Pagi ini terasa sangat janggal ketika Radit berada di depan rumah. Gue berlari menghampirinya sembari membawa helm dan jaket yang sudah gue masukin ke dalam tas kantong. Bau harum parfume yang dipakai Radit seketika tercium dari hidung gue. Tumben dia wangi biasanya bau keringat.
“Ini, Dit helm sama jaketnya. Thanks, ya.” Radit menerima tas kantong yang gue berikan lalu meletakkannya di gantungan motor.
“Lo mau ke tempat kerja?” tanya Radit. Gue mengangguk singkat.
“Barengan sama gue saja kebetulan gue ada pertemuan di luar.”
“Eh, gak perlu nanti ngerepotin. Entar lo telat lagi. Gue bawa motor kok.”
Radit mengambil helm yang ada di dalam kantong lalu memberikannya pada gue. Tuben banget si Radit memaksa biasanya dia tidak peduli. Pernah dulu saat ban motor gue kempes dan minta bantuan ke dia, tapi Radit malah pergi begitu saja. Setelah kejadian itu gue tidak pernah minta bantuan lagi ke Radit.
“Benar gak apa-apa? Nanti lo dipecat gara-gara telat.”
“Lebih cepat lo naik lebih cepat gue ngenterinnya. Nih pakai.”
Gue langsung pakai helm-nya lalu naik ke boncengan. Radit menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Kalau seperti ini setiap hari gue merasa kayak pacaran sama si Radit. Inilah kelamaan jomblo diperhatikan sedikit langsung bawa perasaan alias baper.
Gue segera turun dari motor saat berhenti di depan sekolah. Gue langsung lepas helm dan memberikannya pada Radit. Semua mata menatap pada kami tidak kecuali anak-anak dan para guru. Jujur gue malu kalau dilihatin terus.
“Terima kasih, ya, Dit. Hati-hati di jalan.” Gue langsung masuk ke dalam sekolah meski Radit belum membalasnya. Gue harus cepat masuk ke ruang guru agar anak-anak dan wali siswa berhenti menatap gue.
“Bu guru,” panggil seorang anak berwajah bulat dan pipi chuby.
“Iya, ada apa, Nak?” Gue berjongkok mensejajarkan tubuh dengan gadis kecil itu.
“Tadi pacarnya Bu Guru?”
Gue langsung kikuk saat anak itu bertanya. Anak TK sudah tahu pacaran, dulu waktu gue TK jangankan pacaran nama teman sekelas saja tidak tahu.
“Bukan, tadi itu teman Bu Guru. Ayo masuk kelas sebentar lagi bel berbunyi.”
Anak kecil itu mengangguk lalu berjalan ke kelasnya. “Oh, jadi Bu Guru jomblo,” gumamnya. Namun, masih bisa di dengar oleh telinga gue. Dari mana dia tahu arti jomblo. Anak-anak jaman sekarang cepat sekali gedenya.
Bel berbunyi anak-anak segera kumpul di halaman. Rutinitas harian sebagai pengajar akan dimulai. Tidak ada rasa bosan saat mengajar mereka selalu ada yang membuat gue tertawa dan senang setiap harinya.
Siang menjelang. Pukul 11.00 anak-anak sudah pulang. Kini giliran gue piket membersihkan kelas dan ruang guru serta membuang sampah yang hampir penuh. Saat semua pekerjaan selesai Santi menelepon. Tidak bisanya di hari Senin ia menghubungi gue. Mungkin dia ingin curhat lagi.
“Iya, San. Ada apa?”
“Lo bisa ke studio, gak? Ada yang mau gue omongin.”
“Oke tunggu ya, gue ke sana pakai taksi jadi agak lama.”
Sambungan terputus gue bergegas mengambil tas lalu memangil taksi online. Setelah sampai di studio gue langsung ke ruangan di mana Santi sedang di make-up. Gue sedikit canggung saat semua mata memandang dari atas sampai bawah. Ada beberapa orang baru yang sedang berdandan di samping Santi.
“Santi,” panggil gue membuat gadis itu melambaikan tangannya. Seorang pria sedang memoles lipstick ke bibir Santi. Setelah selesai pria itu melakukan hal yang sama pada orang di samping Santi. Sepertinya mereka sangat sibuk.
“Gue kira lo gak bakalan datang,” ujar Santi. Gue berdiri tepat di belakangnya dan kita saling menatap melalui cermin besar.
“Ada apa?”
Santi meraih ponselnya lalu memberikan pada gue. Ada banyak chat dari pria dan seperti biasa gue malas membacanya.
“Terus kenapa? Ada masalah?” Santi menarik tangan gue lalu berbisik.
“Apa gue harus laporin mereka? Gue pengen hidup damai tanpa mikirin mantan,” bisiknya. Gue yakin Santi sedang tertekan dan dia butuh curhat sama seseorang dan itu gue. Curhat dengan sesama teman modelnya hanya mengungkap aib sendiri. Santi tidak mau salah satu temannya membocorkan hal itu pada media. Sebagai teman yang baik gue harus bisa menenangkan dia.
“Lo tenang saja mereka gak akan berani mengusik lo lagi. Ada gue yang siap menghalau mereka.”
Santi merentangkan tangannya bersiap memeluk gue. Namun, dengan cepat gue menghindar. Mau taruh di mana harga dirinya sebagai model. Santi dikenal sebagai wanita mandiri dan dewasa oleh teman-temannya, tapi di hadapan gue dia tidak lebih dari gadis manja.
Santi mulai pemotretannya. Ia hanya mendapat tiga sesi hari ini jadi sore hari ia sudah bisa pulang. Santi bilang bulan depan dia ada pemotretan outdoor di pantai dan mungkin akan memakan waktu seharian.
“Gak capek lo San?” tanya gue saat kita berdua duduk di dalam taksi. Santi menolak diantar managernya pakai mobil alasannya dia mau curhat sama gue tanpa ketahuan manager atau orang-orang di tempat kerjanya.
“Capek bangetlah. Gue mau mandi terus tidur. Tumben Minggu ini jadwal gue padat banget,” keluhnya.
“Ya, bersyukur saja, San lo masih kerja dan menghasilkan. Banyak orang yang lomba-lomba lamar kerja tapi belum dapat juga.”
Santi menoleh lalu merangkul lengan gue. Kalau orang lain tidak tahu dekatnya persahabatan kami pasti mereka akan berpikiran bahwa kami adalah pasangan sejenis. Kadang gue juga tidak nyaman saat Santi tiba-tiba memeluk atau merangkul. Ikatan batin kita sudah seperti anak kembar.
Taksi berhenti di sebuah restaurant. Kami segera turun dan masuk ke dalam restaurant. Pelayan datang menghampiri lalu mencatat makanan yang kami pesan. Santi melamun sambil menopang dagu. Ia seperti memiliki segudang masalah yang tidak ada habisnya.
“Kenapa ya saat gue pengen tenang tapi masalah terus menghampiri. Gue juga pengen hidup seperti lo, Nat. Gak diteror sama mantan terus. Baru bangun sudah ada pesan dan kadang gue pengen hapus semua media sosial gue. Lo enak, Nat, gak punya mantan yang bikin kepala lo pusing,” keluh Santi. Tumben sekali Santi mengeluh punya banyak mantan biasanya dia selalu sombong karena mantannya ada di mana-mana. Mungkin ini yang namanya titik jenuh.
“Itu artinya hidup itu tidak selamanya sesuai yang kita inginkan. Lo harus banyak bersyukur karena sampai detik ini hidup lo berkecukupan. Sesekali lo harus tengok ke bawah, San, tapi jangan kelamaan entar lo lupa kalau masih ada mimpi yang harus lo raih.”
Santi meletakkan kepalanya di atas meja. Suasana hati Santi yang tidak biasa ini harus diwaspadai. Gue gak mau dia jadi sakit mental karena masalah mantan. Di sinilah peran gue sebagai teman.
“Kenapa lo gak jalan sama si Bram saja? Dia masih jadi pacar lo, kan?” Santi mengangkat kepalanya, tapi raut wajah gadis itu masih tetap murung. Pasti ada sesuatu.
“Dia belum ada kabar. Katanya lagi banyak kerjaan.”
Sambil menunggu makanan datang gue dan Santi memulai sebuah permainan di ponsel. Tiba-tiba Santi berteriak membuat seisi restaurant menatap kami. Gue benar-benar malu karena ulah Santi yang tidak bisa dikontrol.
“San. Lo kenapa teriak-teriak kayak tarzan, bikin malu gue.” Santi menutup mulutnya lalu duduk di dekat gue.
“Gue lagi bahagia,” kata Santi memeluk tangan gue erat.
“Bahagia kenapa?”
“Gue ditawari syuting iklan lagi.”
“Gede banget,ya, bayarannya?” Gue tiba-tiba jadi iri sama Santi. Sudah cantik, pekerjaan menjamin ditambah mudah cari pasangan. Sedangkan gue apa-apa serba seret kayak tenggorokan kering.
“Lumayan sih, tapi yang terpenting muka gue ada di tv. Gue makin terkenal,” ucap Santi bahagia. “Nanti lo harus nonton iklan gue,” lanjut Santi.
“Gue nggak punya tv, jadi nggak bisa nonton iklan lo.”
“Bohong. Itu tv besar di kamar lo cuma jadi pajangan?” Santi mulai memaksa. Kebiasaan kalau keinginannya tidak dituruti.
“Percuma gue nonton tv kalau isinya film-nya selingkuh doang. Gue sebagai jomblo merasa iri, bisa-bisanya pemeran cowoknya punya dua sampai tiga istri sementara masih banyak yang jomblo di luar sana.” Gue jadi teringat salah satu film yang membuat kejombloan gue meronta.
“Namanya juga film, jangan baper. Kalau menurut riset gue cowok kalau punya pasangan banyak itu biasa, Nat.”
Gue menatap Santi tidak suka. Gue nggak suka cowok yang nggak setia, tapi Santi bilang itu hal biasa. Sama saja dia bilang kalau cowok suka selingkuh. Gue nggak rela kalau suatu hari nanti bertemu pria seperti itu.
“Kenapa seperti itu?”
“Karena menurut data dari janganjombloterus.id jumlah perempuan di Indonesia itu lebih banyak dari jumlah laki-laki, jadi untuk mengurangi tingkat kejombolan, laki-laki nggak masalah punya cewek lebih dari satu,” jelas Santi sambil menutup mulutnya menahan tawa.
“Mana ada teori seperti itu. Ngawur kamu San.”
“Jangan-jangan pria masa depan lo sudah jadi suami orang.” Santi terbahak, dia meledek lagi.
“Amit-amit. Lo jangan ngeledek gue, siapa tahu ternyata pacar gue mirip Al Gazali atau Aldebaran, nangis-nangis lo iri sama gue.” Tawa Santi semakin keras membuat gue kesal. Jangnkan yang mirip Al Gazali, yang mirip Mas Ucup satpam depan komplek saja nggak pernah ngelirik. Nasib gue jadi jomblo kronis.
***
Bisa jalan-jalan sore dengan Santi membuat gue benar-benar happy. Sudah lama kita berdua nggak jalan-jalan santai terlebih karena jadwal Santi yang padat ditambah masalah dengan para mantannya membuat Santi tidak memiliki waktu luang.
Santi terlihat asik menelepon seseorang. Gue tebak itu pasti pacarnya. Beginilah kalau punya pacar ke mana-mana harus lapor dulu ada di mana sama siapa sekarang berbuat apa? Panggilannya sudah mama papa lagi membuat gue muak.
“Sudah selesai nelponnya?” tanya gue saat Santi menyimpan kembali ponsel ke sakunya.
“Sudah. Dia bilang lagi banyak kerjaan, mau ketemu klien.”
Kami berjalan bersisian menikmati udara sore di taman. Sampai akhirnya ada seorang nenek yang menarik perhatian kami. Gue dan Santi sama-sama tidak memiliki nenek, jelas saja saat melihat nenek yang menjajakan barang dagangnya membuat kami iba.
“Seharusnya di usia setua itu si nenek diam di rumah,” gumam Santi. Pemikiran kita sama, gue juga beranggapan bahwa orang setua itu harusnya main sama cucu menikmati masa tuanya. Namun, nggak semua orang memiliki nasib yang baik. Nenek tua itu harus berjuang demi hidupnya.
Gue dan Santi menghampiri si nenek yang ternyata menjual cangcimen (kacang, kuaci permen) dan air mineral. Gue yakin si Santi bakalan borong kuaci itu karena dia sangat suka snack yang cara makannya ribet.
“Nek, saya borong semua kuacinya,” kata Santi saat berjongkok di depan nenek itu.
“Saya beli air mineralnya, Nek.”
“Terima kasih, Nak, sudah bantu nenek.” Nenek itu dengan cepat membungkus kuaci untuk Santi. Tangannya begitu cepat sampai membuat gue terkagum.
“Berapa semuanya Nek?” tanya Santi.
“Semuanya seratus ribu ditambah gratis curhat masalah asrama eh asmara,” sahut si nenek membuat kami berdua saling pandang. Sekilas nenek ini mirip Aming ekstra vaganza. Tubuh rentanya tidak terlalu berisi, tapi terlihat masih sehat dan bugar.
“Kalian sepertinya lagi punya masalah. Pasti tentang asmara,” ucapnya lagi membuat kami tersenyum.
“Biasa Nek, masalah anak muda,” sahut gue.
“Pasti masalah mantan dan kejombolan?” tanya si nenek membuat kami berdua heran. Dukun saja belum tentu bisa menebak dengan benar. Gue jadi curiga jangan-jangan si nenek bisa meramal jodoh. Lumayan beli kuaci dapat konsultasi asmara gratis.
“Kenapa nenek tahu?” tanya Santi.
“Terlihat dari raut wajah kalian. Nenek dulu juga pernah muda.” Nenek itu tertawa kecil memperlihatkan giginya yang tanggal.
“Dulu satu kampung ngantri di rumah nenek.”
“Ngapain itu Nek? Mau ngelamar nenek?” tanya gue. Hebat juga si nenek ini jadi primadona kampung. Pasti waktu mudanya cantik.
“Bukan, mereka beli sembako, dulu nenek jualan sembako, tapi bangkrut gara-gara dihutangi terus sama pembeli." Gue dan Santi saling berpandangan lalu mengulum senyum.
“Terus bagaimana caranya, Nek, supaya mantan nggak ganggu terus?”
“Iya, Nek, biar saya juga cepat punya pacar.”
Nenek itu tertawa. “Kalian nggak mau tukar nasib? Kamu–si nenek nunjuk gue– dikejar-kejar cowok sementara kamu–nunjuk Santi– bisa tenang tanpa gangguan mantan,” ucap si nenek. Kalau dipikir pakai otak dan logika itu tidak mungkin, kecuali mikirnya pakai dengkul mungkin lebih nyambung.
“Emang bisa, Nek?” tanya gue penasaran.
“Bisa.” Nenek itu tersenyum misterius.