Chapter 6

1509 Kata
Rachel menyesap macchiato miliknya dengan malas. Ia mendengus. Lagi. Ini bahkan sudah ke sekian kalinya dia mendengus. "Bisakah kau tidak menatapku seperti itu?!" Ucapnya pada seorang pria yang duduk di sebelahnya. Pria itu tampak memperhatikannya dari samping sembari menopang dagunya. "Aku tidak bisa,” ucapnya pelan sembari terus menatap Rachel. Rachel memandanginya sebal. Gadis itu merasa risi dan...gugup? Well, gadis mana yang tidak gugup saat ditatap oleh seorang pria? Terlebih jika dia adalah Sean Erlangga. "Hei .. hentikan itu. Kau menakutinya,” kekeh Jimmy. "Jimmy benar. Kau bisa membuatnya takut. Apa kau mau berakhir sama seperti Satria ,” ucap Elang sembari melirik Satria  yang duduk di sebelahnya dengan ekor matanya. Satria  yang saat itu sedang menikmati latte miliknya sontak langsung meletakkan cangkir yang dipegangnya itu ke atas meja. "Kenapa aku jadi terlibat?!" Protesnya. Sementara temannya yang menyebalkan yang bernama Elang itu hanya tertawa. Rachel menoleh pada Satria . Gadis itu menatapnya tajam. "Kau bahkan tidak mau minta maaf padaku.” Satria  balik menatapnya. "Soal apa? Bukankah kau seharusnya yang minta maaf padaku, nona Han,” ucapnya sembari kembali menyesap late miliknya. "Waktu itu kau hampir saja memegang dadaku! Apa kau tidak ingat?!" Ucap Rachel menaikkan volume suaranya hingga beberapa pengunjung kafe menoleh pada mereka. Mendengar itu, Satria  tersedak dan dengan cepat ia segera membungkam mulut Rachel dengan telapak tangannya. “Kau—“ Kedua mata Satria membulat. “Bisakah Kau memelankan suaramu?!" Rachel melepaskan tangan Satria  dengan kasar. "Kenapa? Aku mengatakan yang sebenarnya,” Kini giliran Sean yang menatap Satria  tajam. Seolah olah meminta penjelasan pada pria bermarga Jung itu. 'Apa maksudnya semua ini?' Menyadari tatapan Sean yang duduk tepat di depannya, pria itu tampak gelagapan. "Y-Hei.. Kau salah paham. Itu tidak seperti yang kau bayangkan,” ucap Satria . Sementara teman-temannya yang lain tertawa melihatnya. Bahkan Jimmy sampai memegang perutnya. "Hei.. Kau menyentuh dadanya? Astaga, Satria . Kurasa kau tertular penyakit Sean,” ucap Elang disela tawanya. "Hei.. Kenapa malah jadi aku?!" protes Sean tidak terima. Rachel sontak menoleh pada Sean. Kedua mata gadis itu membulat. "K-kau!! Apa kau sering menyentuh d**a para wanita?!" Ucap Rachel. Reflek gadis itu menyilangkan tangannya di depan dadanya. "Bukan begitu! Itu tidak benar!" Elak Sean. "Mengaku saja, Sean. Aku bahkan sering melihatnya,” ucap Jimmy. Sean menatapnya tajam. "Itu tidak benar!” "Kalian berdua sama saja! Dasar m***m!!" Ucap Rachel sembari berdiri dari posisinya. Namun dengan cepat Sean kembali menarik pergelangan tangannya hingga gadis itu kembali terduduk. "J-jangan menyentuhku! Aku harus kembali bekerja!" Bentaknya. "Dengarkan dulu,” ucap Sean. "Tidak perlu. Dasar m***m!" Desis gadis itu sebelum akhirnya pergi dari tempatnya. "Kalian ini! Kenapa kalian mengatakannya?!" Ucap Sean sembari menatap tajam ketiga temannya. "Bukankah itu benar?" Kekeh Jimmy. Sean menatapnya nyinyir. Jika saja ia tidak ingat saat ini sedang di tempat umum, ia pasti sudah memukul kepala pria itu. Beberapa detik kemudian Sean kembali menatap Satria  tajam. "Apa,” ucap Satria . "Apa yang dikatakan Rachel itu benar?" Desis Sean. Satria  mengerjapkan matanya. "Tentu saja tidak! Apa kau gila?!" "Berani sekali kau menyentuhnya, Satria !" Geram Sean. Ia hampir saja menjambak rambut Satria  jika saja tidak ditahan oleh Jimmy dan Elang. "Aku tidak melakukannya, sungguh! Aish.. lagi pula aku tidak sepertimu,” ucap Satria . "Hei.. Apa maksudmu?!" Seketika suasana kafe menjadi sedikit gaduh akibat ulah mereka. *** Rachel menyeka keringat yang membasahi dahinya. Gadis itu kemudian melepas apron miliknya dan diletakkannya benda di itu sebuah meja. "Ah.. akhirnya selesai,” ucapnya. Malam ini kafe sedang ramai. Dan ia harus bolak-balik mengambilkan pesanan. Diliriknya arloji silver yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir menunjukkan jam 10 malam. Itu artinya ia harus segera pulang. "Apa kau mau pulang?” tanya seseorang yang baru saja memasuki dapur. Rachel tersenyum. "Iya Kak. Ini sudah waktunya aku pulang,” ucap Rachel. Wanita itu, Lilian tersenyum tipis. Ia kemudian meletakkan gelas-gelas kotor yang dibawanya itu ke wastafel. "Ah, ya. Rachel,” ucap Lilian sembari membalikkan tubuhnya menghadap Rachel. Rachel menoleh. "Iya Kak?" "Siapa laki-laki yang duduk di dekat jendela itu?” tanya Lilian. Rachel mengerutkan dahinya. 'Laki-laki?' "Aku tidak mengerti. Siapa yang kau maksud,” ucap Rachel. Gadis itu perlahan melongokkan sedikit kepalanya dari pintu dapur. Ia memperhatikan satu per satu pengunjung yang duduk di dekat jendela. Hingga kedua matanya tertuju pada seorang pria yang memakai jaket kulit hitam. Ia tampak sibuk memainkan ponselnya. Rachel memicingkan matanya. "Apa?! Apa yang dia lakukan?! Kenapa dia masih di sini?!" ucapnya saat mendapati kalau orang itu adalah Sean. Pria itu tampak duduk sendiri, sepertinya teman-temannya sudah pulang. "Kenapa?” tanya Lilian yang melihat tingkah aneh Rachel. Gadis itu segera membalikkan badannya ke arah Lilian. Ia tertawa renyah. "Ahaha. Tidak,” ucap Rachel. "Hei.. Apa Laki-laki itu pacar barumu,” ucap Lilian. "Apa? Pacar? Tidak, Kak! Aku pasti sudah gila jika berpacaran dengannya,” ucap Rachel. "Ah, benarkah? Tapi kulihat dia dari tadi hanya duduk di sana. Teman-temannya bahkan sudah pulang. Dan.. dia terlihat dekat sekali denganmu,” ucap Lilian. "Ani. Kami tidak sedekat itu. Dia hanya berlagak mengenalku. Laki-laki aneh,” ucap Rachel sembari kembali menolehkan kepalanya pada Sean. "Ah, ya. Aku harus segera pulang. Sampai jumpa, Kak,” ucap Rachel. Gadis itu kemudian melangkahkan kakinya keluar. Ia perlahan mendekati Sean yang kini asyik memandangi keadaan di luar kafe. "Kenapa kau masih di sini?!" Ucap Rachel ketus. Mendengar itu, Sean segera menoleh dan menatap gadis yang tengah berdiri di depannya. Pria itu tersenyum tipis.   "Ah, kau sudah selesai. Kalau begitu ayo pulang. Aku sudah lama sekali menunggumu,” ucapnya. Ia segera beranjak dari kursinya dan langsung menarik pergelangan tangan Rachel. Mereka berjalan menuju sebuah halte yang berada di dekat kafe. "Tidak ada yang menyuruhmu menungguku. Bodoh." Desis Rachel. Sean menoleh. "Apa kau baru saja mengumpatiku?" Rachel tidak menjawab. Gadis itu langsung masuk ke dalam bus yang berhenti di depan halte. Sean mengekorinya dari belakang. "Apa yang kau lakukan?!" Ucap Rachel begitu Sean mendorongnya ke salah satu kursi hingga tubuh gadis itu terduduk. Dan kemudian Sean duduk di sebelahnya. "Hei.. jadi setiap hari kau pulang jam segini?” tanya Sean tanpa menggubris ucapan Rachel. "Ya. Aku sudah biasa,” ucap Rachel. "Kau tidak takut,” ucap Sean. "Satu-satunya yang harus ku takuti adalah kau!" Ucap Rachel. Sean terkekeh. 'Ucapannya masih saja sama.' "Kalau begitu aku akan setiap hari mengantarmu pulang,” ucap pria itu. Rachel melotot. "Apa? Kau gila?! Untuk apa?!" "Kenapa? Aku khawatir padamu. Bagaimana jika terjadi sesuatu?” Rachel berdecak. "Cih.. khawatirkan saja para mantan pacarmu. Bagaimana jika mereka semua dendam padamu?" Sean mempoutkan bibirnya. "Aku serius. Bagaimana?" "Aku tidak tertarik dengan tawaranmu. Dan.. bisakah kau berhenti menggangguku?! Cari saja wanita lain. Astaga.... “ Rachel melipat kedua tangannya. Gadis itu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Ia teringat sesuatu. Sikap Sean saat ini mengingatkannya pada sosok Andrean. Pria itu juga melakukan hal yang sama padanya. Memaksanya agar mau diantar pulang dan selalu menunggunya saat bekerja. Rachel tersenyum miris. ' 'Bodoh! Kenapa aku harus memikirkannya?!batinnya. "Hei, kau kenapa,” ucap Sean yang membuyarkan lamunan Rachel. "Tidak." Jawabnya singkat. "Ah, ya. Apa kau benar-benar tinggal di flat itu sendirian?” tanya Sean. Rachel mengangguk. "Kenapa? Kau tidak akan bermacam-macam padaku kan,” ucap Rachel sembari menatap Sean curiga. "Hei! Tentu saja tidak. Aish.... “ Sean menatapnya kesal. "Memangnya di mana kedua orangtuamu?” tanyanya kemudian. "Orangtuaku berada di Daegu. Mereka memiliki sebuah toko kue di sana. Dan aku bekerja untuk membiayai kehidupanku di sini. Tanpa campur tangan dari mereka,” ucap Rachel. "Termasuk biaya sekolah,” ucap Sean. "Tentu saja. Aku tidak mau membuat kedua orangtuaku terbebani. Aku hanya mencoba hidup mandiri di sini,” ucap Rachel. Sean menatapnya takjub. Gadis itu benar-benar gadis yang baik. Berbeda sekali dengannya yang hanya bisa menghabiskan uang orangtuanya. "Kau kenapa?” tanya Rachel saat menyadari ekspresi Sean berubah. "Ah, Tidak." "Kalau begitu bisakah kau menyingkir? Aku harus segera turun." Sean yang menyadari bus yang mereka tumpangi itu berhenti segera berdiri dan membiarkan Rachel lewat. Kemudian ia mengikutinya. "Kau mau mengikutiku sampai kapan?!" Ucap Rachel. "Sapi kau sampai di depan pintu flat-mu,” ucap Sean. Pria itu kemudian memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Rachel berdecak. Namun tak ayal kalau pikirannya juga langsung teringat kembali pada Andrean. Mantan pacarnya. "Hei jalanan di sini sepi dan menyeramkan. Kau benar-benar tidak takut?” tanya Sean. "Tidak. Sudah ku bilang yang perlu takutkan adalah kau!" Ucap Rachel. Mereka akhirnya sudah sampai di depan sebuah pintu. "Sudah sampai. Kau bisa pulang sekarang,” ucap Rachel. Gadis itu secara tidak langsung 'mengusir' Sean. "Aku akan pulang. Tapi dengan satu syarat,” ucapnya. Rachel mengernyit. "Syarat?" Sean mengangguk. Kemudian ia merogoh saku jaketnya dan mengambil sebuah benda tipis berwarna putih. Pria itu memberikannya pada Rachel. "Untuk apa,” ucap Gadis itu saat Sean menyodorkan ponsel miliknya. "Berikan aku nomor ponselmu,” ucap pria itu. "Apa? Aku tidak mau." "Kalau begitu aku tidak akan pulang." "Hei!!!" "Karena itu berikan nomor ponselmu." Rachel mendengus. Kemudian dengan kasar ia segera mengambil ponsel milik Sean dan segera mengetikkan nomor ponselnya di sana. "Ini,” ucap Rachel ketus sembari mengembalikan ponsel Sean. Pria itu tersenyum. Beberapa detik kemudian ponsel milik Rachel yang berada didalam tasnya bergetar. Ia segera mengambilnya.   "Itu nomor ponselku,” ucap Sean. Rachel melihat layar ponselnya yang menunjukkan sebuah nomor yang tak dikenalnya. "Kalau begitu aku akan pulang,” ucap Sean. Kemudian pria itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan Rachel. Sementara gadis itu masih terdiam di tempatnya. Ia menatap punggung Sean yang semakin menjauhinya. "Laki-laki aneh."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN