Bergulat Dalam Kegalauan

1443 Kata
Arhan tidak langsung pulang ke rumah, tapi mampir ke apartemen Atika sepulang dari rumah sang ibu. Dia melepaskan jasnya lalu menyampirkan pada punggung sofa. Terlihat Atika baru keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah kemudian tanpa banyak berkata langsung duduk di pangkuannya dan adegan demi adegan dewasa pun mulai tercipta. Begitu panas tanpa jeda saling menyalurkan rasa membara dalam diri mereka. Mungkin lebih dari dua puluh menit hingga peluh saling membanjiri raga masing-masing. Amukan rasa terpendam di dalamnya hingga menyisakan rasa yang berbeda dari hari biasa. Emosi dari dalam diri Arhan meletup tidak terkira dan itu cukup mengagetkan Atika tentunya. "Kamu baik-baik saja?" tanya perempuan itu begitu pergulatan mereka berakhir dan sama-sama terkapar di atas ranjang. "Kenapa?" Arhan menyahut dengan nada dingin. "Kamu ada apa? Kenapa hari ini rasanya hanya kemarahan dan aku—" "Aku mandi dulu, jam delapan aku harus pulang," potong Arhan seraya turun dari kasur lalu berjalan ke dalam kamar mandi tanpa menoleh sama sekali ke arah Atika. Perempuan itu memberengut kesal. Sesi percintaan yang membuatnya bahagia, puas, sekaligus kecewa karena tidak biasanya Arhan langsung pergi begitu saja. Mereka akan saling memeluk hingga tertidur. Bisa melihat bagaimana pria itu pulang ke rumahnya setelah lewat jam dua belas malam, membuat Atika berada di atas kemenangan. Ya, sebuah rasa puas karena memikirkan bagaimana jadi Shania yang setiap saat menunggu suaminya pulang dan mendapat sisa cinta saja darinya. Atika benar-benar menikmati sensasi itu setiap kali Arhan bercinta dengannya. Merasa lebih baik dan sempurna dibandingkan istri sah Arhan. "Pasti perempuan itu tidak sanggup membuatmu puas di ranjang, 'kan?" goda Atika setiap kali mereka mulai bercinta dengan sebuah pemanasan. Sebuah pertanyaan yang berhasil menyulut bara api gairah dalam diri Atika setiap kali dijawab Arhan dengan hinaan dan ucapan merendahkan untuk sang istri di rumah. Atika merasakan kemenangan itu karena jelas, Arhan hanya mencintainya saja, Shania hanya pelampiasan atas rasa marah akibat penghianatan yang pernah dia lakukan dulu. Atika menggulung tubuh polosnya ke dalam selimut, melihat ponsel Arhan yang sejak dulu terbuka untuknya. Dia pun mengecek pesan-pesan yang masuk dan langsung tertawa remeh ketika mendapati pesan yang dikirim untuk Shania hanya singkat dan tanpa makna. Kemenangan itu timbul luar biasa dan dia merasa sangat puas dengan keadaan itu. "Aku langsung pulang." Arhan sudah siap dengan pakaiannya ketika berdiri di dekat meja rias, tampak sangat gagah dan wangi menatap dirinya di depan cermin. Atika pun menekuk sikutnya dan beralas bantal demi bisa melihat pemandangan indah itu. Ya, Atika luput melihat bagaimana ketampanan Arhan saat masih muda, karena saat itu yang ada di pikirannya hanya uang. Sekarang pun sepertinya masih sama. "Besok kita mulai pesan cincin, ya?" ajak Atika dengan suara manja. "Aku lihat jadwalku dulu, ya," jawab Arhan seraya mengecup kening Atika sedangkan tangannya segera meraih ponsel dari tangan perempuan itu lalu memasukkan ke dalam saku celana. "Jangan coba-coba untuk menelepon Shania lagi." Wajah Arhan kali ini terlihat gelap penuh peringatan. "Soal siang itu. Maaf." Atika pura-pura menyesal. "Semua sudah berakhir, untuk apa minta maaf," sahut Arhan memendam rasa kesal. "Oya, apa perempuan kampung itu masih tinggal di rumahmu? Kapan aku bisa tinggal bersamamu? Hah, capek! Tiap kangen harus nunggu kamu datang ke sini." Wajah Atika pun dibuat manyun, gaya andalannya dan itu memang selalu bisa mendapatkan perhatian dari Arhan. "Sabar dulu. Proses ceraiku sedang berjalan. Jangan nekad kamu, sampai macam-macam ke rumahku karena itu akan membuat prosesnya menjadi rumit," tukas Arhan dengan nada memperingatkan. "Janji besok ke sini lagi?" "Iya. Aku pulang dulu ya. Jaga diri, jangan lupa kunci pintu dan jangan menerima tamu siapapun yang tidak kamu kenal," ucap Arhan seraya membereskan jasnya, mengambil kontak mobil lalu meninggalkan Apartemen Atika tanpa menoleh lagi ke belakang. Dia ingin segera pulang dan melihat keadaan Shania. Sebuah pemikiran yang tiba-tiba terbersit begitu saja, setelah mengingat ucapan ibunya sore tadi. Memacu kendaraan dengan kecepatan sedang, Arhan sampai di rumah dalam keadaan gelap gulita. Taman-taman tidak ada lampu hias lagi. Demi bisa masuk rumah, lampu mobil dia biarkan hidup agar kakinya tidak sampai tersandung pot-pot bunga yang berjajar di teras rumah. "Shania, astaga. Kerjaan dia di rumah ngapain?" geramnya seraya memasuki rumah lalu mulai menyalakan semua lampu hingga menyisakan cahaya terang benderang. Sepi, satu kalimat yang tiba-tiba terbersit di kepala Arhan. Rumah seperti tidak ada penghuninya. Bila biasanya setiba di rumah dia langsung disuguhi senyuman, tangan yang cekatan membantu membawakan tas, merapikan sepatu dan menawarkan segala jenis minuman dan makan malam, kini rutinitas itu lenyap seketika. Shania entah saat ini sedang apa dan di mana. "Shania!" panggil Arhan seraya menyusuri tangga. Dia berharap segera bisa menemukan sosok perempuan lembut bertubuh ramping dan putih itu. Namun, panggilannya tidak ada yang menyahut karena justru gema teriakan malah membuatnya merinding sendiri. "Ke mana dia?" gumamnya seraya terus melangkah ke arah lantai atas. Dia ingin meletakkan tas dan ponselnya di kamar lalu ganti pakaian dengan kaos santai. Rasa penasaran yang masih tinggi memaksa Arhan untuk ke luar dari kamar. Tadinya sudah merebahkan diri di kasur, membalas pesan dari Atika dan mengabarkan kalau sudah sampai rumah. Kini, dia pun turun untuk melihat di mana Shania berada dan mencurigai perempuan itu pergi tanpa pamitan. Area dapur kosong begitu pula dengan tempat untuk mencuci piring. Taman tidak luput dari pengamatan, tetapi nyatanya batang hidung Shania pun tidak terlihat. Arhan pun dilanda kekesalan karena inilah pertama kalinya Shania tidak ada ketika dirinya ada di rumah. "Dasar b******k!" umpat Arhan seraya berjalan dengan langkah kesal. Dia memilih untuk meninggalkan ruangan tengah dan berlanjut ke ruangan lain. Rasanya sangat geram dibuat kucing-kucingan seperti ini. "Oh, Mas Arhan sudah pulang rupanya," ucap Shania pelan, tetapi suara itu sangat mengagetkan Arhan hingga pria itu hampir terhuyung jatuh. "Siapa yang b******k, Mas?" Shania pura-pura bertingkah songong, tidak seperti biasanya. "Kamu ini dari tadi dipanggil tidak nyahut, apa telinga kamu sudah ada kelainan?" sahut Arhan melengos kesal. "Ada perlu apa Mas memanggil? Aku pakai headset, jadi tidak dengar." Shania pun menjumput kertas yang berserakan di meja lalu mengumpulkan dalam satu map cokelat. Sebuah kegiatan yang membuat Arhan penasaran, tetapi enggan untuk bertanya. "Tidak ada apa-apa. Hanya saja, kenapa lampu-lampu tidak kamu nyalakan?" Arhan membiarkan Shania berjalan melewatinya. Aroma parfum yang dikenalnya selama ini dan perempuan itu tidak pernah berubah hingga hari ini. Situasi yang baginya malah lebih rumit dari sebelumnya. "Oh, itu. Aku rasa tugasku hanya mengurus hidupku sendiri. Aku minta area yang di sini selama tiga bulan, sisanya itu kewajiban Mas sendiri," ujar Shania sambil menoleh, wajah oval dengan mata hitam berbulu tebal lentik itu segera tersorot cahaya lampu oranye dari arah luar taman. Arhan dibuat terkesiap dengan pemandangan indah itu. "Kenapa kamu membicarakan hak kewajiban padahal jelas kamu masih numpang di sini!" Arhan pun membalas kalimat Shania dengan nada ketus. "Apakah setelah Mas Arhan mentalakku, aku juga masih harus mengurus rumah, mencuci pakaian dalam yang di permukaannya terdapat cairan percintaan kalian berdua? Menyiapkan berbagai kebutuhan Mas Arhan setelah apa yang aku lakukan tidak ada harganya dibanding kenangan masa lalu yang tidak pernah bisa Mas lupakan?" balas Shania dengan tatapan mata sangat kecewa. Demi Tuhan, Arhan kaget karena baru kali ini dia mendengar suara Shania tegas dan penuh penekanan. "Kamu ini bicara apa!" Arhan tidak mau begitu saja dipojokkan, dengan wajah memerah menahan malu dia segera melengos ke arah lain. "Bukan Mas yang salah. Jangan cemas dan jangan berharap aku akan sedih berkepanjangan. Aku akan pergi setelah masa iddah selesai sesuai dengan syari'at agama dan akta cerai sudah kudapatkan. Memang aku yang salah karena telah memaksakan diri untuk bersama dengan pria yang belum selesai dengan masa lalunya. Ini pelajaran berharga bagiku sebagai bahan introspeksi. Bukankah selama ini yang wajib introspeksi diri kalau suaminya berselingkuh hanya kaum perempuan?" Shania segera berjalan meninggalkan Arhan menuju kamar lalu menutup pintunya rapat-rapat. Dia berjanji akan meluapkan satu persatu ganjalan di hatinya—yang dulu terpendam hanya demi menjaga perasaan Arhan. Sebuah kebiasaan buruk karena selalu saja mengabaikan kesehatan mental sendiri demi menjaga hati orang lain. "Aku akan menyadarkan kamu, Mas. Kalau selama ini aku pura-pura bodoh dan diam hanya demi menjaga martabatmu sebagai laki-laki. Tapi, sekarang setelah aku bukan siapa-siapa lagi bagimu, aku bebas mengekspresikan diri sesuka hati. Aku Shania, perempuan mandiri sejak usia dua tahun. Bukan lagi istri yang harus patuh hanya karena hidup numpang di rumahmu." Shania mengusap dadanya dengan dua telapak tangan. Sungguh, sesak hati masih saja terasa setiap kali mengingat jejak-jejak benih sang suami dan dia membuang bayangan kotor karena tidak pernah berpikir orang sekelas Arhan akan berbuat hina seperti itu. "Aku akan cari kerja. Ya, aku akan bersikap baik padanya sekaligus mendendangkan bendera perang dingin dengan perempuan idamannya itu. Lihat saja, aku pasti bisa bangkit untuk cari makan sendiri," janji Shania seraya menoleh ke arah pintu. Dia merasakan kalau Arhan masih berada di tempat tadi, belum bergerak kembali ke kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN