Pulang Ke Rumah Ibu

1389 Kata
Arhan beberapa kali mengetuk pintu, nyatanya butuh hampir setengah jam dia menunggu dengan gusar di kursi teras. Matahari belum sepenuhnya tergelincir ke ufuk barat, tandanya dia hari ini memilih lembur kerja lalu pulang ke rumah orang tuanya, alih-alih memadu cinta selama weekend di apartemen Atika, seperti rutinitas tujuh bulan terakhir. "Aku sedang di rumah ibu untuk meminta restu menikahi kamu dan mengabarkan perceraianku dengan Shania. Bisakah kamu tidak rewel seperti ini?" Arhan membalas berondongan pesan yang dikirim Atika karena tidak datang ke apartemennya sejak kepergok sang istri. Sungguh, Arhan malah semakin dibuat kesal dua wanita sekaligus dalam beberapa hari ini. Kini, ditambah sang ibu pula. "Maaf, soalnya aku kangen banget pengen dikunjungi." Atika membalas pesan Arhan dengan ditambah stiker pria dan wanita saling berciuman. Mau tak mau Arhan pun tersenyum dan paham apa arti dari kunjungan yang dimaksud Atika. Dirinya pun ingin segera bergelung mesra dalam ikatan sah di ranjang bersama Atika, bukan sebagai pasangan terlarang seperti selama ini dia lakoni bersama sang kekasih. "Aku janji setelah semua rampung, kita akan saling berkunjung sepuasnya," balas Arhan masih dengan bibir mengulas senyuman. Pintu yang terbuka dari dalam seketika menyadarkan Arhan bahwa sang ibu sudah tahu dirinya datang. Perempuan yang telah melahirkannya itu pun langsung menjerit saking senangnya saat dirinya berdiri sambil merentangkan kedua tangan. Mereka saling berpelukan sejenak untuk melepaskan kerinduan setelah lama tidak berjumpa. "Kenapa baru ke sini? Apa kamu sudah tidak merindukan ibumu!" hardik Wati seraya mencubit lengan sang putra. "Maaf aku sibuk, Bu. Ini aku langsung dari kantor lho biar bisa ketemu Ibu," ujar Arhan seraya berjalan mengikuti ibunya masuk rumah. "Shani tidak ikut?" tanya Wati seraya melangkah ke dapur, sementara Arhan memasukkan ponselnya ke dalam saku, baru kemudian mengikuti ibunya sambil sesekali melihat interior rumah sang ibu yang tampak berbeda. "Ibu beli beberapa perabotan rumah? Modern sekali?" ucap Arhan memuji pilihan-pilihan kursi yang tampak baru. "Iya, Shani yang memilihkan karena dia ingin ibu nyaman di rumah. Perabot yang lama udah ibu dan Shani sumbangkan ke orang-orang yang membutuhkan," ungkap Wati membuat jantung Arhan seketika seperti berhenti berdetak. Pria itu pun segera membuang muka ke arah lain demi bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Shania sering ke sini 'kan?" tanya Arhan pura-pura bertanya. "Iya, ibu senang sekali. Dia bilang kamu yang menyuruhnya setiap hari datang biar ibu tidak kesepian. Kamu memang punya istri yang baik, Han." Wati menunjukkan binar mata yang tidak bisa dibohongi. Sangat bangga dengan perhatian Arhan melalui Shania, sang menantu. Arhan hanya menanggapinya dengan senyuman tipis, mengangguk kecil. Dia memilih untuk duduk sementara ibunya membuatkan teh hangat. Caranya membuat sangat mirip dengan Shania dan dia pun paham kalau perempuan yang kini telah dia ceraikan itu belajar banyak dari sang ibu untuk mengurusnya di rumah. "Ibu, bolehkah aku bicara sesuatu?" ucap Arhan setelah ibunya ikut duduk dan mereka berdua menikmati teh bersama sepotong kue. "Boleh, kenapa tidak? Bicara saja, bukannya kamu ke sini untuk itu?" tukas Wati membuat wajah Arhan mendadak seperti diremas-remas. Bagaikan seorang maling yang ketahuan, entah bagaimana. Arhan merasa ibunya telah mengetahui apa yang ingin disampaikannya. "Apa Shania datang lagi kemarin?" Arhan pun memilih untuk mengawalinya dengan jalan aman. "Iya, dia sepertinya sedang tidak enak badan, ya. Terakhir datang itu waktu ibu titip masakan buat kamu, ehh kemarin datang sebentar hanya untuk ikut makan siang lalu pulang dan bilang akan jarang berkunjung karena dilarang kamu," kata Wati menyiratkan kelebat mata marah ke arah sang anak tunggal. Arhan pun langsung menundukkan wajahnya, mengindari penghakiman sang ibu. "Aku bertemu lagi dan menjalin hubungan dengan wanita yang aku cintai lima tahun yang lalu, Bu," ungkap Arhan tanpa berani melihat ekspresi keterkejutan sang ibu pada pernyataannya. "M-maksudmu apa, Han?" Wati menatap bingung sekaligus kaget. "Atika, Bu. Aku ingin menikahinya." "Apa! Kamu ini bicara ngawur apa sih, Han? Menikahi Atika bagaimana maksud kamu?" Wati seketika pula langsung berdiri setelah mendengar kata menikah keluar dari bibir sang putra. Dia merasa sangat bingung dan kaget tidak terkira. Arhan pun buru-buru ikut bangkit demi bisa menenangkan sang ibu dan menjelaskan apa maksudnya. "Bu—" "Stop, jangan bicara apa-apa lagi!" Wati menepis tangan Arhan lalu mundur beberapa langkah. Dia sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran anaknya dengan kata menikahi Atika, sedangkan dia sudah menikah dengan Shania. Wati merasa sangat sakit saat menyadari anaknya berpikiran untuk menikah lagi. "Aku mencintainya, Bu." "Omong kosong apa ini, Han? Shania lalu bagaimana? Kamu sudah menikah, kenapa punya pikiran menikah lagi dengan perempuan yang dulu sudah membuat kamu hampir gila karena dikhianati? Kamu kesambet atau apa!" Nada bicara Wati pun berubah meninggi disertai tangis yang tidak bisa dibendung. Dia tidak bisa membayangkan kalau Shania sampai mendengar apa yang baru saja diucapkan anaknya sendiri tentang menikahi mantan pacar. Sungguh, Wati berharap ini semua hanya mimpi buruk semata. "Dia sudah minta maaf dan mengaku menyesal, Bu. Atika juga sudah bercerai dari laki-laki itu. Dia mengajak Arhan memulai dari awal lagi dan menikah. Aku tidak bisa menolak ajakan perempuan yang aku cintai sepenuh hati," sergah Arhan, dia mencoba untuk membela Atika, sekaligus memastikan kalau dirinya tidak akan mundur dari keputusan menikah dengan Atika. "Ibu tidak menyangka akan mendengar ini dari anak ibu sendiri." Wati terduduk lemas di lantai rumah, bersandar dinding dengan tangan sibuk mengusap air mata. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar apa yang dikatakan anaknya mengenai cinta. Rasanya seperti tidak masuk akal. "Ibu, aku mohon restui kami." "Apa yang kurang dari Shania, Han? Apa?" Wati masih bicara sendiri, tidak ingin mendengar permintaan Arhan tentang restu. "Aku merasa tidak mampu mencintai Shania sebesar Atika, Bu. Aku mohon Ibu mengerti dan memahami keputusan Arhan. Aku sudah berkorban selama empat tahun ini demi kebahagiaan Ibu, kini saatnya Ibu membiarkan aku bahagia dengan pilihanku sendiri." "Meskipun perempuan itu sudah pernah membuatmu terluka? Menghinamu sebagai pria miskin tidak berguna!" sela Wati dengan mata menyala marah. Dia mengingat sekali ucapan Atika saat dirinya dan Arhan datang untuk meminta penjelasan atas pernikahan perempuan itu dengan laki-laki lain. "Dia sudah meminta maaf dan memohon untuk mendapatkan kesempatan, Bu. Semua orang pasti pernah khilaf," bela Arhan. " Lagipula sekarang aku sudah punya harta kekayaan dan mampu membahagiakan dia. Aku bukan orang miskin seperti dulu, jadi dia tidak mungkin meninggalkan Arhan lagi." "Meskipun harta kamu sekarang ini didapatkan setelah menikah dengan Shani? Kamu ...." Wati kehabisan kalimat, dia hanya bisa geleng-geleng kepala dengan pemikiran bodoh sang anak. "Aku juga sudah melayangkan talak pada Shania. Permohonan gugatan perceraian juga sudah aku daftarkan ke pengadilan dan kami tinggal menunggu jadwal sidang," ungkap Arhan dengan mata penuh ketegasan. Wati hanya menanggapi ucapan Arhan dengan helaan napas yang panjang. Sungguh, jiwanya kini seolah melayang separuh saat menyadari bagaimana hancurnya hati sang menantu akibat ulah anaknya sendiri. Diceraikan setelah menemukan kembali cinta masa lalu, tiba-tiba perut Wati menjadi mual tidak terkira. Perempuan setengah baya itu memilih bangkit lalu berjalan tanpa suara ke arah kamar kemudian menutup pintu rapat-rapat tanpa memedulikan Arhan yang menatap kepergiannya. Sebagai perempuan, hatinya sakit luar biasa. Membayangkan kelembutan Shania selama empat tahun ini merawatnya di tengah kesibukan melayani Arhan, hati Wati seperti tercabik-cabik. "Anak tidak tahu diuntung," rutuk Wati seraya menjatuhkan lututnya ke bawah kasur dan tangisnya pun meluncur dan itu semua terakhir kali dilakukannya saat sang suami meninggal akibat kecelakaan. "Ayahmu bahkan laki-laki paling setia yang ibu miliki. Sifat jelek kamu ini menurun dari mana?" ucap Wati dengan suara parau. Arhan terpaku di depan pintu kamar ibunya. Diusapnya wajah dengan satu tangan. Bila mengingat tangisan itu untuk sang ayah dulu saat wafat, kini dia tidak menyangka kalau kepergian Shania dari hidup mereka juga akan mendatangkan duka sebegitu besar bagi sang ibu. "Maaf, Bu. Arhan juga ingin bahagia bersama perempuan yang selalu aku rindukan. Mungkin kini Ibu terluka akan keputusan Arhan. Tapi, aku yakin, suatu saat Ibu akan mengerti perasaanku," gumam Arhan seraya mundur berbalik badan lalu berjalan meninggalkan rumah ibunya hingga menyisakan tangisan kesedihan perempuan itu seorang diri. "Kamu akan menyesali keputusanmu, Arhan. Shania tidak layak mendapat perlakuan buruk dijandakan hanya demi menikahi janda tidak berguna!" teriak Wati dari arah jendela. "Ingat kata-kata ibumu ini. Kamu berselingkuh dari Shania, setelah ketahuan kamu bilang tidak cinta istrimu hanya untuk membenarkan tindakanmu. Mulai hari ini, jangan datang ke sini lagi sebagai anakku. Kamu dan aku anggap saja orang asing!" Tangan perempuan itu mengacung ke udara, Arhan masih bisa mendengar teriakan itu, tetapi memilih untuk mengemudikan kendaraannya meninggalkan rumah perempuan yang telah merawat dan membesarkannya seorang diri hingga bisa seperti sekarang. "Aku minta maaf, Bu. Aku memilih bahagiaku, meskipun itu artinya harus mengorbankan kebahagiaanmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN