"Ini."
Sean memberikan sekaleng minuman pada Rachel yang sedang duduk. Gadis itu menoleh dan langsung menerimanya.
Sean kemudian segera duduk disebelah Rachel, tanpa mempedulikan tatapan orang-orang disekitar. Saat ini mereka tengah berada di taman belakang sekolah. Jadi wajar saja jika di sana banyak orang yang melihat.
"Jadi kau benar-benar memutuskan Erika?” tanya Rachel setelah menyesap minumannya.
Sean mengangguk samar.
"Dia membosankan. Lagi pula dia juga memiliki banyak pria di luar sana."
"Dan kau juga sama,” ucap Rachel sembari menoleh pada Sean . Pria itu terkekeh pelan. Berbicara dengan gadis itu ternyata sangat ampuh menaikkan mood-nya.
Mereka tertawa bersama tanpa sadar. Sean menoleh dan mendapati Rachel tengah tertawa.
Sean tersenyum tipis.
"Ah, iya. Tadi kau kasar sekali padanya. Apa kau tidak kasihan,” ucap Rachel.
"Kasihan? Lalu aku harus apa? Membiarkannya menghinamu di depan semua orang,” ucap Sean .
Rachel diam.
"Sudahlah, aku tidak ingin membahas wanita itu lagi,” ucap Sean .
Tanpa mereka berdua sadari, dua pasang mata tengah mengamati aktifitas mereka berdua dari koridor.
Rahangnya mengeras.
"Kau cemburu?” tanya salah satunya.
"Tidak,” ucap rekannya dan langsung pergi meninggalkannya.
"Aku tahu kau cemburu. Sikapmu menunjukkan kalau kau masih mencintai Rachel."
"Terserah."
"Dre, kau tidak bisa berbohong. Kau tahu gadis itu juga pasti masih mencintaimu."
"Diam, Gema. Aku tidak ingin membahasnya."
Tatapan Andre lurus ke depan. Gema yang di belakangnya menatap punggung pria itu sendu.
"Kau tahu? Kau banyak berubah,” ucap Gema. Ia menghela napas pelan dan melanjutkan, “semenjak kau putus dengan Rachel."
Andre menoleh dan langsung mencengkeram kerah baju Gema. Pria itu menatapnya tajam. "Jika kau hanya ingin membahas itu, pergilah. Sebelum aku menghajarmu di sini,” ucap Andre kemudian menghempaskan cengkeraman tangannya dengan kasar hingga tubuh Gema sedikit terhuyung ke belakang. Ia langsung pergi meninggalkan Gema.
***
Rachel terlihat sedang membereskan bukunya. Kelas baru saja berakhir dan satu per satu siswa mulai meninggalkan kelas.
"Rachel, sepertinya aku harus pulang duluan. Gema sudah menungguku di parkiran,” ucap Megan. Rachel tersenyum tipis. Gadis itu kemudian menangguhkan kepalanya.
"Mmm. Pulanglah,” ucapnya. Kemudian dilihatnya Megan pergi meninggalkan kelas.
"Hei, apa mungkin Sean memutuskan Erika gara gara Rachel?"
Seketika aktivitas Rachel terhenti. Ia sedikit menoleh ke arah sumber suara. Beberapa siswi tampak memperhatikannya.
"Ah, entahlah. Rachel cantik dan juga pintar. Jadi tidak heran jika Sean menyukainya. Tapi kurasa dia tidak cocok dengan Sean . Lagi pula dia itu sangat berbeda dengan pacar Sean yang sebelumnya."
"Kau benar. Sean hanya memacari wanita yang cantik dan kaya. Bukankah begitu?"
"Hm. Menurutmu bagaimana reaksi Andrean Melvin saat tahu Sean mendekati Rachel? Apa dia akan cemburu?"
"Ayolah. Mereka sudah lama putus. Dan kudengar Andre yang mencampakkan Rachel. Jadi mana mungkin dia cemburu."
Rachel seketika menahan napasnya saat mereka menyebutkan nama pria itu. Pria yang selama ini terus ia hindari.
Andrean Melvin.
Tangannya mengepal kuat.
"Ah, kau benar. Kalau begitu Ayo kita pulang."
Kemudian ia mendengar derap langkah kaki mereka meninggalkan kelas.
Rachel membuang napasnya kasar.
Kenapa orang-orang senang sekali membicarakan masa lalunya?
Rachel segera memakai tasnya dan berjalan keluar kelas.
Langkahnya terhenti saat seorang pria berdiri diambang pintu kelasnya.
Tanpa mengubah ekspresinya, gadis itu kembali melanjutkan langkahnya. Namun dengan segera pria itu menahan pergelangan tangannya.
"Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya.
"Tidak,” ucap Rachel tanpa menolehkan kepalanya. Gadis itu melepaskan tangannya dan kembali melangkahkan kakinya. Namun pergelangan tangannya kembali ditahan.
"Ikut aku."
Ucap pria itu kemudian menarik pergelangan tangan Rachel. Gadis itu sedikit berontak dengan mencoba melepaskan cengkeraman tangannya. Namun tidak berhasil.
Pria itu membawanya ke salah satu koridor yang sudah sepi. Dan Rachel langsung menghempaskan tangannya dengan kasar.
Ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Sementara pria itu memandanginya tajam.
"Apa yang ingin kau bicarakan? Aku tidak punya banyak waktu. Jadi cepatlah,” ucap Rachel.
"Kau ada hubungan apa dengan Sean Erlangga?” tanyanya.
Rachel berdecak. Kemudian ia menoleh. Gadis itu menatap pria di hadapannya tajam.
"Kenapa kau bertanya? Itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu,” ucap Rachel dingin.
"Jauhi dia,” ucap pria itu.
Rachel tertawa pelan. “Kenapa? Kau tidak berhak mencampuri urusanku, Dre." Seluas senyuman miring tercetak jelas di bibirnya.
"Dia bukan pria baik-baik. Aku khawatir kau akan bernasib sama dengan wanita yang pernah dekat dengannya."
Rachel kemudian memutar bola matanya.
"Khawatir? Khawatir apa yang kau maksud? Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun tentangku."
"Rachel.... “
"Ah, ya. Bukankah kau sendiri yang bilang supaya kita tidak mencampuri urusan satu sama lain. Dan... berpura-pura tidak mengenal satu sama lain. Lantas apa yang kau lakukan saat ini?"
Napas Andre tercekat. Ia merasa sesuatu yang keras menghantam dadanya.
Ternyata Rachel masih mengingat ucapan mengerikannya saat 5 bulan yang lalu.
Namun wajar jika gadis itu masih mengingatnya, itu pasti sangat melukai dirinya. Hingga sekarang.
"Apa hanya itu yang ingin kau katakan? Aku harus pergi. Waktuku tidak banyak."
Ucap gadis itu.
"Kau.. masih bekerja di kafe milik Kak Vincent?"
Rachel tersenyum miring.
"Kenapa? Kau ingin aku dipecat dari sana? Silakan saja, Andre. Lakukan sesukamu. Aku sama sekali tidak peduli,” ucap Rachel.
Gadis itu berbalik dan langsung pergi meninggalkan Andre di sana.
Ia mengusap kasar salah satu pipinya yang terasa basah dengan punggung tangannya.
Andre menatap Rachel yang semakin menjauhinya.
Gadis itu sudah berubah. Ia tidak seperti Rachel yang ia kenal. Gadis itu sudah berubah menjadi seseorang yang berhati dingin. Senyuman ceria yang biasa ia tunjukan di hadapannya sirna entah ke mana. Dan itu semakin membuat dadanya sesak.
"Dia pasti sangat membenciku.
***
Holly's Cafe
08:45'PM
Rachel membawa nampan yang berisi pesanan ke salah satu meja. Gadis itu tersenyum hangat sembari meletakkan pesanan.
"Terima kasih,,” ucap seorang pria muda yang merupakan salah satu pelanggannya. Rachel tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya sebelum akhirnya pergi dari sana.
"Dia bukan pria baik-baik. Aku khawatir kau akan bernasib sama dengan wanita yang pernah dekat dengannya."
"Sial! Kenapa aku harus mengingat ucapannya?! Aish.. yang benar saja!” gerutu Rachel sembari memukul-mukul pelan kepalanya dengan nampan yang berada di tangannya.
BRUUKK
"Akh.... “
Tubuh Rachel terhuyung ke belakang begitu ia menabrak seseorang. Namun dengan sigap pinggangnya berhasil ditahan oleh orang yang tidak sengaja ia tabrak itu.
Kedua mata Rachel membulat.
"Pak Vincent?!" Ia buru-buru menegakkan tubuhnya dan segera melepaskan tangan Jin yang melingkar di pinggangnya.
"Maafkan aku. Aku tidak sengaja,” ucap Rachel cepat sembari membungkukkan badannya.
Melihat itu, Jin hanya terkekeh. "Tidak apa-apa.. Untung saja aku yang kau tabrak."
Rachel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Apa ada masalah? Kau tampak tidak tenang,” ucap Jin kemudian.
"Ah, tidak ada . Aku baik-baik saja,” jawab Rachel. Ia segera pamit lalu melangkahkan kakinya.
"Apa ... Andre membuat masalah?” tanya Jin ragu.
Ia tahu dengan pasti hubungan antara Rachel dan Andre. Jin merupakan sepupu dari Andre. Maka dari itu dia bisa mengetahui apa saja yang terjadi di antara mereka. Termasuk saat hubungan mereka yang tiba-tiba saja berakhir karena Andre yang mencampakkan Rachel tanpa alasan.
Andre sendirilah yang meminta bantuan pada Jin agar menerima Rachel bekerja di kafe miliknya. Rachel gadis yang baik dan sopan. Jadi sampai sekarang Jin masih mempertahankannya.
Langkah Rachel terhenti begitu Jin menyebut nama Andre. Gadis itu tersenyum kecut. Kemudian ia berbalik menatap Jin dan segera menunjukkan senyuman lebarnya.
"Andre? Tidak.. Sama sekali tidak ada hubungan dengannya,” ucap Rachel kemudian ia kembali melangkahkan kakinya menuju dapur.
Jin memperhatikan langkah gadis itu. "Aku tahu kau berbohong."
Rachel berjalan menuju dapur dan ia melihat salah satu rekannya baru saja selesai membersihkan piring-piring kotor. Gadis itu mengambil segelas air dan langsung meminumnya habis.
"Kau kenapa?” tanya rekannya.
"Tidak, Kak. Hanya sedikit haus,” ucap Rachel. Ia duduk di sebuah kursi yang ada di sana.
Kemudian rekannya berjalan mendekatinya dan segera duduk di sebelahnya. "Aku tahu kau sedang ada masalah. Ceritalah,” ucapnya.
Rachel menoleh padanya. Gadis itu tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja."
Lilian, salah satu rekannya yang 3 tahun lebih tua darinya itu sudah seperti seorang kakak baginya. Rachel sering bercerita padanya mengenai apa pun. Gadis itu percaya padanya.
"Kau tidak mau bercerita padaku. Itu artinya kau sedang memikirkan sesuatu. Apa itu? Apa.. ada hubungannya dengan Andre?” tanya Lilian. Rachel menghela napasnya pelan.
"Seperti dugaanku,” ucap Lilian. Ia juga tahu mengenai hubungan Rachel dan Andre. Dulu Andre sering mengunjungi Rachel saat sedang bekerja. Pria itu juga tidak jarang membawakan makanan untuknya. Ia juga mengantarkan Rachel pulang mengingat gadis itu pulang cukup larut.
Sering bertingkah konyol saat di kafe dan tidak jarang membuat para karyawan lain atau bahkan pelanggan yang melihatnya tersenyum.
Dulu mereka adalah pasangan yang manis. Sebelum akhirnya semuanya berubah. Sejak 5 bulan yang lalu mereka berubah sangat drastis seakan akan tidak mengenal satu sama lain. Namun sejak saat itu Rachel juga menjadi jarang bercerita kepada Lilian mengenai Andre. Ia hanya bercerita mengenai hal-hal yang biasa.
"Sudahlah, Kak. Aku tidak ingin membahasnya,” ucap Rachel. Gadis itu kemudian berjalan kembali ke depan saat mendengar ada pelanggan datang.
Rachel segera menghampiri salah satu meja yang terletak di dekat jendela. Ia melihat beberapa orang duduk di sana. Rachel segera berjalan mendekati mereka. Menyadari kedatangannya, salah satu dari mereka sedikit menolehkan padanya.
"Tolong 2 caffe latte dan— Rachel?”
Rachel terkejut saat melihat Elang di sana. Ralat! Bukan hanya Elang, bahkan rekannya yang lain termasuk Sean .
Pria itu terkejut menatap Rachel. Terlebih penampilan gadis itu dengan sebuah apron ungu yang melekat di tubuhnya.
"Kau.. bekerja di sini,” ucap Sean .
Rachel berkedip dua kali. “I-iya.”
'Sial! Kenapa disaat moodku seperti ini malah harus bertemu dengannya?!'
"Benarkah? Sejak kapan?” tanya Satria .
"Sudah lama. Sudahlah, kalian jadi memesan atau tidak?!" Rachel kesal karena ia merasa lelah berdiri.
“Ah, ya. Maaf. 2 caffe latte dan 2 macchiato,” ucap Elang. Rachel pun segera menuliskan pesanan mereka.
"Tiga macchiato." sambung Sean .
" Kau mau minum tiga,” ucap Jimmy terkejut.
Sean menggelengkan kepalanya. "Bukan untukku. Tapi untuknya,” ucapnya sembari menoleh pada Rachel.
Kedua mata Rachel membulat. “A-apa? Apa maksudmu? Aku tidak mau!"
"Hei, aku baru saja mentraktirmu. Pokoknya aku tidak mau tahu. Aku ingin 3 macchiato. Untukku, Jimmy , dan kau,” ucap Sean sembari menunjuk Rachel dengan telunjuknya.
Rachel menatapnya sebal. Pria ini benar-benar.
"Pembeli adalah raja, kan?” Salah satu sudut bibir Sean naik.
Rachel mendengkus. "Baik, baik.. Dua caffe latte dan 3 macchiato. Kau puas?!" Ucap Rachel dan langsung pergi untuk mengambilkan pesanan. Melihat itu, Sean tertawa.
"Wahh.. Apa itu?" Jimmy berkedip dua kali.
Elang berdecak. "Ck.. Ck.. Kau terlalu tergila-gila padanya,” ucapnya.
"Tapi setidaknya dia tidak menendang kakimu kan? Atau ... belum,” ucap Satria sembari tertawa.
Sean meninju pelan bahu pria itu. "Dia menggemaskan. Aku menyukainya." Ia tersenyum.