Suasana jadi tegang. Santi mulai berbisik di telinga gue. “Nat, kayaknya ini benar-benar dukun.”
“Bisa jadi.”
“Gue curhat duluan, ya,” bisiknya.
“Jangan, nanti kita diusir lagi. Gue duluan.”
“Gak boleh gitu dong, gue duluan,” ucap Santi dengan suara keras.
“Gak boleh, pokoknya gue duluan.”
Kami terus berdebat membuat mbah dukun menggebrak meja. Gue dan Santi kaget bukan main saat melihat mata dukun itu melotot. Seram. Ditambah bagian depan giginya ompong.
“Jangan ribut!” Mbah dukun mengeluarkan dua lembar kertas yang sudah dilaminasi. Kami menerimanya dengan gemetar. Di atas bagian tengah tertulis kata ‘Menu Santet’ sementara di bawahnya dengan huruf yang lebih kecil terdapat nama macam-macam santet beserta harganya.
“Gila, mirip buku menu warteg. Ada pajak 10% lagi, mahal banget,” bisik Santi. Gue akui ini tidak masuk diakal. Harga-harga yang diberikan fantastis mulai dari santet biasa yang dibandrol harga lima ratus ribu belum pajak. Santet istimewa garansi satu minggu dengan harga delapan ratus ribu belum termasuk pajak dan santet super premium seharga satu juta enam ratus dengan garansi satu bulan dan sudah termasuk biaya pajak.
“Gue gak ada uang segitu.”
Santi tersenyum kaku saat gue berbisik di samping telinganya.
“Kita pura-pura bertengkar saja. Dari pada malu-maluin gak bisa bayar,” usul Santi.
Lagi-lagi si Mbah menggebrak meja membuat kita berdua kaget.
“Pilih yang mana? Waktu mbah gak banyak. Doyan banget bisik-bisik,” ucapnya.
Santi menatap gue lalu mengedipkan matanya. Gue tahu itu adalah isyarat untuk pura-pura bertengkar.
“Gue duluan Nat,” ujar Santi.
“Enggak gue duluan.”
Kita mulai ribut membuat mbah dukun murka. Dengan suara keras Mbah dukun mengusir kami berdua. Dengan senang hati kami keluar dari rumah itu. Untungnya kami bisa keluar dengan selamat.
“Gila ya itu dukun pintar banget bisnisnya. Dia kaya, tapi gue yang miskin.”
Santi menyalakan mesin mobilnya. Walau pun Santi bisa membeli paket santet tadi, tapi ia tetap mencari yang lebih murah. Sementara gue yang gajinya pas-pasan buat beli bensin dan kuota hanya bisa gigit jari lihat daftar harga. Gue kira nyari dukun bisa modal lima puluh ribu.
Hari itu kita berdua kembali melanjutkan perjalanan. Semua dukun yang kita temui tidak ada yang benar. Mulai dari nyasar ke dukun beranak terus ke dukun gadungan ditambah dukun jodoh yang aneh. Mulai dari persyaratan makan bunga sampai minum kopi manis dan pahit. Gue bisa diabetes kalau minum kopi manis tiap hari empat gelas. Bukannya dapat jodoh gue langsung dapat tiket surga karena kelebihan gula.
Gue sudah menyerah begitu juga dengan Santi. Waktu kita terbuang sia-sia, tapi tidak menemukan hasil. Mungkin cara satu-satunya adalah mencari pria yang mau menjadi pacar sementara gue dan itu semakin membingungkan.
“Gue sudah diteror sama Kak Silvi dan mau dikenalin sama beberapa cowok.”
Gue rebahan di kasur Santi. Ia terlihat asik membersihkan kukunya. Hari minggu yang melelahkan untuk pejuang cinta seperti gue.
“Gue juga dari tadi diteror sama mantan. Baru bangun mereka sudah telfon atau kirim pesan ke gue yang romantis. Gue capek.” Santi tidur di samping gue dan kita berdua sama-sama lelah. Perlahan mata gue terasa berat dan mulai terpejam. Suara Santi terdengar samar sampai akhirnya tidak terdengar lagi.
***
Tubuh gue terguncang membuat mata yang terpejam kembali terbuka. Wajah Santi yang pertama terlihat. Gue segera duduk begitu juga dengan Santi. Dia memberikan sebuah ponsel yang sukses membuat mata gue melotot.
“Gue bisa kena marah sama Kak Stefan.”
“Kakak lo over protective banget. Adiknya sudah gede masih saja dicari kayak anak kecil,” kesal Santi. Bukan hanya Santi yang kesal, tapi gue juga. Kesialan kembali menimpa saat Santi mengatakan dia ada pemotretan malam ini jadi ia harus bersiap. Terpaksa gue pulang naik angkutan umum.
Santi mengantar gue ke depan. Tepat saat gue keluar si Radit masuk ke pekarangan rumahnya. Santi menarik tangan gue mendekat ke pagar rumah.
“Dit, boleh minta tolong, gak?” teriak Santi membuat Radit terdiam. Ia baru melepaskan helmnya lalu meletakkan di atas spion motor.
“Bantuan apa?”
“Anterin Kanaya pulang, kasihan dia kalau naik angkot. Kalian dulu teman kuliah, kan?” Gue mendelik saat Santi meminta Radit mengantar gue pulang. Santi bahkan tidak mengubris saat gue menolak diantar sama Radit.
“Oke, cuma sekali, tunggu ya gue ambil helm dulu buat lo,” kata Radit lalu masuk ke dalam rumahnya. Santi mendorong gue keluar dari halaman. Ia melambaikan tangan tanpa merasa berdosa membuat temannya berada dalam masalah.
Jujur saja gue belum pernah boncengan sama si Radit dan itu membuat gue sedikit canggung. Apa lagi waktu kuliah dulu kita adalah musuh yang memperebutkan juara di kelas. Radit pintar. Namun, juga pelit sama jawaban jadilah semua teman nyontek sama gue.
“Woi! Sini.” Radit menggerakkan tangannya memanggil gue. Terpaksa dari pada naik angkot berdesakan sampai keringat mengguyur lebih baik gue diantar sama Radit. Lumayan dapat gratis.
“Nih, helm.” Radit memberikan helm warna hitam. Tanpa banyak bicara gue langsung pakai helm-nya. Yang gue tidak sangka adalah saat Radit juga memberikan jaket kulit miliknya. Gue menolak waktu dia memberikannya, kemudian Radit bilang udara sangat dingin membuat gue menerimanya.
Radit ternyata baik juga terlepas dari sifat menyebalkan. Ia mulai menyalakan mesin motornya. Gue suka cara dia naik motor tidak terlalu pelan tidak juga terlalu kencang. Biasanya cowok lebih suka ngebut dan ugal-ugalan di jalan. Radit mungkin bisa dikategorikan good boy.
Selama perjalanan kita jarang bicara kecuali saat Radit bertanya alamat rumah gue. Radit menghentikan motornya tepat di depan gerbang. Ia mendongkak menatap rumah besar milik papa.
“Terima kasih, ya, sudah mau nganterin gue pulang.”
“Iya, sama-sama.” Gue lepas helm dan jaket milik Radit lalu menyodorkannya. Namun, Radit tidak langsung menerimanya.
“Lo simpan dulu, ya, besok gue ambil. Sekarang gak bawa tas agak susah bawanya,” ujar Radit. Gue mengangguk.
“Besok jam berapa? Gue kerja pagi jam satu siang baru pulang atau gue titip di satpam, ya.”
“Gak apa, besok gue cari paginya. Gue pulang dulu.”
Setelah mengatakan itu Radit kembali memacu motornya kencang. Dalam sekejap bayangan pria itu menghilang dari pandangan gue. Belum pernah dalam hidup gue menyimpan barang milik cowok. Rasanya ada yang aneh dan juga mendebarkan.
“Tadi siapa?”
Suara Kak Stefan membuat gue kaget. Hampir saja helm yang gue pegang terlepas begitu saja. Kak Stefan berdiri beberapa meter dari hadapan gue sambil berkacak pinggang. Gue lupa beli oleh-oleh buat Kak Stefan. Dia pasti marah-marah.
“Teman, Kak. Lo sudah makan? Gue buatin telor dadar dan nasi goreng special,ya.”
Kak Stefan menurunkan tangannya lalu berbaik masuk ke dalam rumah. Gue segera berlari mengikutinya.
“Nasi goreng special gosong maksud lo?” ledek Kak Stefan. Terakhir kali gue masak buat dia yaitu saat mama dan papa berkunjung ke rumah Kak Stela untuk bertemu cucunya. Ketika itu gue coba masak nasi goreng buat makan malam ,tapi hasilnya di luar ekspektasi. Baunya gosong, tapi Kak Stefan tetap menghabiskannya tanpa sisa.
“Lo juga doyan yang gosong. Kali ini tidak gosong lagi.” Kak Stefan berbalik lalu mengedikkan bahunya.
“Terserah lo saja yang penting nasi goreng layak di makan.” Kak Stefan naik ke lantai dua. Untungnya dia tidak mengungkit masalah buah tangan. Gue menggulung kemeja sebatas siku. Sudah lama tidak memegang wajan jadi agak sedikit kaku. Selama ini semua hidangan sudah disiapkan oleh mama dan seorang pembantu bernama Bi Surti. Sudah dua hari lamanya Bi Surti tidak bekerja karena anaknya sakit.
Tidak butuh waktu lama buat gue mempersiapkan bahan dan memotongnya. Tiba-tiba Kak Stefan masuk ke dapur lengkap dengan apron kuning yang melingkar di pinggangnya. Tumben Kak Stefan mau bantuin masak biasanya dia bagian mengomentari kekurangan makanan gue.
“Gue gak mau sakit perut setelah makan masakan lo,” ujarnya membuat pertanyaan dalam pikiran gue terjawab. Kak Stefan tidak pernah berubah jarang memuji dan lebih suka mengkritik apa yang gue lakukan.
Kak Stefan walau jarang masuk dapur gue akui dia tidak terlalu kaku menggunakan pisau untuk memotong daging ayam fillet. Dia terlihat sudah biasa melakukannya. Setelah beberapa menit akhirnya nasi goreng buatan kami selesai. Baunya harum layak disebut makanan.
Kak Stefan melepas apronnya lalu membuka lemari es untuk mengambil es batu dan jus. Dia mempersiapkan alat makan di atas meja. Bukan hanya itu Kak Stefan juga menyalakan lilin dan meletakkannya di tengah-tengah. Makan malam sederhana, tapi gue suka. Untuk pertama kalinya kami tidak bicara saat makan. Sangat tenang sampai gue pikir Kak Stefan ada masalah dengan Kak Silvi. Tidak biasanya Kak Silvi bertanya keberadaan Kak Stefan.
“Kak, lo ada masalah, ya?” Kak Stefan mendongkak. Namun, ia tidak menjawab malah mengambil kerupuk di dalam toples.
“Kak Stefan.”
Dia menoleh lalu memakan kerupuknya sampai habis. Kak Stefan meminum jusnya sampai setengah. Ia mengusap bibirnya dengan tissue. Cara makan kakak gue yang satu ini sangat berkelas, beda sama gue yang sedikit belepotan.
“Gak ada masalah apa-apa, kami baik-baik saja.”
“Terus kenapa kakak gak mau nikah sama Kak Silvi? Kalau kakak mau bilang karena gue jomblo itu artinya kakak cuma cari alasan supaya tidak menikah dengan Kak Silvi,” ujar gue panjang lebar.
Kak Stefan mengusap wajahnya lalu meneguk minumannya sampai habis. Hanya tinggal beberapa balok es cube dalam gelasnya.
“Itu karena gue…”
Gue mulai penasaran apa yang akan dikatakan Kak Stefan selanjutnya. Ia menatap gue lalu tersenyum. Tubuhnya condong ke depan membuat tubuh ini melakukan hal yang sama. Wajah kami sangat dekat sehingga memungkinkan gue bisa dengar gumaman Kak Stefan sekali pun.
“Karena gue sayang sama lo. Gue pengen lo ada yang jagain karena gue tahu setelah nikah nanti gue gak akan bisa jagain lo terus.” Kak Stefan mengacak rambut gue sampai kusut dan anehnya gue tidak merasa kesal sama sekali. Justru merasa terharu karena di balik sifat menyebalkan Kak Stefan benar-benar sayang sama gue. Seburuk-buruknya saudara ada cinta yang melandasinya.
“Makanya Nyet cari pacar, entar jadi perawan tua.” Kak Stefan berdiri membawa piring kotornya ke tempat cuci piring.
“Kalau gue jadi perawan tua maka lo jadi perjaka tua. Weeekk.” Gue segera kabur sebelum Kak Stefan menjawabnya.