Mencari Dukun

1950 Kata
Santi menarik napasnya lalu menghembuskan perlahan. Jantung gue berdetak kencang saat Santi membuka mulutnya. Biasanya kalau dia sudah bicara bisa jadi petaka. “Begini Mbak Dukun Bonding saya punya masalah asmara yang menyesakkan d**a sampai langit ketujuh,” kata Santi penuh drama. Dia suka sekali melebih-lebihkan sesuatu. “Apa itu, sebentar saya tebak. Pasti masalah pria, kan?” tanya dukun itu membuat kami terperangah. Mbak Dukun Bonding ternyata tahu masalah Santi. Luar biasa. “Iya, Kun betul. Mantan-mantan gue eh saya itu sering ganggu apa Mbak Kun bisa bantu saya?” Dukun itu memejamkan matanya. Jari tangan yang penuh cincin itu menari di atas kemenyan yang menguar bau aneh. Wangi-wangian memenuhi ruangan. Tunggu, kenapa baunya jeruk? Gue dan Santi kompak menoleh ke arah pintu. Wanita yang kami temui tadi sedang menyemprotkan pengharum ruangan. “Kamu bawa foto pria itu?” tanya Mbak Dukun Bonding dengan mata terpejam bibir komat-kamit membaca mantra. Perhatian kami kembali pada Mbak Dukun. “Ada Kun.” Santi membuka tasnya lalu memberikan satu kresek penuh foto mantannya. Ia mengeluarkan foto mantannya lalu meletakkannya di atas meja si dukun. “Namanya siapa?” tanya si dukun tanpa membuka mata. “Nama mantan pacar saya semuanya?” tanya Santi membuat Dukun Bonding membuka mata. Ia terlihat kaget melihat foto pria berserakan di atas mejanya. “Ini apa?” tanya wanita itu bingung. “Ini semua mantan saya jumlahnya kurang lebih 45-an. Mereka setiap hari ganggu saya, tapi nggak semua sih hanya ada ada beberapa, jadi saya mohon bantuan Mbak Dukun Bonding,” ucap Santi memelas. “Namanya siapa?” Santi menyerahkan satu foto pada Mbak Dukun. “Itu mantan saya yang ke 30 namanya Andreas Van Schwarzeneger.” Alis dukun itu tertekuk semakin dalam saat mendengar nama dari mantan Santi. Dia gadis pintar yang bisa menghapal nama lengkap mantannya yang sulit diucapkan. “Si-siapa?” tanya Mbak Dukun Bonding kebingungan Santi mengulang nama mantannya. Namun, si dukun tidak bisa menyebutkan dengan benar. Akhirnya Santi mengganti foto dan memberikan foto mantan pacarnya yang ke-17. “Namanya Mikola Hekenbuther Son.” Dukun itu hanya diam menatap Santi dengan tatapan datar. Gue sendiri yang dengar nama mantanya mulai pusing. Karena susah diucapkan akhirnya si dukun meminta Santi menulis nama mantannya. Setelah membaca tulisan Santi Mbak dukun semakin sulit berkata-kata. Dukun itu meniup lilin yang menyala lalu mematikan dupa yang ada di atas meja. Gue sendiri bingung apa yang akan dia lakukan. “Maaf eneng-eneng cantik saya lupa hari ini ada pertemuan dukun se-kota jadi hari ini saya tidak bisa melayani kalian. Coba cari dukun lain, ya,” kata dukun itu mengusir kami dengan halus. Mau tidak mau Santi merapikan kembali foto mantannya lalu memasukkan ke dalam tas. Kami baru saja ditolak sama dukun. “Kayaknya dukun itu takut sama mantan lo, San? Sampai ngusir kita segala.” Kami sudah berada di mobil dan bersiap untuk pulang. Mengingat hari semakin malam membuat kami berhenti mencari dukun. Besok adalah Minggu sehingga kami punya banyak waktu untuk mencari lagi. “Mungkin karena kebanyakan mantan jadi dia takut. Padahal gue sempat yakin kalau dukun itu bisa membantu gue apalagi ada tulisan ori 100% dan ada garansi sebulan. Jarang banget ada dukun ngasih garansi.” Ucapan Santi ada benarnya juga tapi mau bagaimana lagi kita sudah diusir. *** Baru saja gue rebahan di kasur dan memejamkan mata Kak Stefan masuk ke kamar. Ekspresinya tidak bersahabat dan gue kira dia ada masalah sama Kak Silvi. Galau lagi. Sudah gue nasehati berkali-kali, tapi tidak didengar. Padahal usia kakak gue sudah mau tiga puluhan tapi belum juga mau nikah. “Kenapa Kak?” “Lo dari mana saja? Kenapa pulang malam?” tanya Kak Stefan. Ia duduk di kursi depan meja rias gue. “Jalan-jalan sama Santi. Jarang banget dia dapat libur di akhir pekan biasanya kerja terus ya sudah kita jalan-jalan.” Gue duduk di tempat tidur menatap Kak Stefan. “Jangan pulang malam, kalau lo pulang lebih dari jam 6 hubungi gue, entar gue yang jemput langsung.” “Gak perlu, gue sudah gede. Lo urus saja Kak Silvi, nikahi kalau berani jangan pacaran terus.” “Sebelum lo punya pacar gue gak mau nikah. Mengerti?” Kak Stefan pergi begitu saja setelah mengatakannya. Ponsel gue berdering sebuah panggilan dari Kak Silvi. Baru saja gue sebut namanya kini orangnya sudah menelepon. “Halo Kak Silvi. Ada apa, Kak?” “Kanaya apa kita bisa bertemu di luar? Aku ingin bicara sama kamu.” “Bisa, Kak, kirim alamatnya ke WA. Aku mau siap-siap dulu.” Setelah panggilan berakhir gue bergegas ke kamar mandi lalu dandan sekadarnya. Gue periksa pesan dari Kak Silvi yang mengirim alamat sebuah café. Gue pernah sekali ke café itu dan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Gue berlari menuruni anak tangga. Untungnya mama dan Kak Stefan masih sibuk di dapur sedangkan papa belum pulang jadilah gue keluar tanpa hambatan. Café Roxana adalah sebuah café bernuansa barat. Semua alat makannya terbuat dari kayu termasuk sedotannya. Gue suka café seperti ini, piringnya dari kayu dan mangkuknya dari batok kelapa. Suasana ini membuat gue mengenang kembali masa lalu. Kak Silvi berada di meja dekat kaca yang memiliki kursi yang tinggi. Kak Silvi turun dari kursi menyambut gue dengan cipika-cipiki. “Maaf,ya, Kak kalau lama.” “Gak masalah. Ayo duduk.” Kita duduk berdampingan. Gue segera memesan makanan saat pelayan menghampiri. Sepertinya Kak Silvi sudah lama di café ini terlihat dari minumannya yang hampir habis. “Kakak mau bicara apa?” Kak Silvi tersenyum lalu meraih tangan gue. “Nay, kamu tahukan aku cinta banget sama kakak kamu. Kita sudah menjalin hubungan bertahun-tahun dan Stefan tidak kunjung menikahi aku.” Dari sini gue tahu apa yang akan dikatakan Kak Silvi. “Stefan tidak akan menikah sebelum kamu punya pacar. Aku tidak mungkin pacaran terus sama Stefan terlebih mama dan papa sudah mendesak agar aku segera menikah. Aku juga malu sama tetangga karena kami hanya pacaran.” Pelayan datang menyuguhi minuman membuat perkataan Kak Silvi terhenti. Setelah pelayan itu pergi Kak Silvi kembali bicara. “Kanaya, aku mohon kamu cari pacar, ya, agar aku bisa nikah sama kakak kamu.” Kenapa gue yang jomblo orang lain yang menderita? Andai saja Kak Stefan mau menikah dengan Kak Silvi pasti beban gue gak seberat ini. Jadi jomblo susahnya minta ampun. “Doakan semoga aku dapat jodoh, ya, Kak.” “Aku punya ide bagaimana kalau kamu pura-pura pacaran. Biar Stefan mau nikahin aku?” Kak Silvi memelas dan gue tidak bisa menolak. Mungkin gue akan bilang ke Santi agar memperkenalkan teman prianya yang bisa diajak kerjasama jadi pacar bayaran. *** “Apa?” Santi berteriak membuat Sinta menatap pada kami. Sinta yang sedang membaca buku dekat jendela yang gordennya terbuka terlihat terganggu dengan pembicaraan kami. Ia menutup buku dan gorden jendela lalu beranjak naik ke kamarnya. “Maaf, ya, Sinta kamu terganggu.” Sinta berbalik saat kakinya menyentuh anak tangga pertama. Ia tersenyum lalu mengangguk. Setelah Sinta menghilang dari pandangan, gue langsung melotot pada Santi. “Bisa gak jangan teriak-teriak. Kasihan adik lo” “Biarin saja, gue males ngomong sama dia. Beruntung dia naik ke kamar dari pada di sini ganggu orang saja,” ucap Santi. “Gak boleh seperti itu sama saudara sendiri, bagaimana pun juga kalau kamu nanti susah pasti saudara yang bantuin kamu. Damai sajalah.” Santi menggeleng. “Dia sudah menuduh gue merebut pacarnya. Emang gue cewek apaan.” Susah bicara sama dua orang yang saling bermusuhan. Kalau bela adiknya dikira tidak sayang teman. Kalau bela kakaknya, kapan mereka mau baikan. Kalau gue jadi Santi mungkin gue bakalan minta maaf lebih dulu sama Sinta. “Terus lo mau gue cariin pacar bohongan?” tanya Santi. Sejujurnya gue malu mengakuinya, tapi gue benar-benar terdesak. “Kalau bisa.” Santi berpikir lalu meraih ponselnya. Dia terlalu banyak menyimpan nomor ponsel pria. Mungkin Santi sedang memilih mana yang cocok buat gue. Kalau ada bisnis sewa mantan mungkin Santi akan menjadi wanita terkaya di muka bumi ini. “Gak ada yang cocok sama lo, Nat. Bagaimana kalau besok kita cari dukun yang bisa memecahkan masalah. Gue akan cari informasi dukun terupdate dan terpercaya.” Gue mengangguk setuju saja apa yang Santi katakan. Semoga saja dukun kali ini benar-benar membantu gue dapatin jodoh. *** Minggu pagi gue sudah berdandan rapi. Tidak ada kata menyerah untuk mencari pasangan hidup. Berbagai cara akan gue lakukan terlebih demi hubungan Kak Stefan dan Kak Silvi. Mereka harus menikah kalau tidak mama dan papa bisa mengira gue adalah orang yang menyebabkan mereka tidak menikah. “Kanaya lo harus semangat!” gue berusaha menjadikan hari ini lebih baik. “Kanaya buka pintunya mama mau masuk.” Gedoran pada pintu membuat gue berlari cepat lalu membukanya. Mama sudah rapi dengan sanggul dan kebayanya—mungkin mau kondangan. “Mama dan Papa akan pergi ke nikahan teman, kamu jangan pergi ke mana-mana, ya,” ucap mama. “Tapi, Ma, aku ada janji sama Santi buat jalan bareng.” “Ya sudah ajak saja Kak Stefan, dia malas di rumah kalau gak ada kamu. Sekalian kalian jalan-jalan,” kata mama lalu mencium pipi gue. “Mama pergi dulu, ya.” Gue berjalan di belakang mama, mengantarnya sampai ke pintu depan. Mama melambaikan tangan sementara papa menyetir di sampingnya. Baru saja mobil papa keluar dari pekarangan ada sebuah mobil yang berhenti di depan rumah. Itu mobil Santi. Kaca mobil diturunkan membuat Santi melongokkan kepalanya. “Nat, ayo.” Gue memberi isyarat agar Santi mau menunggu sebentar. Gue kembali ke dalam. Dalam satu tarikan napas gue berpamitan dengan Kak Stefan. “KAKAK GUE MAU JALAN SAMA SANTI, TOLONG JAGA RUMAH YA!” Gue langsung menutup pintu sebelum Kak Stefan keluar dan menghalangi gue untuk pergi. Benar saja saat gue sudah di mobil Kak Stefan muncul dari dalam rumah sambil berkacak pinggang. “Kanaya lo gak boleh pulang kalau gak bawa oleh-oleh!” teriaknya membuat gue merinding. Kak Stefan pasti kesal setengah mati. Ponsel gue berdering ada pesan masuk dari Kak Silvi yang menanyakan keberadaan Kak Stefan karena pesannya belum dibalas sampai saat ini. “Pesan dari siapa?” tanya Santi. “Dari Kak Silvi, nanyain Kak Stefan ada di mana. Harusnya gue kurung Kak Stefan di kamar biar Kak Silvi nyarinya gampang.” Santi mengedik bahunya. “Emangnya kakak lo kucing di kurung biar gak kabur.” Santi membelokkan mobilnya ke jalan yang lebih sempit. Banyak pemukiman dan pertokoan yang kami lewati. Sampai akhirnya Santi menghentikan mobilnya di sebuah bengkel. Terlihat sedikit kotor karena oli yang berceceran. “Kamu mau service mobil?” Santi melepaskan sabuk pengamannya. “Dari maps yang gue lihat di sini ada seorang dukun sakti. Dia bisa membantu segala masalah.” Gue ikutan keluar saat Santi membuka pintu mobil. Ia pergi ke warung kemudian bertanya alamat yang ada di ponselnya. “Benar. Di sini desa Kenangan, jalan Berliku dan g**g Mantan ada di sana.” Wanita tua itu menunjuk sebuah g**g yang tidak jauh dari tempat kami sekarang. Santi mengucapkan terima kasih lalu kami berjalan ke tempat yang dimaksud. Baru masuk g**g ternyata sudah banyak orang yang mengantri. Seluruh perhatian warga tertuju pada kami berdua. Untunglah gue dan Santi pakai masker jadinya wajah kami berdua bisa tertutupi. Kami berjalan pelan ke sebuah rumah yang banyak orangnya. Gue kira orang-orang sedang mengantri beli makanan ternyata mereka mengantri cari dukun. Kali ini dukunnya lebih modern. Ada neon box di depan rumah sederhananya. Tertulis kata yang membuat gue cuma bisa bengong. Dukun selalu di depan. Sekarang giliran kami berdua. Setelah gue dan Santi masuk ada seorang yang mengarahkan ke sebuah ruangan. Rumah ini cukup bersih. Namun, terkesan misterius. Gue dan Santi duduk menghadap seorang pria tua berpakaian serba hitam. Wajahnya terlihat menyeramkan dengan rambut gimbal yang panjang. “Jadi siapa yang punya masalah?” ucapnya membuat kami berdua gemetar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN