Dukun Bonding

1620 Kata
Semenjak pertemuan gue sama Santi kemarin membuat gue semakin gelisah. Pikiran untuk mencari dukun terus terngiang di kepala gue. Namun, hati kecil selalu menolak. Sampai-sampai gue melamun seperti orang bodoh di meja makan. “Semoga Tuhan memberkati,” ujar Kak Stefan setelah mencipratkan air ke muka gue. Seketika gue langsung sadar. Ini lebih baik dari pada ia menyemburkan air dari mulutnya.  “Kakak apa-apaan sih? Ganggu orang lagi mikir saja.” “Mikirin dia yang tidak kunjung muncul? Ckckck, sudah terima saja perjodohan dari mama siapa tahu bisa nikah.” “Masalahnya bukan itu, Kak.” Gue mau bilang kalau perjodohan dengan Satria tidak akan berjalan lancar karena pria itu tidak menyukai gue lebih tepatnya tidak menyukai wanita. Gue membersihkan wajah dengan tissue yang ada di atas meja. Bisa nambah lagi jerawat di wajah kalau bakteri dari tangan Kak Stefan masih menempel.  “Terus apa? Mama migrain lagi gara-gara lo.” “Mama sakit kepala bukan karena gue.” Beruntung hanya kita berdua yang sarapan kalau papa dan mama dengar kita berdebat bisa dipastikan mama akan menceramahi gue lagi. Siapa pun yang salah tetap yang dapat ceramah adalah gue.  “Gue mau berangkat dulu biar gak telat.” Gue berdiri dari tempat duduk dan Kak Stefan langsung mengulurkan tangannya. Sebenarnya gue males salim sama dia. Apa lagi Kak Stefan penyebab suasana hati jadi buruk.  Setelah pamitan dengan Kak Stefan gue langsung berangkat ke sekolah. Motor matik yang selama ini menemani gue bekerja meluncur mulus membelah kemacetan. Berkelak-kelok di antara mobil pribadi yang menunggu lampu menyala hijau. Tidak jarang gue dengar pengemudi mobil berteriak frustrasi mendapat dua kali lampu merah di jalur yang sama.  Motor terparkir di halaman sekolah. Gue segera masuk ke ruang guru untuk tanda tangan kehadiran. Setelah memperbaiki penampilan gue langsung memencet tombol bel agar anak-anak segera berbaris di halaman. Begitulah keseharian menjadi guru dan gue sangat menikmatinya. Apa lagi saat mereka mencium tangan saat mau pulang.  Mengingatkan gue saat masih kecil dulu mencium tangan guru sampai basah, makanya dulu gue selalu diberi urutan terakhir saat baris. Tinggi pendek tidak berpengaruh sama gue karena kenyataannya dulu gue pendek dan selalu baris paling belakang.  Ponsel gue berdering tepat setelah selesai mengajar. Santi menelepon. Tidak biasanya dia menghubungi gue di siang hari saat hari kerja. Biasanya Santi suka menelepon saat liburan akhir pekan. “Iya, San, ada apa?” “Gue ada di rumah lo, nih. Cepat pulang gue mau curhat.” Sambungan terputus. Perasaan gue mengatakan kalau Santi putus lagi sama pacarnya atau mantannya minta balikan masal. Punya pacar ribet banget, tapi kalau tidak punya pacar makin pusing. Gue bergegas pulang setelah pamitan dengan rekan guru lainnya.  Baru saja motor gue parkir di garasi rumah si Santi sudah muncul lalu menarik tangan gue masuk ke dalam. Santi sudah dianggap keluarga sendiri di rumah gue. Kami duduk di sofa saling bersisian. “Ngapain lo pakai helm, Nat?” tanya Santi kebingungan. “Lo sendiri yang narik gue cepat-cepat.” Gue langsung buka helm lalu meletakkannya di atas meja. Helm itu adalah benda pemberian Kak Stefan lengkap dengan tanda tangannya. Mungkin Kak Stefan merasa gue adalah fans setianya.  “Gue mau ngomong serius.” “Ngomong apa?” Santi meraih bantal yang ada di belakang punggungnya untuk di peluk. Kakinya bersila di atas sofa. Memang tidak ada sopan santunnya sahabat gue yang satu ini. Untung gue kenalnya sudah lama. “Gue sungguh-sungguh pengen cari dukun biar mantan gue gak ganggu lagi. Setiap jam ponsel gue berdering dan semua pesan dari mantan gue. Dari rayuan sampai ancaman yang membuat gue gak nyaman lagi,” curhat Santi. Ini adalah masalah serius. “Kenapa gak ganti nomor?” “Gak bisa, Nat. Nomor itu sudah terdaftar di agensi gue, di bank dan semua akun media sosial gue. Agak susah kalau mau ganti.” Santi terlihat tertekan. Dia menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan ribuan chat yang masuk. Para mantannya mirip rentenir penagih hutang. Setiap jam kirim pesan coba saja waktu masih jadi pacar dihubungi saja susahnya minta ampun.  “Terus bagaimana? Mau cari dukun? Lo yakin?” “Gue mau hidup tenang. Gak masalah kalau coba cari dukun, yang penting hidup gue happy.” “Tapi gue gak yakin.” Santi menggenggam tangan gue seakan tidak ada keraguan di hatinya. Mungkin Santi sudah memikirkannya matang-matang segala resiko yang terjadi. Gue sendiri masih bimbang, tapi melihat Santi yang tertekan membuat gue menghilangkan rasa ragu itu.  “Oke, kita cari dukun.” Santi memeluk gue erat. Wajahnya berbinar saat gue memutuskan menyetujuinya. Kita berdua kembali merenungi nasib yang bertolak belakang. Ternyata bersahabat dengan orang terkenal di kalangan pria tidak semata-mata membuat diri gue digandrungi pria-pria juga. Semua tergantung dari diri sendiri dan itu artinya gue harus mencari jodoh sendiri kalau gak mau dijodohin sama mama lagi. *** Hari Sabtu setelah rapat dengan orang tua murid Santi menjemput gue di sekolah. Tadi pagi gue sengaja ke sekolah tidak membawa motor, tapi diantar sama supir papa. Awalnya Kak Stefan mengajukan diri untuk mengantar gue. Namun, gue tolak. Cium tangan Kak Stefan kadang bikin perut mual karena terlalu harum. Kak Stefan cemberut, tapi gue abaikan saja. Nanti malam tinggal kasih balon saja biar Kak Stefan senang. “Sekarang kita mau ke mana?” tanya gue saat Santi asik berbalas pesan dengan seseorang. “Kita makan dulu setelah itu baru cari orang pintar.” Santi menyimpan ponselnya di dalam tas lalu menyalakan mesin mobil. Kami mencari tempat makan yang sedikit sepi mengingat apa yang akan kami bahas sedikit sensitif. Perdukunan adalah sesuatu yang dipandang negatif oleh masyarakat dan untuk pertama kali dalam hidup gue terjerumus pada sesuatu yang sesat.  “Gue sempat cari di internet alamat-alamat dukun,kalau dilihat dari rating sih bagus. Bintang empat, tapi masalahnya rumah si dukun ada di lorong g**g jadi mobil gue parkir di jalan besar,” jelas Santi. Seketika gue membayangkan rumah tua dihiasi rumput liar yang menjalar di tembok. Mirip rumah hantu di film horor.  “Setelah makan kita langsung ke sana.” Santi menyetujui. Kami makan dengan lahap dan cepat, tentu kami tidak ingin pulang larut malam.  Pencarian di mulai. Berbekal alamat dari internet dan kecanggihan maps di ponsel dalam waktu 30 menit kami sampai di depan sebuah toko obat herbal. Dari peta yang gue baca rumahnya memang masuk ke lorong dan itu membuat gue was-was. Gue dan Santi cewek tentu bertemu dukun membuat kami sedikit takut.  Sempat meragu akhirnya gue dan Santi memberanikan diri masuk ke g**g dan sampai di sebuah rumah sederhana. Di depan pintu kayu tertulis jelas kata-kata yang membuat kami yakin bahwa itu benar-benar rumah dukun yang kami cari.  Tempat praktek dukun pelet, mengatasi masalah jodoh, rumah tangga, usaha dan lain-lain. Dijamin ori 100% ampuh, garansi 1 bulan jika pelet tidak mempan.  Gue baru sadar jadi dukun juga perlu modal spanduk. Jadi apa pun usahanya tetap perlu modal. Tidak ada yang gratis. “Permisi Kun!’ teriak Santi membuat gue bingung. “Kun siapa?” Gue tiba-tiba bingung. “Dukun, ‘kan? Kalau dipanggil jadinya Kun,” ucap Santi membuat gue terdiam. Benar juga yang dikatakan Santi, biasanya orang sering memanggil tiga huruf belakang nama seseorang tapi kalau yang ini gue agak ragu mau dipanggil Kun. Yang ada di bayangan gue adalah rakun. Hewan berukuran sedang yang berasal dari Amerika Utara. Hewan pintar tapi nakal.  Seorang wanita menghampiri kami. Wajahnya sedikit kusam dan tatapannya sangat menakutkan. Jangan bilang kalau dia adalah dukun yang kami cari. “Cari Mbak dukunnya?” tanya wanita itu. Kami mengangguk. “Silakan masuk dulu. Mbak dukun sedang ke salon lagi rebonding. Bentar lagi selesai,” kata ibu itu membuat kami mengangguk. Ternyata dukun juga perlu perawatan diri. “Gue mau panggil dukunnya dengan nama dukun bonding,” bisik Santi membuat gue hampir tertawa. Tidak butuh waktu lama seorang wanita berpakaian serba hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki masuk ke rumah. Kami coba tersenyum menyapa lalu dia menatap kami dari atas sampai bawah. “Mau cari saya?” tanyanya. “Emang mbak siapa, ya, sampai kami harus mencari?” Gue bingung siapa perempuan ini sebenarnya. Rambutnya hitam lurus dan panjang. Mirip duta shampoo lain. “Saya dukun yang praktek di sini,” ujarnya membuat kami berdua sadar. Dialah yang kami cari. “Oh, iya kami mencari Mbak Dukun Bonding,” kata Santi membuat dukun itu menekuk alisnya. Namun, wanita itu tidak menjawab ia meminta kami untuk menunggunya sebentar. Kami menunggu di ruang tamu tanpa disuguhi minum. Rumah yang memiliki tiga ruangan itu cukup luas, tapi sayang kurang dirapikan tata letak barangnya jadi terlihat penuh dan kumuh. “Mari ikut saya ke ruangan,” kata Mbak Dukun yang sudah mengganti pakaiannya dengan celana tiga per empat ditambah baju hitam seperti blazer tanpa kancing. Rambutnya yang hitam lurus kini diikat sebuah kain penutup kepala. Kalau dilihat-lihat penampilan dukun ini mirip sama Mamang penjual sate di depan komplek.  “Duduk! Saya akan mempersiapkan medianya dulu,” kata si dukun. Kami berdua diam saling pandang saat si dukun menyalakan dupa dan kemenyan. Satu butir telor bebek dan kembang tujuh rupa. Ritualnya mirip di film, gue merasa jadi pemeran utama. Mbak Dukun duduk bersila di depan kami yang duduk lesehan di lantai. Ia mengambil sebotol air mineral lalu meminumnya. Sebelum menelannya si mbak dukun memainkan air di dalam mulutnya. Lalu bersendawa di depan kami.  “Maaf, saya haus habis rebonding. Lama,” ujarnya lalu membuang botol air mineral ke tempat sampah yang ada di pojok ruangan. Botol itu sukses masuk ke tempat sampah yang membuat kami kompak bertepuk tangan. Lumayanlah skill si dukun ini. Bisa jadi atlet lempar batu sembunyi tangan.  “Jadi siapa orang pertama yang mau menyelesaikan masalahnya?” tanya mbak dukun dengan wajah menyeramkan. Gue dan Santi saling bertatapan. Kita berdua sama-sama punya masalah yang mirip tapi beda. “Gue duluan ya, Nat,” ucap Santi membuat gue mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN