Menusuk Dari Belakang

1443 Kata
"Pakaian aku tidak malu-maluin 'kan?" Kalimat pertama yang terucap dari bibir Shania setelah sejak datang pada pertemuan hanya diam menyimak. Tentu bisikan di telinga Shinta membuat perempuan itu mau tak mau tersenyum juga. Dia pun menggeleng pelan seraya mengedipkan sebelah matanya, tanda kalau dia tampil cantik. "Aku tidak mengerti apa yang sedang kalian bahas," bisik Shania lagi seraya mengamati kertas yang bertumpuk di hadapannya. "Nanti juga ngerti. Tugas kamu cuma mendesain, bukan untuk yang lain," balas Shinta di sela-sela rapat. Kebetulan pemimpin rapat diambil alih tim managementnya, dia hanya menyimak seraya sesekali memberikan tanggapan dan masukan kalau ada yang kurang. Shania mengangguk pelan. Tatapan matanya kini menyapu seantero ruangan hingga kini terpaku ke arah seberang jalan. Masih bisa dilihat dari tempatnya meeting hari ini, sebuah Depertemen Store terbesar di kotanya terpampang nyata, tempat saat ini mantan suaminya mengais rezeki. Akan tetapi, bukan untuknya lagi. "Aku sebentar lagi akan menyandang status janda. Sebuah kegagalan dari perempuan dan akan selalu dicap negatif oleh orang." Shania membatin tidak senang. "Ok, kita akan melakukan pertemuan sekali lagi setelah ini. Kita juga akan melakukan gladi bersih di Megah Depertemen Store sebagai sponsor utama sekaligus tempat berlangsungnya acara." Suara tegas salah seorang pria yang memimpin pertemuan membuyarkan lamunan Shania. Sebuah bahasa isyarat yang bisa diartikan kalau pertemuan kali ini sudah mencapai akhir. Shania pun ikut berdiri untuk bersalaman. "Ok, akan aku atur jadwalnya," sahut seorang perempuan berkacamata sambil tersenyum tipis. Shania tidak kenal, tapi bisa dipastikan memiliki posisi bagus di dalam perusahaan. "Baiklah, sampai jumpa lagi. Dan kamu, Shinta ... aku harap kamu akan memberikan kejutan-kejutan seperti bisanya." Mata laki-laki itu kini lurus menatap Shinta. "Aku sudah punya tambahan anggota timku, jangan cemas," sahut perempuan berambut cokelat pirang itu seraya mengulurkan tangan, membalas jabatan tangan sang pria. "Ok, aku selalu percaya dengan tim kamu," balas laki-laki itu seraya mengalihkan pandangannya kepada Shania yang kini mengambil alih dengan menjabat tangan laki-laki itu. Pertemuan usai dan kini semua peserta bisa bernapas lebih lega setelah laki-laki itu pergi. Shania tidak paham apa jabatannya, tapi yang pasti dia paham kalau posisinya sangat penting untuk event ini. Dia tidak mau bertanya lebih jauh. "Setelah ini kita akan ketemu sama cowok ganteng," bisik Shinta sangat bersemangat. Shania hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Sungguh, membicarakan pria hanya membuatnya sangat muak sekaligus sedih. Kini, hatinya hancur lebur, sama sekali tidak berminat untuk meladeni Shinta apabila itu menyangkut soal pria. "Kamu sangat cantik, hanya kurang maskara saja," goda Shinta sambil menyipitkan matanya, wajah perempuan cantik itu fokus padanya saat berjalan beriringan. Shania seperti biasa, hanya mendengus tidak membalas berkomentar. "Kamu udah janji bakal masukin aku ke tim pameran kamu. Terserah tugasnya apa, yang penting aku bisa dapat uang," ucap Shania seraya menyamakan langkah dengan Shinta. Mereka saat ini sedang berjalan meninggalkan ruangan restoran, tempat pertemuan tadi. Semua peserta juga sudah bubar berpamitan untuk melanjutkan pekerjaan lainnya. "Makanya kamu sekarang ada di sini. Itu artinya kamu udah masuk tim akuh," cerocos Shinta berhasil meyakinkan Shania karena sejak tadi dia meragukan janji sang sahabat. "Kamu bisa mulai dari sekarang." "Sungguh?" Pipi Shania pun telihat merah merona. "Iyalah, aku 'kan pemilik butiknya, masa bohong sih, dudul!" Tangan perempuan itu pun dengan gerakan gemas langsung merangkul pundak Shania dan mengajaknya menyeberang jalan untuk kemudian memasuki restoran lain. Shania sampai dibuat kebingungan karena beberapa menit lalu dia sudah selesai makan. "Kita ke sini ngapain?" Shania berbisik pada Shinta. "Bertemu cowok ganteng. Gimana sih, masa tadi tidak dengar?" "Kukira bohongan," gerutu Shania langsung ditanggapi tawa kecil Shinta. "Aku tidak pernah bercanda masalah cowok ganteng dan kerjaan, Bebeb." Shania pun langsung mengerucutkan bibirnya saat sahabatnya itu memberikan gaya songong dengan memutar bola matanya, sebagai isyarat kesombongan penuh canda. Mereka berdua saling melempar senyum karena paham obrolan ringan ini sangat mereka berdua rindukan. Shania duduk bersebelahan dengan Shinta. Tampak sesekali perempuan itu mengecek jam tangan sambil menatap ke arah pintu masuk restoran. Tidak tahu, apakah orang yang ditunggunya akan datang. Perasaan Shania pun dibuat penasaran dengan sosok yang tengah ditunggu sang sahabat. "Ok, kita tunggu sambil pesan makan siang," ucap Shinta seraya melambaikan tangan, bermaksud untuk memanggil pramusaji. "Oh, jadi ini alasan kamu tadi cuma minum doang saat meeting?" goda Shania terkekeh-kekeh. "Iya, dong. Jaga berat badan sangat syuuulit, sedangkan aku ada jadwal meeting lain sambil makan siang," celoteh Shinta dengan wajah sangat serius, tetapi malah terlihat sangat lucu bagi Shania. Beberapa kali sahabatnya itu menepuk bagian perut yang mulai membuat ia kesal karena muncul timbunan lemak. "Iya, aku pun janji akan atur pola makan biar tubuh aman kayak zaman remaja," sahut Shania malah berhasil membuat Shinta tertawa, mengenang masa muda mereka yang malah terkenal kurus alih-alih pusing diet. "Mulai sekarang kita akan atur rencana jalan-jalan keliling berdua sambil cuci mata. Cari-cari cowok ganteng." Shinta mendadak geli sendiri membayangkan bisa liburan bersama Shania. "Asal kamu yang bayarin," sahut Shania sambil mengerlingkan kedua matanya. "Idihhh!" Percakapan asyik mereka pun terhenti tatkala segerombolan pria dan wanita berpakaian rapi ramai memasuki ruangan. Bisa dipastikan sedang makan siang bersama karena seragam mereka serupa. Shinta dan Shania pun mencoba untuk bersikap sopan dengan tidak bicara keras lagi. Shania menundukkan wajahnya dan fokus pada makanan yang sudah datang. Begitu pun dengan Shinta. Segerombolan karyawan departemen store itu ternyata mengambil tempat tidak jauh dari Shania berada hingga suara celotehan mereka samar-samar terdengar. Entah apa yang dibicarakan, nyatanya tawa sesekali terdengar riuh. "Mana Arhan? Katanya weekend depan tidak jadi ikutan party ke villanya pak Rudy?" celoteh salah seorang pria baru datang, lalu duduk di kursi belakang Shania. "Iya tuh. Penasaran gue sama istrinya. Ada selentingan kabar yang dibawa Arhan selama ini ke acara-acara kita ternyata bukan istrinya. Gimana sih, nggak ngerti gue sama dia." Wanita cantik yang duduk di sebelah pria itu pun menimpali. "Arhan katanya malu. Istrinya tidak pernah diperkenalkan ke kita-kita, tidak pernah diajak kalau ada acara soalnya wajahnya jelek kampungan, malu-maluin dia," ungkap salah seorang pria dan pernyataan itu ternyata disusul tawa yang lainnya. "Yah, ngapain dulu dinikahi kalau aslinya cuma bikin eneg kalau lihat wajahnya?" timpal yang lainnya. "Mungkin saat nikah lagi gerhana matahari total, nggak bisa lihat dengan akal sehat," sahut perempuan yang ikut makan siang dan lagi-lagi ditanggapi dengan tawa riuh. "Eh, tapi ... bukannya Arhan udah punya calon pengganti bininya, ya? Udah cerai katanya juga kemarin. Lupa, siapa ya kemarin temannya itu sempat ngomong." "Iya, cantik seksi. Sering juga kok makan bareng di sini. Cuma kita-kita aja yang pura-pura nggak tahu. Kirain juga istrinya, ehh ternyata calon pengganti istrinya yang katanya Arhan kampungan jelek bikin malu itu." Shania meletakkan sendok seketika setelah mendengar apa yang disampaikan orang-orang yang makan di belakangnya. Hatinya seperti dipalu gondam besar sampai rasanya hancur tidak berbentuk lagi. Apabila kemarin kepalanya masih bisa terangkat, kini harga dirinya seolah-olah sudah tidak lagi ada. Kalimat bulian dan hinaan yang dilontarkan Arhan di belakangnya saat bersama teman-teman kerja sangat menyakitkan. Perempuan itu tanpa sadar tersengal menahan air mata. "Eh, Shan. Ada apa?" Shinta yang tidak paham atas apa yang terjadi pun dibuat kebingungan dengan perubahan mimik wajah sang sahabat. Dia sampai celingukan karena tidak tahu apa yang membuat Shania meneteskan air mata. "Ah, tidak. Aku pamit kamar mandi sebentar," ucap Shania seraya melangkah meninggalkan kursi menuju ke arah di mana toilet berada. "Oh, hati-hati, Shan!" Shinta hanya bisa menatap punggung sahabat baiknya itu dengan kecemasan tidak terkira. Jujur, dia bingung sendiri. Shania berjalan ke toilet. Tanpa sengaja hampir bertubrukan dengan seorang perempuan yang baru saja hendak keluar dari bilik toilet. "Maaf," ucap Shania dengan langkah terburu-buru. "Ih, lagian jalan kenapa nggak hati-hati, sih!" gerutu perempuan itu seraya mengecek tangannya yang terantuk tembok. Shania tidak menanggapi, hanya diam seraya membuka pintu bilik toilet yang lain. Dia sedang menahan tangisan, tidak ada tenaga untuk berdebat. "Ah, tidak. Ini tadi, hampir jatuh. Jadi, Mas Arhan udah sampai di sini? Ok, aku keluar toilet sekarang, ya? Udah aku pesenin kok, makanan kesukaan kamu, Sayang," ucap perempuan itu pada lawan bicaranya di telepon dengan nanda manja, dan nama yang perempuan sebut itu pun sanggup membuat tubuh Shania membeku di tengah pintu. "Oh, tidak disangka malah akan ketemu di sini," gumam Shania dalam hati. Dia menoleh lagi ke arah perempuan yang kini mulai menata ulang riasan di wastafel tidak jauh darinya. Tidak salah lagi, dia yang kepergok bersama Arhan beberapa hari lalu. Sebelum perempuan itu menyadari keberadaannya, Shania pun buru-buru masuk bilik toilet dan duduk di atas closet. Tangisnya pun malah mereda dan digantikan ledakan tawa yang tertahan. Sungguh, dia tidak menduga akan bisa setegar ini. Alih-alih menjambak perempuan yang telah usil mengganggu pernikahannya, dia kini malah beringsut sembunyi seperti perempuan lemah. Lebih parahnya malah menjadi rendah diri hanya karena penampilan perempuan idaman mantan suaminya terkesan sangat glamor. "Ayo, Shania. Harusnya kamu bisa hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya," gumamnya menghibur diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN