera mendudukan dirinya disebelah Rachel.
Rachel perlahan menoleh padanya. "Dia bukan temanku, Kak."
"Ah, lalu bagaimana jika aku menyebutnya pacarmu,” ucap Lilian sembari terkikik geli.
"Kak!"
"Haha. Aku bercanda. Apa ini memang gara-gara laki-laki itu?” tanya Lilian sembari memperhatikan Rachel yang menundukkan kepalanya.
"Hm. Gara-gara dia aku terlambat. Untung saja Jin Oppa tidak memarahiku. Aku berkata padanya kalau aku ada tugas kelompok dengan teman-temanku dan untung saja dia percaya,” ucap Rachel. Mendengar penuturannya, Lilian tertawa.
"Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya? Sajangnim bisa marah jika tahu kau berbohong,” ucap Lilian.
Rachel langsung mendongakkan kepalanya dan menatap Lilian.
"Apa?! Kakak gila?! Aku tidak mungkin mengatakannya, Kak. Aku bisa dipecat dari sini. Kak Vincent pasti akan langsung memecatku. Dia akan mengira aku bermalas-malasan dengan laki-laki menyebalkan itu. Atau bahkan di juga akan mengira kami berpacaran. Aish.... “
Lilian semakin tertawa mendengarnya.
"Rachel, kau tahu kalau bos kita bukan orang seperti itu. Dia pasti akan mengerti,” ucap Lilian.
Rachel membuang napasnya pelan. "Aku tahu. Tapi tetap saja... “
Rachel menggantungkan kalimatnya. Kemudian Rachel segera beranjak dari duduknya dan segera menyambar sebuah apron ungu yang biasa dikenakannya.
"Hei, kulihat sepertinya laki-laki itu menyukaimu."
"Dia tidak menyukaiku!" Rachel menggembungkan kedua pipinya.
***
Holly's Kafe
10:50 PM
"Kau sudah bekerja dengan baik,” ucap Vincent sembari memberikan sebuah amplop putih kepada Rachel. Gadis itu menerimanya dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
"Terima kasih,” ucapnya sembari membungkukkan badannya sopan.
"Kau bisa pulang sekarang. Ini sudah malam. Ah, mungkin aku bisa mengantarmu,” ucap Vincent.
"Ah, tidak apa-apa. Aku akan pulang sendiri,” ucap Rachel.
"Baiklah. Kalau begitu berhati-hatilah. Hubungi aku jika terjadi sesuatu,” ucap Vincent. Rachel terkekeh pelan.
"Iya” ucap Rachel. Kemudian ia segera keluar dari ruangan Vincent dan melangkahkan kakinya keluar dari kafe.
Ia menatap amplop di tangannya sembari tersenyum.
"Ah, kurasa besok aku harus pergi membeli buku," gumamnya dengan seulas senyuman.
Tubuh Rachel tersentak begitu tiba-tiba seseorang merampas amplop yang dipegangnya. Rachel hendak meneriakinya pencuri, namun ia langsung mengurungkan niatnya begitu dilihatnya Sean-lah yang berdiri dihadapannya.
Rachel membelalakan kedua matanya. "Apa yang kau lakukan di sini?!"
"Aku menunggumu,” ucap Sean.
Rachel tersenyum miring."Cih.. sudah ku bilang tidak ada yang menyuruhmu untuk menungguku, Sean-ssi." Ia berusaha merebut kembali amplop miliknya.
Sean menatapnya tajam. "Bukankah sudah ku bilang agar kau beristirahat saja?!"
"Bukankah sudah ku bilang kalau kau tidak berhak mengaturku?!" tantang Rachel sembari balas menatap Sean tajam.
'Gadis berani,' batin Sean.
"Kau bisa memakai uangku jika kau mau. Berhentilah bekerja di sana,” ucap Sean.
"Aku. Tidak. Tertarik. Dengan. Uangmu." Rachel menekankan setiap kata yang diucapkannya.
"Kalau begitu bagaimana jika kau tinggal di apartemenku."
Rachel menatapnya tidak percaya.
"Kalau begitu pilih salah satu. Kau tetap bekerja di kafe itu dan tinggal bersamaku. Atau kau berhenti bekerja dan tetap tinggal di flat milikmu dengan uangku,” ucap Sean.
Rachel membelalakan matanya.
"Kau gila!" Rachel berusaha meraih-raih tangan Sean yang mengangkat amplop gaji miliknya. Ia bahkan sampai meloncat-loncat.
"Pilih salah satu,” ucap Sean.
Rachel menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Sean tajam. Bagaimana mungkin ia bisa memilih? Itu pilihan yang sulit.
"Kau membutuhkan uang kan? Aku bisa membantumu. Aku bahkan bisa memberikannya berpuluh-puluh kali lipat dari gajimu. Berapa gajimu, huh?"
Rachel mengepalkan tangannya kuat. "Sebenarnya apa maumu?!"
"Aku hanya ingin membantumu. Kau hanya tinggal memilih pilihan yang sudah ku buat."
"Aku tidak tertarik dengan pilihanmu. Kau puas?!"
Sean tersenyum miring. Kemudian ia menatap amplop yang berada di tangannya.
Sreeettt
"APA YANG KAU LAKUKAN?!!!" Rachel berteriak begitu Sean merobek amplop itu.
"Ini pilihanmu, Nona,” ucap Sean. Kemudian ia menghempaskan amplop yang telah dirobeknya itu ke permukaan tanah.
Rachel menahan napasnya. Ia segera berjongkok dan memungutinya. Dapat ia lihat beberapa lembar uang yang sudah tidak berbentuk.Jerih payahnya selama satu bulan hancur dalam sekejap karena pria di depannya.
Rachel segera berdiri dan menatap Sean tajam. Kedua matanya memerah. Bahkan ujung matanya terlihat basah. "Simpan saja uangmu. Aku tidak membutuhkannya,” ucap gadis itu dan pergi dari sana.
Sean tersentak pelan begitu Rachel sampai menubruk bahunya.